Menemani Kesepian Mama
Kecantikan Mama yang Memesona
Mama, seorang janda berusia 41 tahun, masih terlihat sangat cantik dan memesona. Rambutnya yang hitam panjang selalu terurai rapi, kulitnya yang putih mulus membuatnya tampak lebih muda dari usianya. Tetangga-tetangga sering memujinya, tak hanya karena kecantikannya, tapi juga keramahannya. Mama selalu tersenyum dan menyapa siapa pun yang ia temui.
Aku, Andi, 21 tahun, sering merasa bangga memiliki mama yang begitu menawan. Tapi di balik senyumannya, aku tahu mama kesepian. Sudah tiga tahun sejak papa meninggal, dan aku bisa melihat bagaimana mama berusaha menahan rindu dan hasratnya sebagai seorang wanita. Terkadang, matanya terlihat kosong saat ia duduk sendirian di teras, seolah merindukan sesuatu—atau seseorang.
Aku Mengintip Rahasia Mama
Suatu malam, aku pulang kerja larut. Jam sudah menunjukkan pukul 11, dan rumah terasa sepi. Aku membuka pintu perlahan, berusaha tidak membuat berisik. Saat melangkah ke ruang tamu, aku terkejut melihat mama duduk di sofa, tubuhnya hanya ditutupi baju tidur tipis yang terbuka sedikit.
Mataku membelalak saat melihat tangannya bergerak di antara pahanya yang terbuka. Desahan lembutnya memecah kesunyian.
"Ohh… enak banget, sayang… nikmat sekali… Ohh…"
Suaranya mendesah pelan, bibirnya mengatup erat. Dadanya naik turun, kulitnya memerah karena nafsu yang menggebu. Aku terdiam, jantung berdebar kencang. Aku tak pernah membayangkan mama seperti ini—begitu liar, begitu membutuhkan.
Tiba-tiba, matanya terbuka lebar. Kami saling menatap.
"A-Andi?!" Mama kaget, langsung menarik bajunya menutupi tubuhnya.
Aku pura-pura tidak melihat, buru-buru berbalik. "Maaf, Ma. Aku baru pulang. Aku langsung tidur ya."
Tanpa menunggu jawabannya, aku segera masuk ke kamarku, menutup pintu dengan cepat. Dadaku masih berdebar, pikiranku kacau. Aku tak bisa menghapus bayangan mama tadi dari kepalaku.
Pagi yang Canggung
Pagi harinya, aku bangun dengan perasaan aneh. Aku berharap semalam hanyalah mimpi, tapi kenyataannya, aku benar-benar melihat mama dalam keadaan seperti itu.
Saat turun ke dapur, mama sudah menyiapkan sarapan. Dia tersenyum seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa semalam.
"Sudah bangun, sayang? Ayo makan, nasi goreng kesukaanmu," ujarnya lembut.
Aku mengangguk, duduk di depannya. Suasana terasa canggung, tapi kami berdua pura-pura tidak merasakannya.
"Makasih, Ma," kataku sambil menyendok nasi goreng.
Mama tersenyum, tapi matanya menghindar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda antara kami sekarang—sebuah rahasia yang tak terucap, sebuah ketegangan yang tak bisa diabaikan.
Mengintip Rahasia Mama Lagi
Malam berikutnya, aku sengaja pulang lebih awal. Saat melewati lorong menuju kamarku, kulihat cahaya redup dari kamar mama. Pintunya tidak tertutup rapat, masih terbuka sedikit.
Dengan hati penasaran, kuintip perlahan.
Dan… "Ohh… enak banget.. Ohh… "
Mama sedang berbaring di tempat tidur, kaki terbuka lebar. Tangannya bergerak gesit di antara pahanya, wajahnya memerah, bibirnya mengatup erat.
"Ahh… sayang… perlahan…"
Suaranya mendesah, tubuhnya melengkung. Aku bisa melihat jelas bagaimana jemarinya bekerja, memuaskan dirinya sendiri. Dadaku berdegup kencang, darahku mengalir deras ke bawah.
Aku tahu aku harus pergi, tapi kakiku seperti tertanam. Aku terus memandanginya, sampai akhirnya mama mengeluarkan erangan panjang, tubuhnya gemetar.
Dengan cepat aku menyelinap pergi, berusaha tidak membuat suara. Aku masuk ke kamar, menutup pintu pelan-pelan.
"Aku tidak boleh terlihat tahu…" batinku.
Bagian 3: Pagi yang Semuanya Normal
Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan aneh. Tapi saat bertemu mama di meja makan, dia tersenyum seperti biasa.
"Sarapan sudah siap, Nak," katanya sambil menyajikan nasi goreng.
Aku mengangguk, duduk di depannya. "Makasih, Ma."
Kami makan dalam diam, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesekali, mata mama menatapku, seolah mencari tahu apakah aku menyadari sesuatu.
Tapi aku pura-pura tidak tahu.
"Aku berangkat dulu, Ma," kataku sambil berdiri.
Mama mengangguk. "Hati-hati di jalan."
Saat aku berbalik, aku merasa ada pandangan mama yang menatapku lebih lama dari biasanya.
Dan entah mengapa… aku mulai penasaran, apakah mama juga merasakan hal yang sama?
Sentuhan Pertama yang Menggugah
Malam itu, aku dan mama nonton TV bersama di ruang tamu. Aku sibuk bermain HP di sebelahnya, sementara mama terlihat asyik menonton drama Korea yang sedang tayang.
Saat adegan ciuman panas muncul di layar, tiba-tiba aku merasakan jari mama menyentuh tanganku. Perlahan, dia meremasnya—awalnya seperti tidak sengaja, tapi kemudian semakin jelas.
Aku pura-pura tidak merasakan apa-apa, tetap fokus pada HP. Tapi jantungku berdegup kencang. "Apa ini pertanda?"
Mama tidak menarik tangannya. Bahkan, jarinya mulai mengusap-usap punggung tanganku dengan gerakan halus.
Aku masih berpura-pura tidak sadar, tapi nafasku sudah mulai berat.
Mama Rebahan di Pangkuanku
Beberapa saat kemudian, mama menguap dan tanpa banyak bicara, dia merebahkan kepalanya di pangkuanku. Aku kaget, tapi tidak menolak.
"Hmmm.…" bisiknya sambil menutup mata.
Tangan kananku masih memegang HP, tapi tangan kiriku mulai memberanikan diri. Perlahan, kuusap-usap lengannya yang halus, lalu bergerak ke pinggangnya yang ramping.
Mama tidak bereaksi. Seolah membiarkan.
Jemariku semakin berani, menyusur ke pahanya yang terbuka karena posisi daster yang sedikit tersingkap. Napasku memburu, tapi mama tetap diam, seolah tidur.
"Apakah dia benar-benar tidur… atau pura-pura?"
Aku Tak Tahan Lagi
Setelah beberapa lama, aku yakin mama sudah tertidur. Tapi nafsuku sudah tak terbendung.
Dengan hati berdebar, aku perlahan menggeser tangan ke celanaku. Aku mulai menggesek-gesekan diri, sementara tangan satunya masih mengusap tubuh mama.
Pandanganku tak lepas dari wajahnya yang tenang. Bibirnya yang merah, lehernya yang jenjang, dadanya yang naik turun perlahan.
"Ahh… Ma…" desahku dalam hati.
Aku membayangkan hal-hal terlarang. Bayangan mama yang menggoda, suaranya yang mendesah, tubuhnya yang membara—semua membuatku semakin dekat dengan puncak.
Tanpa kusadari, tanganku semakin cepat. Nafasku terengah, keringat dingin mengucur.
Dan akhirnya—
"Nghh…!"
Aku mengeluarkan semuanya di dalam celana. Tubuhku gemetar, tapi aku berusaha tidak bersuara.
Mama masih terlihat tidur. Tapi… entah benar atau tidak, aku melihat senyum tipis mengembang di bibirnya.
Apakah dia tahu?
Atau… apakah ini awal dari sesuatu yang lebih jauh?
Senyum Misterius Mama
Mama perlahan membuka matanya, seolah baru saja terbangun dari tidur yang nyenyak. Padahal, aku yakin dia tidak benar-benar tidur.
Dia tersenyum padaku—senyum yang berbeda, seolah tahu apa yang baru saja kulakukan.
"Udah larut, Ndi. Mama tidur dulu ya," ujarnya lembut sambil bangkit dari pangkuanku.
Sebelum pergi, dia membungkuk dan mencium keningku. Bibirnya hangat, dan untuk sesaat, aku mencium aroma tubuhnya yang harum.
"Selamat tidur, Andi," bisiknya.
Aku hanya bisa mengangguk, masih terpaku di sofa dengan perasaan campur aduk.
Pagi yang Biasa Saja
Pagi harinya, semua terasa normal. Mama menyiapkan sarapan seperti biasa, wajahnya cerah tanpa beban.
"Ayo makan, Nak, nanti telurnya dingin," katanya sambil tersenyum.
Aku duduk di depannya, mencoba bersikap wajar.
"Makasih, Ma," jawabku singkat.
Kami makan dalam keheningan yang nyaman. Seolah malam tadi hanyalah mimpi.
Tapi aku tahu, sesuatu telah berubah.
Rahasia Tersembunyi di Balik Senyum Mama
Sore itu, aku pulang lebih awal. Saat masuk ke halaman rumah, kulihat mama sedang asyik mengobrol dengan Bu Riti, tetangga sebelah.
Mama tertawa lepas, wajahnya bersinar seperti biasa. Tak ada yang menyangka bahwa di balik kecantikan dan keramahannya, dia menyimpan hasrat yang terpendam.
"Ah, Andi pulang!" sambut mama.
Bu Riti melambai. "Wah, anaknya sudah gede ya, Mbak?"
Mama tersenyum bangga. "Iya, sudah besar. Tapi tetep manja sama mamanya."
Aku tersenyum kecut, mencoba ikut dalam obrolan mereka.
Tapi di dalam hati, aku bertanya-tanya:
"Apakah Bu Riti tahu rahasia mama? Atau hanya aku yang melihat sisi lain dari wanita anggun ini?"
Pembicaraan Jujur di Ruang Tamu
Malam itu, kami duduk di ruang tamu dengan TV menyala, tapi tidak benar-benar kami tonton. Suasana hening, hanya diisi oleh suara kipas angin yang berputar pelan.
Tiba-tiba, mama menarik napas dalam.
"Andi... Mama perlu bicara sesuatu," ujarnya dengan suara rendah.
Aku mematikan HP-ku, menatapnya dengan serius.
"Aku... aku minta maaf untuk apa yang kamu lihat waktu itu. Itu tidak pantas," lanjutnya, wajahnya memerah.
Mama mulai bercerita tentang kesepiannya, tentang betapa sulitnya menjadi janda, tentang kebutuhan yang kadang tak tertahankan. Aku mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.
Jawaban Singkat yang Membebaskan
Setelah mama selesai, aku hanya mengangguk.
"Itu normal, Ma. Manusiawi. Aku... aku juga sering melakukannya," kataku jujur, mencoba menenangkannya.
Mama terkejut sejenak, lalu tersenyum kecil.
"Kamu dewasa sekarang ya, Nak," bisiknya.
Suasana menjadi lebih rileks. Aku merasa beban di pundak kami berdua perlahan menghilang.
Pengakuan yang Tak Terduga
Tiba-tiba, mama menatapku dengan pandangan penuh arti.
"Kalau... kemarin kamu melakukannya sambil mengusap-usap mama, ya?" tanyanya polos.
Darahku langsung berdesir. Aku menunduk, malu.
"Maaf, Ma... Aku..."
Mama hanya tersenyum, lalu mengelus kepalaku.
"Sudah, tidak usah malu. Tapi lain kali... lebih hati-hati, ya," ujarnya dengan nada menggoda yang membuat jantungku berdebar kencang.
Pulang ke Rumah yang Tak Biasa
Udara malam terasa lembap ketika aku membuka pintu rumah sepulang kerja. Lampu ruang tamu menyala redup, dan di sana, mama duduk di sofa dengan posisi yang sedikit aneh—kakinya terlipat rapat, tangannya terlihat gugup memegang ujung baju tidurnya yang tipis.
Aneh, pikirku. Biasanya mama sudah tidur jam segini.
"Aku pulang, Ma," sapaku sambil melepas sepatu.
Mama menoleh, wajahnya memerah. Senyumnya malu-malu, seperti anak ketahuan basah.
"A-ah, kamu pulang," ujarnya, suaranya sedikit gemetar.
Aku mendekat, duduk di sebelahnya. Bau harum tubuhnya menusuk hidungku—campuran sabun mandi dan sesuatu yang lebih... dewasa.
"Mama lagi itu ya?" tanyaku setengah bercanda, sambil menunjuk posisinya yang tidak wajar.
Aku kaget ketika mama justru mengangguk perlahan, bibirnya mengatup rapat.
"Ya," bisiknya hampir tak terdengar.
Pengakuan yang Membakar
Udara di ruangan itu tiba-tasa menjadi panas.
"Aku... aku sulit menahannya, ndi," mama mulai bercerita, matanya menghindar. "Sejak ayahmu pergi, hasrat ini... selalu datang. Aku sudah mencoba mengabaikannya, tapi—"
Suaranya tercekat. Tangannya meremas baju tidurnya lebih kencang.
"Aku merasa bersalah," lanjutnya. "Tapi semakin kutahan, semakin kuat keinginannya."
Aku diam, mendengarkan dengan seksama. Dadaku berdegup kencang. Di depan mataku, wanita yang selama ini kupuja sebagai sosok suci ternyata memiliki kebutuhan yang sama denganku—seorang pria dewasa.
Tawaran Tak Terduga
Tanpa berpikir panjang, kuletakkan tanganku di pahanya.
"Aku bisa bantu, Ma," bisikku.
Mama terkejut, tubuhnya menegang. Tapi anehnya... dia tidak menarik diri.
"A-Andi, kamu—"
"Tenang," ujarku sambil mulai mengusap pahanya yang halus. "Kita berdua dewasa. Ini... natural."
Tanganku bergerak perlahan, menyusuri lekukan tubuhnya yang selama ini kuidam-idamkan. Mama mulai memejamkan mata, nafasnya memburu.
"Kamu yakin?" tanyanya lemah.
Sebagai jawaban, jemariku menyelinap ke bawah baju tidurnya, menyentuh kulit hangat di paha dalamnya. Mama mengeluarkan desahan pendek.
"Ohh... Shh.."
Tangannya mencengkeram lenganku, tapi bukan untuk mendorong—justru seolah meminta lebih.
Aku terus melanjutkan, jari-jariku kini sudah mencapai celana dalamnya yang sudah lembab.
"Kamu... sudah basah, Ma," bisikku di telinganya.
Mama hanya bisa mengangguk, wajahnya merah padam.
Aku tak sabar untuk melanjutkan.
Klimaks yang Mengguncang
Ruangan itu dipenuhi oleh desahan-desahan pendek mama yang semakin menjadi-jadi. Tanganku bergerak lincah di antara pahanya yang terbuka, jari-jariku menari dengan mahir di tempat yang paling sensitif.
"Ahh... Nak... begitu... ya... seperti itu..."
Suaranya mendesah dalam-dalam, tubuhnya melengkung mengikuti ritme tanganku. Aku bisa merasakan betapa basah dan panasnya dia, betapa tubuhnya merindukan sentuhan.
"Mama... mama mau..."
Tiba-tiba, tanpa kuduga, mama menarik wajahku dan menempelkan bibirnya ke bibirku. Ciumannya dalam, penuh nafsu, lidahnya menyelinap ke mulutku dengan penuh keinginan.
Aku terkejut, tapi tidak menolak. Tanganku semakin ganas memainkannya, dan dalam hitungan detik—
"AAHHH!!!"
Mama menggelepar hebat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Tangannya mencengkeram lenganku dengan kencang, kukunya sedikit menusuk kulitku.
"Kamu... kamu hebat, Nak..." bisiknya lemas setelah klimaksnya mereda.
Balas Budi Mama
Aku sudah tidak tahan. Pnisku tegang sekeras batu, dan tanpa berpikir panjang, aku mencoba membuka celananya untuk memasukkan milikku.
"Tidak, Nak... jangan dimasukkan..." Mama menghentikanku dengan lembut tapi tegas.
Aku mengerang kesal. "Tapi, Ma—"
"Tenang... mama akan membalasmu," ujarnya sambil tersenyum menggoda.
Dengan gerakan perlahan, dia membuka celanaku dan mengeluarkan kontolku yang sudah menegang penuh. Matanya membelalak melihat ukurannya.
"Besar sekali..." gumamnya.
Tanpa basa-basi, jemarinya yang lentik mulai mengocokku dengan mahir. Gerakannya sempurna—tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat, dengan tekanan yang pas.
"Ahh... enak... Mah..."
Belum cukup sampai di situ, mama tiba-tiba membungkuk dan memasukkan ujung kontolku ke dalam mulutnya.
"Hmmpphh... Owh.. Mah.. Enak banget.. Terus Mah.."
Lidahnya yang hangat dan licin melilit batangku, sementara tangannya terus memompa dengan sempurna. Aku tidak bisa bertahan lama.
"Aku... aku mau keluar, Ma!"
Mama tidak berhenti. Sebaliknya, dia semakin meningkatkan kecepatannya.
"AAAKKHHH!!!"
Aku meletus dengan hebat, sperma memancar deras ke dalam mulutnya. Mama menelannya perlahan, tidak ada yang terbuang.
"Lezat..." bisiknya sambil menjilat bibirnya.
Pagi yang Biasa Saja
Keesokan harinya, semua terasa normal.
Mama menyiapkan sarapan seperti biasa, wajahnya cerah tanpa beban.
"Telur dadar kesukaanmu, Nak," ujarnya sambil tersenyum.
Aku mengangguk, duduk di depannya.
"Makasih, Ma."
Kami makan dalam keheningan yang nyaman. Seolah malam tadi hanyalah mimpi.
Tapi saat aku hendak berangkat, mama memberiku senyuman kecil—senyuman yang penuh arti.
Dan aku tahu, ini bukan yang terakhir.
Sambutan Penuh Hasrat
Pintu rumah baru saja tertutup di belakangku ketika tubuh hangat itu langsung menempel. Aroma parfum mama yang lembut bercampur dengan bau masakan malam ini memenuhi indra penciumanku.
"Kamu pulang larut lagi," bisik mama tepat di telingaku, nafasnya membuat bulu kudukku berdiri.
Sebelum sempat menjawab, bibirnya yang lembut sudah menyergap bibirku. Ciuman pertama itu manis seperti biasa, tapi cepat berubah menjadi liar. Tangannya meraih rambutku, menarik kepalaku lebih dekat. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang cepat menempel di dadaku.
"Ma, dari tadi menunggu ya?" godaku sambil meraba pinggang rampingnya yang hanya ditutupi daster tipis.
Mama mengerang kecil, "Sudah seharian aku memikirkan ini." Tangannya yang tak sabar mulai membuka kancing bajuku.
Persetujuan Terakhir
Dengan gerakan menggoda, mama menarik tubuhku ke sofa. Matanya berbinar saat mengeluarkan sesuatu dari saku dasternya.
"Lihat apa yang mama beli siang tadi," ujarnya dengan suara serak, memperlihatkan kotak kondom isi enam.
Aku tersedak. "Mamah serius?"
"Lebih serius dari yang kamu kira," jawabnya sambil meremas celanaku yang sudah menegang. "Sekarang... kamu boleh masukin." Bibirnya kembali menempel di leherku, menghisap kulitku dengan lembut.
Tapi kemudian dia menarik diri, matanya berbinar dengan niat baru. "Tapi dengan syarat."
"Apa?"
"Kamu diam. Tidak banyak bergerak. Biar mama yang mengendalikan semuanya."
Pemuasan Diri Sang Ibu
Persiapan
Mama berdiri di depanku, perlahan membuka dasternya. Tubuhnya yang montok perlahan terungkap - payudara padat yang masih kencang, pinggang ramping, dan paha yang halus. Tangannya meraba tubuhnya sendiri sambil memandangku penuh nafsu.
"Kamu hanya boleh menikmati," perintahnya sambil mendorongku untuk duduk di sofa.
Dengan gerakan penuh percaya diri, dia berlutut di depanku, membuka kancing celanaku dengan giginya. Kontolku yang sudah tegang langsung bebas.
Permainan Awal
"Tidak boleh bergerak," bisiknya sebelum menjilat dari pangkal sampai ujung. Mulutnya yang hangat perlahan menelannya seluruhnya.
Aku meremas tangan sofa, berusaha menahan untuk tidak mendorong pantatnya. Mama mengisap dengan ritme sempurna, sesekali memutar lidahnya di sekitar kepala kontolku. Matanya tak pernah lepas dariku, menikmati setiap ekspresi yang kuberikan.
Transisi ke Ranjang
Tanpa peringatan, dia berhenti dan menarikku ke kamar. Di atas tempat tidur, dia mendorongku untuk berbaring.
"Tetap diam," peringatannya sambil melangkahi tubuhku.
Dengan satu tangan membuka bibir vaginanya, tangan lainnya memandu kontolku yang sudah berkondom ke dalam dirinya. Dia mengerang panjang saat perlahan menurunkan tubuhnya.
"Ohh… enak banget, Aahh… Ohh…"
Ritme yang Memabukkan
Mama mulai bergerak perlahan, tangannya meremas payudaranya sendiri. Matanya tertutup, wajahnya menunjukkan ekstase murni. Aku hanya bisa memandang, tangan mencengkeram sprei dengan erat.
"Ya... Ohh…seperti ini... Aahh… mama suka..." desahnya sambil mempercepat gerakan.
Keringat mengkilat di tubuhnya, payudaranya bergoyang dengan indah. Aku bisa merasakan dinding vaginanya yang hangat mengerut di sekeliling kontolku.
Klimaks yang Mengguncang
Tiba-tiba dia berhenti, hanya menggoyangkan pinggulnya secara melingkar.
"Aku... aku mau..." erangnya.
Tangannya meraih klitorisnya, menggosok dengan cepat. Tiba-tiba tubuhnya gemetar hebat, vaginanya mengerut dengan kuat.
"AAAKKHHH!!!"
Dia jatuh ke dadaku, nafasnya tersengal-sengal. Kontolku masih keras di dalamnya.
"Giliranmu," bisik mama dengan suara lemas, tubuhnya masih gemetar setelah klimaks pertamanya.
Aku tak perlu diminta dua kali. Dengan pegangan kuat di pinggulnya yang berkilat oleh keringat, perlahan kubalikkan posisi kami. Sekarang mama terbaring di bawahku, rambutnya yang panjang berantakan di bantal, matanya setengah tertutup masih menikmati sisa-sisa orgasmenya.
"Jangan terlalu kasar," bisiknya, tapi senyum di bibirnya mengatakan sebaliknya.
Awal yang Menggoda
Kuposisikan diri di antara pahanya yang terbuka lebar, kontolku yang masih berkondom menekan masuk perlahan. Mama mengerang panjang saat aku menelusupkan ujungnya, menyesuaikan kembali dengan kehangatannya yang basah.
"Ahh... pelan-pelan sayang... mama masih sensitif..."
Tapi aku tak bisa menahan diri. Begitu merasakan kontraksi terakhir vaginanya, aku mulai mendorong lebih dalam.
Ritme yang Membara
Gerakan pertamaku pelan, terkendali. Tapi melihat ekspresi ekstase di wajah mama, aku mulai mempercepat ritme.
"Ya... seperti itu... oh Tuhan!" mama merintih, tangannya mencengkeram bahuku.
Aku bisa merasakan setiap lipatan dalamnya, setiap kontraksi kecil yang menyambut doronganku. Suara basah dari pertemuan tubuh kami semakin keras, bercampur dengan erangan mama yang tak terbendung.
Klimaks Pertama
Tiba-tiba tubuh mama melengkung. "Mama... AKU MAU KELUAR!"
Vaginanya mengerut dengan kuat di sekeliling kontolku, membuatku nyaris tidak tahan. Tapi aku terus menggenjot, mendorongnya melalui gelombang kenikmatannya.
"TIDAK BISA... TERLALU BANYAK... AAHHHH!!!"
"Ohh… enak banget, Aahh… Ohh…"Interval Sensual
Aku berhenti sejenak, membiarkannya bernafas. Tangan ku meraba payudaranya yang masih bergerak naik turun, memainkan puting yang sudah mengeras.
"Mama cantik sekali seperti ini," gumamku sambil mencium lehernya.
Mama hanya bisa menggeleng, matanya berkaca-kaca dari kenikmatan. "Kamu... jahat..."
Ronde Kedua
Tanpa peringatan, aku mulai bergerak lagi. Kali ini lebih dalam, lebih pelan, tapi dengan dorongan yang lebih kuat.
"Tunggu! Aku belum— AAHHH!"
Aku menemukan sudut yang membuatnya menjerit. Setiap dorongan tepat ke titik itu membuat tubuhnya berguncang.
Klimaks Ketiga
Tidak butuh waktu lama sebelum kontraksi lain menghampirinya. Kali ini lebih kuat, lebih panjang.
"SAYA... SAYA... OH.. AAHHH!! TIDAK BISA BERHENTI!"
Vaginanya seperti memompa pnisku, menyedot lebih dalam. Aku melihat air matanya mengalir, tubuhnya benar-benar tak berdaya di bawahku.
Puncak Terakhir
Aku sendiri sudah di ujung tanduk. "Ma... aku tidak bisa tahan lagi..."
"Di dalam... keluarkan di dalam!" pintanya dengan suara serak.
Dorongan terakhirku begitu kuat hingga membuat tempat tidur berderit. Aku meletus dengan hebat, kepala pusing dari kenikmatan yang begitu intens.
Kami terjatuh bersebelahan, nafas tersengal-sengal. Mama memelukku erat, wajahnya masih merah.
"Berapa kali tadi?" tanyanya lemas.
Aku tersenyum. "Cukup sampai kamu tidak bisa berjalan ke kamar mandi."
Dia menepuk bahuku lemah. "Dasar anak jahat."
Tapi senyum di wajahnya mengatakan bahwa dia menikmati setiap detiknya.
Transformasi Sensual
Sejak malam itu, mama berubah. Perubahan itu halus tapi jelas—daster lama yang biasa dipakainya diganti dengan gaun rumah yang lebih pendek, blus ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, dan celana pendek yang membuatku sulit menahan pandangan.
"Kok belakangan mama sering pakai baju seperti itu?" tanyaku suatu pagi, mencoba bersikap santai sambil menyaksikannya membungkuk mengambil sendok yang jatuh.
Mama berbalik dengan senyum nakal, matanya berbinar. "Tidak suka?"
Aku tersedak kopi. "Suka. Sangat."
Dia tertawa kecil, sengaja berjalan perlahan melewatiku, lenggak-lenggok yang membuat napasku tersendat. Aroma parfumnya—sekarang lebih sering dipakai—membuatku pusing.
Permainan di Sofa
Malam itu, kutemukan mama tengkurap di sofa, kaki jenjangnya diangkat perlahan sambil asyik bermain HP. Daster pendeknya tersingkap, memperlihatkan celana dalam renda hitam yang menyelimuti pantat montoknya.
"Ada acara apa ini?" godaku sambil duduk di ujung sofa.
Mama melirik. "Cuma santai. Kenapa?"
Tanpa kata, tanganku merayap ke pahanya yang halus. "Mama tahu betapa cantiknya mama seperti ini?"
Dia tidak menjawab, tapi juga tidak menolak ketika jemariku mulai menelusuri lekukan tubuhnya. Perlahan, kubungkukkan badan, menciumi punggungnya yang harum.
"Kamu nakal," bisiknya, tapi tubuhnya melengkung menyambut sentuhanku.
Mulutku berpindah ke pantatnya yang menggoda. "Aku selalu tergila-gila dengan bokong mama."
Kudengar erangan kecil ketika gigiku menggigit lembut melalui kain tipis. Kontolku sudah keras, menekan celana. Tanpa berpikir panjang, kugesek-gesekan ke celah pantatnya.
"Kamu— ahh!"
Ritmeku semakin cepat. Mama menekan wajahnya ke bantal sofa, erangannya tertahan.
"Aku mau keluar, Ma."
Dia hanya mengangguk lemah.
Beberapa gesekan terakhir, aku meletus dengan hebat, sperma membasahi celanaku dan sedikit mengenai celana dalamnya.
Balas Budi
Mama berbalik, wajahnya memerah. "Kamu nakal banget sih," ujarnya, tapi senyumnya penuh arti.
Tangannya menarikku. "Tapi mama belum puas."
Dengan gerakan terampil, dia membuka celanaku. Kontolku yang masih basah oleh sperma kembali tegak di tangannya.
"Kali ini pelan-pelan ya," bisiknya sambil membimbingku ke atasnya.
Posisinya sekarang terlentang, kakinya melingkari pinggangku. Aku masuk perlahan, merasakan setiap lipatan hangatnya.
"Ya... seperti itu..."
Gerakanku seperti tarian—perlahan, dalam, penuh perasaan. Mama meremas payudaranya sendiri, matanya tertutup menikmati setiap sentuhan.
"Kamu... belajar cepat," desahnya.
Aku membungkuk, menciumi lehernya sambil tetap mempertahankan ritme. "Semua berkat mama."
Kami mencapai klimaks hampir bersamaan, erangan mama menjadi musik terindah yang pernah kudengar.
Pagi yang Semakin Berani
Keesokan harinya, mama menyambutku di meja makan dengan baju tidur transparan.
"Kopi?" tanyanya polos, seolah tidak sadar betapa menggugah penampilannya.
Aku tersenyum. Perjalanan kami baru saja dimulai.
Malam yang Ditunggu
Lampu kamar redup, hanya diterangi cahaya bulan yang menyelinap melalui tirai. Mama berbaring di tempat tidur, matanya terpejam, tapi senyum kecil mengembang di bibirnya. Aku duduk di sampingnya, menatap tubuhnya yang terbungkus baju tidur sutra yang mengikuti lekuk tubuhnya dengan sempurna.
"Kamu yakin mau melakukan ini?" tanyaku, mencoba memastikan sekali lagi.
Mama mengangguk perlahan, matanya tetap terpejam. "Iya, Nak. Mama setuju. Lakukan apa yang kamu mau... mama akan pura-pura tidur."
Suaranya pelan, tapi tegas. Aku bisa merasakan jantungku berdebar kencang. Ini adalah fantasi yang selama ini kusimpan, dan sekarang mama bersedia memenuhinya.
Permainan Dimulai
Aku membelai rambutnya yang terurai di bantal, perlahan menelusuri garis lehernya yang jenjang. Mama tetap diam, hanya napasnya yang sedikit lebih cepat memberitahuku bahwa dia sepenuhnya sadar.
"Kamu cantik sekali, Ma," bisikku sambil membuka kancing baju tidurnya satu per satu. Kulitnya yang halus perlahan terlihat, payudaranya yang montok perlahan terungkap. Aku menahan napas, menikmati pemandangan di hadapanku.
Tanganku meraba payudaranya dengan lembut, jari-jariku memainkan putingnya yang sudah mengeras. Mama mengerang kecil, tapi segera menahan suaranya, tetap berpura-pura tertidur. Aku tersenyum, senang melihat reaksinya.
"Kamu tidak boleh bersuara, ya," godaku sambil menekan putingnya sedikit lebih keras.
Mama mengangguk lemah, bibirnya mengatup rapat. Aku melanjutkan petualanganku, mulutku turun ke dadanya, menghisap putingnya dengan lembut. Tanganku merayap ke bawah, menyibak baju tidurnya yang sudah terbuka, menelusuri perutnya yang rata, terus ke pahanya yang halus.
Sensasi yang Tak Tertahankan
Aku bisa merasakan kehangatan di antara pahanya, celana dalamnya sudah sedikit lembab. Jemariku menyentuh lipatan sensitifnya, mengusap perlahan. Mama menahan napas, tubuhnya sedikit melengkung.
"Kamu sudah basah, Ma," bisikku, jari tengahku mulai bergerak melingkar di atas kain tipis yang menutupi bagian paling sensitifnya.
Mama tidak bisa menahan erangan kecil. "Ahh—"
"Ssst... diam," ingatku, sambil terus menggosoknya dengan ritme yang semakin cepat.
Aku bisa melihat wajahnya yang memerah, bibirnya yang gemetar menahan suara. Tangannya mencengkeram sprei, tubuhnya mulai bergerak tidak sadar mengikuti irama jemariku.
Puncak Pertama
Tiba-tiba, tubuh mama menegang. "Aku— aku mau—"
"Tidak, belum," bisikku, sengaja menghentikan usapanku.
Mama mengerang frustasi, matanya masih terpejam tapi wajahnya memohon. Aku tersenyum nakal, baru kemudian melanjutkan permainanku. Kali ini, jari-jariku menyelinap ke dalam celana dalamnya, langsung menyentuh kulitnya yang sudah basah.
"Oh Tuhan—" erangnya, tapi segera menutup mulutnya dengan tangan.
Aku memasukkan dua jari ke dalamnya, merasakan kehangatan dan keketatannya. Mama menggeliat, tapi tetap berusaha diam seperti yang dijanjikannya. Gerakanku semakin cepat, membawanya ke puncak.
"Aku mau— AAHH!"
Tubuhnya melengkung, vaginanya mengerut kuat di sekeliling jariku. Aku terus memompanya, memperpanjang orgasmenya sampai dia gemetar hebat.
Klimaksku
Aku tidak bisa menahan diri lagi. Dengan cepat, kulepaskan celanaku dan menggesekkan kontolku yang sudah keras di pahanya.
"Aku mau muncrat, Ma," bisikku.
Mama mengangguk, masih berpura-pura tidur. Aku tidak menunggu lebih lama, perlahan memasukkan ujung kontolku ke dalamnya. Dia begitu hangat, begitu ketat. Aku mulai bergerak, perlahan di awal, tapi semakin cepat saat merasakan tubuhnya menyambut setiap doronganku.
"Kamu terasa luar biasa," gumamku, tanganku meraih pinggulnya, menariknya lebih dekat.
Mama tetap diam, tapi erangan kecilnya yang tertahan membuatku semakin bersemangat. Aku bisa merasakan klimasku mendekat, dorongan terakhirku lebih dalam, lebih kuat.
"Aku mau keluar—"
"Di dalam," bisik mama tiba-tiba, membuyarkan karakternya sejenak.
Itu cukup untuk membuatku meletus, mengisi kondom dengan erangan panjang. Kami terjatuh bersebelahan, napas tersengal-sengal.
Pagi yang Menyenangkan
Keesokan harinya, mama menyiapkan sarapan dengan senyum puas.
"Kamu kreatif sekali dengan permainan semalam," bisiknya sambil menyerahkan kopi.
Aku tersenyum. "Kamu juga hebat aktingnya."
Dia tertawa, matanya berbinar. "Malam ini, mama yang punya ide baru."
Aku tidak sabar menunggu.
Posting Komentar untuk "Menemani Kesepian Mama"