Fantasi Hayalan Sedarah Yang Jadi Kenyataan ( Bagian 2 )

x
0

Beberapa saat kemudian aku sudah melarikan motorku di saat jam di handphoneku sudah menunjukkan pukul satu pagi.

Jalanan yang sudah lengang membuatku bisa bergerak cepat. Sehingga tak lama kemudian aku sudah pulang sambil membawa pil yang Mamie suruh beli itu.

Mamie tampak sedang duduk di ruang keluarga sambil menikmati segelas coffee late.

“Cepat sekali… ngebut barusan?” tanyanya sambil memperhatikan bagian belakang strip pil kontrasepsi itu. Mungkin sedang membaca aturan pakainya.

“Nggak Mam. Kebetulan aja jalannya sedang kosong,” sahutku sambil duduk di samping Mamie di atas sofa.

Lalu Mamie menatapku dengan senyum. “Chepi… kamu sudah pernah menggauli perempuan? Ngomong aja terus terang, jangan bohong ya.”

“Belum pernah Mam. Disumpah dengan kitab suci juga aku mau.”
“Kalau ngocok aja sih suka kan?”
“Nggak Mam. Tapi me… meletus sendiri di celana sih sering.”
“Tiap kali mimpiin mamie kamu suka basah?”
“Iya Mam.”

“Kasihan anak mamie…” ucap Mamie sambil memijat hidungku. Lalu mengecup bibirku. “Sering nonton video porno?”

“Jarang sekali Mam. Paling juga baru tiga kali. Soalnya kalau sudah nonton bokep, aku suka tersiksa sendiri.”

“Iya… memang jangan sering - sering nonton bokep. Karena kamu masih sangat muda. Bokep sih untuk perangsang manusia yang sudah tua.”

“Iya Mam.”
“Kamu pernah melihat mamie telanjang?”

“Pernah, cuma satu kali. Itu juga pada waktu aku masih kecil, kalau gak salah waktu baru kelas satu SMP. Waktu itu aku mau minta uang untuk bayaran sekolah. Aku masuk ke kamar Mamie, tapi Mamie sedang mandi. Dinding kamar mandi Mamie kan terbuat dari kaca blur. Jadi kelihatan Mamie lagi mandi. Tapi samar - samar, karena kacanya blur.

“Belum pernah melihatnya secara jelas?”
“Belum.”
“Kamu ingin melihat mamie telanjang secara jelas?”
“Ka… kalau Mamie gak keberatan… mau banget…”
“Terus… kalau mamie udah telanjang mau diapain?”

“Ng… nggak tau… mungkin mamie bisa ngajarin aku, karena aku belum pernah merasakan begituan sama perempuan. Ciuman pun baru merasakan dengan Mamie tadi.”

“”Sebenarnya di usiamu sekarang ini, normal - normal aja kamu merasakan hubungan sex dengan perempuan. Yang gak normal adalah… mamie ini istri papamu Chep. Jadi kalau kita sampai melakukan hubungan badan, berarti kita menghianati Papa.”

“Iya Mam. Aku terima salah. Mohon Mamie maafkan aku yang gak tau diri ini.”

“Kamu tidak salah juga Chep. Mungkin mimpi - mimpimu itu yang bersalah. Padahal kamu tidak pernag mengundang mimpi - mimpi itu kan?”

“Iya Mam…”

Ucapanku terputus karena Mamie menyelinapkan tangannya ke celana pendek yang biasa kupakai tidur atau olah raga ini. Mamie langsung memegang kontolku yang memang tidak bercelana dalam ini. “Kontolmu ini sudah ngaceng sekali. Coba buka celanamu Chep. Mamie ingin lihat secara jelas,” kata Mamie sambil mengeluarkan tangannya dari balik celana pendek putihku.

Kuturuti perintah ibu tiriku yang cantik itu. Kupelorotkan celana pendekku sampai terlepas di kedua kakiku. Sehingga aku tidak bisa menyembunyikan lagi kontolku yang sudah ngaceng sekali ini.

Mamie spontan menangkap kontolku sambil menatapnya dengan mata terbelalak, “Wooow… kontolmu ini luar biasa gede dan panjangnya Chep. Ereksinya pun sempurna, keras sekali. Tidak seperti punya papamu yang ereksinya setengah - setengah.”

Kubiarkan saja Mamie memegang kontol ngacengku, seperti anak kecil yang punya mainan baru. Bukan cuma dipegang. Mamie pun menciumi kepala kontolku. Bahkan juga menjilatinya, sehingga nafasku mulai tidak beraturan.

Sambil menciumi dan menjilati moncong kontolku, Mamie pun menarik tanganku ke balik kimononya. Lalu meletakkannya di antara kedua pangkal pahanya.

“Mam… iii… ini punya Mamie?” tanyaku gugup.

“Iya… tapi memek mamie harus dijilatin dulu sampai basah. Karena kontolmu terlelu gede. Pasti sakit dan susah masuknya kalau tidak dijilatin dulu.”

Aku yang pernah melihat bokep cowok menjilati vagina cerweknya, spontan menyahut. “Iya Mam… aku siap untuk menjilati memek Mamie sampai basah.”

Mamie melepaskan kontolku dari genggamannya. “Ayo di kamarmu aja, biar lebih leluasa.”

Aku pun mengambil celana pendekku yang tergeletak di sofa, tapi tidak mengenakannya lagi karena tiada perintah dari Mamie. Setibanya di dalam kamar, Mamie menyambutku dengan pegangan di kedua tanganku. “Kamu mau melihat mamie telanjang kan?”

“Iiii… iya Mam,” sahutku tergagap dalam semangat yang berkobar.

“Chepi, mamie sangat sayang padamu. Karena itu mamie akan mengabulkan apa pun yang diinginkan pada ulang tahunmu yang kedelapanbelas ini,” ucap Mamie sambil melepaskan kimonoputihnya. Dan… sekujur tubuh Mamie langsung terbuka, karena tiada apa - apa lagi di balik kimono itu selain tubuh Mamie yang aduhai…

Inilah untuk pertama kalinya aku menyaksikan Mamie telanjang secara jelas. Tanpa terhalang kaca blur. Dan aku terkagum - kagum menyaksikan tubuh indah dan putih mulus itu, seolah menyaksikan keelokan bidadari yang baru turun dari langit.

“Kok malah bengong?” tanya Mamie sambil menarik pergelangan tanganku, sehingga aku terhempas ke atas dadanya yang dihiasi bukit kembar yang benar - benar seimbang dengan bentuk badannya. tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil.

Mamie melepaskan kaus oblongku sambil berkata, “Kamu juga harus telanjang. Supaya kulit bertemu kulit…”

Setelah kaus oblong meninggalkan badanku, Mamie berkata lagi, “Sekarang lakukanlah apa pun yang kamu inginkan pada diri mamie…”

“Aku belum punya pengalaman, jadi… aku tidak tau harus mulai dari mana… karena takut salah…” sahutku sambil meraba - raba toket Mamie dengan tangan gemetaran.

“Kamu mau menyetubuhi mamie kan? “tanya Mamie sambil mencolek bibirku dengan telunjuknya.

Aku amati wajah cantik Mamie yang tengah tersenyum yang sangat menggoda itu. Lalu menyahut, “Mau sekali… tapi kalau ada yang salah mohon dibetulkan ya Mam.”

“Iya… nanti mamie ajarin. Sekarang jilatin dulu memek mamie sampai benar - benar basah oleh air liurmu ya.”

“Siap Mam…” sahutku sambil melorot turun, sehingga wajahku berada di atas memek Mamie yang begitu bersihnya, tiada jembutnya selembar pun. Hanya ada yang baru mau tumbuh di bagian atasnya.

Aku pernah memperhatikan foto - foto wanita telanjang. Pernah juga beberapa kali nonton bokep. Tapi baru sekali inilah aku menyaksikan kemaluan wanita dalam kenyataan, dalam jarak yang sangat dekat pula dengan mataku.

Kemudian Mamie merentangkan sepasang paha mulusnya sambil menunjuk ke arah memeknya yang sudah dingangakan. “Nih bagian - bagian ini yang harus dijilati. Ini kan bibir dalam, ini liang kecil untuk masuknya kontolmu nanti. Terus ini namanya clitoris, dalam bahasa kita biasa disebut kelentit atau itil.

“Iiii… iya Mam…” sahutku tersendat, karena nafasku semakin sulit diatur. Karena membayangkan kontolku akan dimasukkan ke lubang sekecil itu.

Lalu Mamie memberi petunjuk - petunjuk lain, agar aku mulai tahu bagaimana cara memperlakukan kemaluan perempuan.

Lalu aku pun mulai menjilati kemaluan Mamie. Mulai dari bagian dalam yang berwarna pink itu, sambil berusaha mengalirkan air liurku sebanyak mungkin, seperti petunjuk dari Mamie barusan. Begitu pula clitorisnya kujilati segencar mungkin.

Sementara itu Mamie mulai menggeliat - geliat sambil meremas - remas rambutku yang berada di bawah perutnya. “Iya Chep… iyaaaaa… itilnya jilatin lagi Chep… itilnya… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaaa… aaaaaaaah… aaaaah… enak sekali Chepiiii… iyaaaa… iyaaaaa… itilnya jilatin terus Cheeepiii…

Cukup lama aku melakukan semuanya ini, sementara nafsuku semakin menggebu - gebu.

Sampai akhirnya Mamie mengepit kepalaku dengan kedua tangannya, sambil berkata terengah, “Su… sudah cukup Sayang. Sekarang masukin kontolmu…”

Dengan perasaan masih bingung, aku menjauhkan mulutku dari memek Mamie. Kemudian mendekatkan kontolku ke memek Mamie.

Pada saat itulah Mamie memegang leher kontolku, kemudian mengarahkan kepalanya ke mulut memeknya. Mungkin sedang diarahkan ke mulut liang yang tadi Mamie tunjukkan dan tampak kecil itu.

Ketika amukan birahiku semakin menggila, terdengar suara Mamie, “Ayo dorong… !”

Aku pun mendorong kontolku yang lehernya masih dipegang oleh Mamie.

Perlahan - lahan zakarku melesak ke dalam liang memek Mamie yang rasanya aduhai… luar biasa enaknya…!

Mamie pun merengkuh leherku ke dalam pelukannya sambil berdesah… “Sudah masuk sayang… Sekarang mamie bukan hanya punya Papa, tapi juga punya Chepi…”

Entah kenapa, ucapan Mamie itu membuatku tersentuh… sangat tersentuh. Tapi aku tidak bisa menjawabnya, karena mulai melaksanakan petunjuk Mamie.

Ya, atas petunjuk Mamie, aku pun mulai mengayun kontolku dengan hati - hati di dalam jepitan liang memeknya yang begini uniknya buatku yang masih pemula. Terasa benar dinding liang memek Mamie ini bergerinjal - gerinjal lunak, seperti dilapisi bentuk seperti telur ayam yang masih berderet di dalam perutnya.

“Ayo… sekarang cepatin entotannya. Tapi jangan sampai lepas dari dalam memek Mamie ya …“bisik Mamie.

Aku menyahut terengah - engah, “Iiii… iyaaaa… duuuh… Mam… me… memek Mamie ini luar biasa enaknya.”

“Kontolmu juga luar biasa enaknya Sayaaaang,” ucap Mamie yang dilanjutkan dengan kecupan hangat di bibirku.

Aku merasa bangga mendengar ucapan Mamie itu. Tapi mungkin aku terlalu menikmati semuanya ini. Maklum, inilah untuk pertama kalinya aku merasakan berhubungan sex.

Sehingga tak lama kemudian aku menggelepar di atas perut Mamie, sambil membenamkan kontolku sedalam mungkin, disusul dengan berlompatannya lendir kenikmatan dari moncong penisku.

Croooottttt… crooooottttt… crooooootttt… croooottttttt… crotttt… crooootttt…!

Lalu aku terkulai di dalam dekapan Mamie.

Mamie tersenyum dan mengecup bibirku. Lalu bertanya perlahan, “Udah ejakulasi?”

“Iya Mam… ternyata aku gak kuat lama - lama,” sahutku bernada kecewa.

“Nggak apa - apa. Biasanya memang begitu kalau baru pertama kali sih. Sebentar lagi juga pasti kontolmu ngaceng lagi,” sahut Mamie sambil mempererat dekapannya.

Ternyata benar ucapan Mamie. Tak lama kemudian kontolku yang masih berada di dalam liang memek Mamie, mulai menegang lagi sedikit demi sedikit.

“Nah tuh… udah ngaceng lagi kan?” ucap Mamie sambil menggoyang - goyangkan pinggulnya sedemikian rupa, sehingga kontolku terasa seperti diremas - remas dan dibesot - besot. Karuan saja makin lama kontolku makin ngaceng.

“Udah keras nih,” ucap Mamie, “ayo entotin lagi.”

“Iya Mam…” sahutku sambil mengayun kontolku perlahan - lahan. “Mam… aku yakin… aku mulai cinta sama Mamie…”

“Apa?” tanya Mamie sambil tersenyum.
“Aku cinta Mamie,” sahutku agak keras.
“Apa?!” tanya Mamie dengan tatapan dan senyum yang menggoda.
“Aku cinta Mamie !!!” teriakku cukup keras.
“Sttttt! Jangan teriak juga kali. Nanti kedengaran si Bibi.”
“Eh… iya yaa… maaf Mam…”

“Mamie hanya ingin mendengar pernyataan cintamu berulang - ulang… karena mamie bahagia mendengarnya.”

Kenapa Mamie merasa bahagia mendengar ucapan cintaku? Apakah karena Mamie juga mencintaiku? Entahlah.

Yang jelas aku melanjutkan aksiku sambil merapatkan pipiku ke pipi hangat Mamie, sambil bergumam terus setengah berbisik, “Aku cinta Mamie… aku cinta Mamie… aku cinta Mamie… aaaakuuuu cintaaa Maaamie…”

Tiba - tiba Mamie memagut bibirku ke dalam ciuman hangatnya. Disusul dengan bisikannya, “Kamu pikir mamie tidak mencintaimu? Kalau mamie tidak mencintaimu, tak mungkin mamie biarkan kamu menyetubuhi mamie Chep…”

“Ja… jadi Mamie juga mencintaiku?” tanyaku sambil menghentikan entotanku sejenak.

Mamie menatapku sambil tersenyum. Membelai rambutku dengan lembut. Lalu menyahut perlahan, “Iya… mami cinta dan sayang kamu Chepi…”

Entah kenapa, mendengar pengakuan Mamie itu aku jadi bahagia… bahagia sekali.

Malam ini memang malam jahanam. Tapi duniaku terasa indah sekali.

Lalu Mamie memberitahu titik - titik yang peka di wilayah dada dan kepalanya. Dan memberitahu trik supaya Mamie merasakan nikmatnya disetubuhi olehku.

Aku pun mulai mengerti trik dan titik - titik peka itu.

Maka mulailah aku mengayun kembali kontolku sambil menjilati leher jenjang Mamie.

Kelihatan sekali Mamie menikmatinya. Terlebih ketika aku mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya. Maka mulailah aku merasakan sesuatu yang baru. Bahwa pinggul Mami mulai bergeol - geol, meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Liang memeknya pun terasa membesot - besot dan meremas - remas kontolku.

Cukup lama hal ini terjadi. Sementara rintihan - rintihan Mamie pun mulai terdengar.

“Aaaaaaah… aaaaa… aaaaah… Chepiiiii… mamie juga cinta kamu Sayaaaang… entot terus Cheeeep… entooootttttttt… iyaaaaa… iyaaaaa… entoooooooootttttttt… kontolmu luar biasa enaknya Cheeeep… aaaaaa… aaaaaaaah… Chepiiiiii… ini luar biasa enaknya Cheeeeeep …

Bahkan pada suatu saat Mamie berkelojotan sambil mendesah dan merintih, “Aaaaa… aaaaa Cheeepiiii… mamie mau lepas… mau lepasss… aaaaaaa… aaaaaaahhhh… aaaa…”

Mulutnya ternganga sementara tubuhnya mengejang, tegang sekali. Aku belum tahu harus berbuat apa, sehingga kubiarkan saja kontolku terbenam di dalam liang memeknya. Tanpa kugerakkan lagi.

Lalu sesuatu yang sangat erotis terjadi. Liang memek Mamie terasa berkedut - kedut kencang. Disusul dengan membasahnya liang memek yang tengah mencengkram kontolku ini.

Lalu tubuh Mamie terasa melemas. Disusul dengan kecupan hangatnya di bibirku. Dan Mamie pun berkata perlahan, “Terima kasih ya Sayang… belum pernah mamie merasakan disetubuhi yang senikmat ini.”

“Mamie sudah orgasme?” tanyaku sambil mengusap pipi Mamie yang mengkilap karena berkeringat.

“Iya Sayang,” sahut Mamie sambil melingkarkan lengannya di leherku, “Tapi kamu belum ejakulasi kan? Ayo entotin lagi… jangan direndem terus…”

Aku pun mengayun kembali kontolku di dalam liang memek Mamie yang terasa jadi lebih licin daripada tadi. Tapi bagiku malah lebih enak. Sehingga dengan sangat bergairah aku mengentot liang memek Mamie lebih cepat dari tadi.

“Mamie… memeknya jadi lebih enak… jadi licin sekali Mam…” ucapku di tengah gencarnya mengentot ibu tiriku yang cantik dan selalu baik padaku itu.

“Kon… kontolmu juga enak sekali Chep… bisa - bisa ketagihan mamie nanti…” sahut Mamie yang mata indahnya merem melek lagi.

“Kapan pun aku siap untuk melakukannya lagi nanti.”

“Iya Sayang… mamie memang sudah jatuh cinta padamu… aaaaaah… ini mulai enak lagi… entot terus Cheeepiii… sambil jilatin leher mamie kayak tadi… aaaaaa… aaaah… aaaa… aaaaah… aaaaa… aaaaaaahhhhhhh… hhhhhh… hhhhhh…”

Mulutku memang sudah beraksi lagi, menjilati bagian - bagian peka di tubuh Mamie yang terjangkau oleh lidahku. Ketika aku sedang menjilati leher dan telinga Mamie, tangan kiriku pun giat meremas toket kanannya. Sementara kontolku seolah sedang memompa liang memek Mamie yang luar biasa enaknya ini.

Tak cuma itu. Pada suatu saat aku pun mulai menjilati ketiak Mamie disertai dengan sedotan - sedotan kuat, sehingga Mamie semakin klepek - klepek dibuatnya. Meski mulai menggoyang pinggulnya, rintihan dan rengekan histeris Mamie pun mulai terdengar lagi.

“Chepiiii… oooohhhh… Chepiii… kamu sudah semakin pandai Sayang… ini semakin enaaak… ooooh… Cheeeep… kontolmu memang luar biasa enaknya… oooooooh… entot teruuuuss Cheeeeep… iyaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… entooooooottttttt… ooooh… oooo… ooooooohhhhh… Cheeeepiiii…

Tubuhku mulai bersimbah keringat. Namun aku malah semakin bersemangat untuk mengentot liang memek Mamie yang luar biasa enaknya ini.

Goyangan pinggul Mamie pun semakin menggila. Memutar - mutar, meliuk - liuk dan menghempas - hempas ke kasur. Sehingga kontolku terasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memek yang sangat licin ini.

Sampai pada suatu saat, terdengar Mamie berkata terengah, “Chep… mamie mau lepas lagi. Ayo barengin Chep… biar nikmat…”

Sebenarnya aku pun sedang berada di detik - detik krusial.

Maka atas permintaan Mamie, naluriku bilang bahwa aku harus mempercepat entotanku. Ya… aku mempercepat ayunan kontolku, laksana pelari yang sedang sprint di depan garis finish.

Sampai pada suatu detik, aku dan Mamie seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Saling cengkram dan saling remas sekuatnya, seolah ingin saling meremukkan tulang kami.

Pada saat itulah Mamie terkejang - kejang dengan mata terpejam, sementara aku membenamkan kontolku sedalam mungkin, tepat pada saat kontolku sedang mengejut - ngejut sambil menembak - nembakkan lendir kenikmatanku.

Crooootttttt… crotttt… croooottttttt… croootttttt… crooootttt… crooootttt…!

Lalu kami sama - sama terkulai lunglai. Dalam kepuasan sedalam lautan.

Malam itu adalah malam yang takkan kulupakan seumur hidupku. Bahwa aku sudah menyetubuhi Mamie untuk pertama kalinya.

Jahanam memang perbuatanku ini. Karena Mamie itu istri Papa. Milik Papa yang paling berharga, sementara aku telah mencurinya. Padahal Papa itu sangat menyayangiku. Lalu beginikah aku membalas kebaikan Papa?

Namun di sisi lain, aku menganggap betapa indahnya malam jahanam itu. Karena aku sudah merasakan sesuatu yang tadinya kuanggap hanya obsesi belaka.

Semakin indah lagi setelah Mamie mengajakku mandi bareng di kamar mandiku.

“Masih ingat waktu kamu sering mamie mandikan dahulu?” tanya Mamie sambil menyabuni tubuhku.

“Iya… di pancuran di kampung Mamie. Aku masih di SD kan saat itu Mam,” sahutku.

“Iya. Kamu masih kecil saat itu. Kontolmu juga masih kecil. Tapi sekarang udah panjang gede gini. Sudah bisa nakalin memek mamie pula,” ucap Mamie pada waktu menyabuni kontolku yang sudah terkulai lemas ini.

Tapi tak cuma menyabuni kontolku, melainkan juga mengocoknya. Sehingga perlahan - lahan kontolku mulai menegang kembali.

“Hihihihihiii… kontolmu udah ngaceng lagi Chep. Emang masih kepengen ngentot lagi ya?”

“Nggak tau… kalau udah ngaceng gini berarti masih bisa ngentot lagi Mam?”

“Iya. Tapi sekarang sudah jam setengah tiga pagi. Mendingan tidur aja, biar kamu gak kesiangan kuliah nanti.”

“Sekarang kan tanggal merah Mam.”

“Oh iya ya. Berarti kamu libur hari ini. Ya udah… selesaikan aja mandinya dulu. Kalau masih kepengen ngentot lagi, nanti mamie kasih.

Setelah selesai mandi, kami bersetubuh lagi di atas bedku. Durasinya lebih lama lagi, karena bagiku persetubuhan ini adalah persetubuhan yang ketiga kalinya. Tak urung Mamie orgasme dua kali lagi sebelum aku ngecrot crot crottt crotttt di dalam liang memeknya yang sangat fantastis bagiku.

Kemudian kami tertidur nyenyak. Inilah untuk pertama kalinya aku tidur dalam pelukan Mamie, dalam keadaan sama - sama telanjang pula.

Esok paginya kami sama - sama bangun terlambat. Bahkan ketika aku sudah duduk di atas bed, kulihat Mamie masih nyenyak tidur. Dan aku tak mau mengganggunya. Aku turun dari bed dengan hati - hati, kemudian melangkah ke kamar mandi.

Setelah selesai mandi, kukenakan baju dan celana piyama. Sementara Mamie masih tidur juga. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 pagi.

Dengan sabar kutunggu Mamie bangun sendiri.

Dan ketika Mamie sudah bangun, aku menyongsongnya dengan kecupan mesra di sepasang pipinya, sambil berkata setengah berbisik, “Terima kasih Mam. Khayalanku sudah menjadi kenyataan. Bahkan lebih daripada yang pernah kukhayalkan.”

Mamie tersenyum manis. Lalu bangun dan berkata, “Dengan mama kandungmu aja belum pernah dipelukin dalam keadaan sama - sama telanjang kan?”

“Iya Mam.”
“Terus… sekarang hatimu bahagia?” tanya Mamie sambil mengenakan kimononya.
“Sangat bahagia Mam.”

“Syukurlah. Mamie juga bahagia karena telah mendapatkan kebujanganmu. Tapi kalau Papa sudah datang, kita harus cari - cari kesempatan. Mungkin kalau Papa sedang di kantor dan kamu kuliah sore, baru bisa kita lakukan.”

“Iya Mam. Ohya kapan Papa pulang?”
“Katanya sih besok malam. Dipercepat dua hari, karena ingat kamu sedang berulang tahun hari ini.”

Esok malamnya Papa benar - benar pulang.

Begitu masuk ke dalam rumah, Papa langsung memanggilku. Entah kenapa, karena aku merasa sudah melakukan kesalahan besar kepada Papa, jantungku berdegup kencang waktu menghampiri beliau.

Ternyata Papa memeluk dan mencium dahiku, lalu berkata, “Selamat ulang tahun yang kedelapanbelas, ya Chep. Semoga panjang umur dan sukses selalu. Maafkan papa karena tidak bisa pulang pada hari ulang tahunmu kemaren. Tapi papa sudah transfer dana ke rekening tabunganmu, sebagai hadiah ulang tahun. Terserah kamu mau diapakan duit itu nanti, karena kamu sekarang sudah mulai dewasa.

“Iya Pap… terima kasih. ”

“Kapan kamu libur panjang?” tanya Papa.

“Dua minggu lagi Pap. “

“Nah… sekarang kamu sudah besar. Sudah dewasa. Zaman dahulu malah patokan dewasa itu pada usia tujuhbelas. Jadi kamu sudah bisa menilai sendiri mana yang baik dan mana yang buruk bagimu. Karena itu sekarang papa izinkan kamu untuk berjumpa dengan mamamu. Biar bagaimana Mama itu adalah ibu kandungmu.

“Iya Pap. Terima kasih. “
“Kamu masih ingat rumah mamamu kan?”
“Masih Pap. Rumahnya kan yang menghadap ke jalan raya, tapi di sampingnya ada jalan kecil. “
“Iya,” jawab Papa, “Di halaman depannya banyak pohon delima dan pohon mangga. ““
“Iya Pap. Aku masih ingat semuanya. “
“Lalu kamu mau pakai apa ke sana? Pakai bus?”
“Pake motor aja Pap. Biar bebas setelah ada di rumah Mama nanti. “

Dua minggu kemudian, aku sudah melarikan motorku ke kampung Mama yang jaraknya 60 kilometer dari kotaku.

Jalan cukup padat dengan kendaraan roda empat mau pun roda dua. Untunglah aku memakai motor, sehingga bisa selap - selip ke kiri ke kanan.

Dalam tempo relatif cepat aku pun sudah tiba di kampung Mama yang hanya kota kecamatan. Tanpa kesulitan sedikit pun aku tiba di depan rumah Mama yang masih sangat kuingat. Bahkan pohon mangga yang berderet di depan rumah Mama masih tetap seperti dahulu. Seperti waktu aku suka bermain di bawah pepohonan di masa kecilku, waktu Mama belum bercerai dengan Papa.

Ketika aku celingukan di dekat pintu depan, terdengar suara wanita dari ambang pintu itu, “Mau nyari siapa Dek?”

Aku terkejut dan mengamati wanita itu yang masih sangat kuingat. Yaaa… dia Mama kandungku!

“Mama lupa sama aku? Ini Chepi Mam,” sahutku yang disusul dengan mencium tangan Mama.

“Chepiiiii?! Ya Tuhan… “Mama merangkul dan memelukku sambil menangis tersedu - sedu, “Chepiiii… hiks… anakkuuuu… ooooooohhh… mama memang yakin bahwa pada suatu saat kamu akan datang juga. Karena pertalian darah dan batin kita takkan pernah putus… huuuuu… hiksss… Chepiiiiii…

Lalu Mama berjalan terhuyung - huyung sambil kudekap pinggangnya erat - erat, karena takut beliau terjatuh.

Kemudian Mama kududukkan di sofa. Sementara aku berlutut di lantai sambil menciumi lututnya, sambil bercucuran air mata.

Dengan suara sendu aku berkata, “Baru hari ini aku diijinkan oleh Papa untuk menjumpai Mama. Bahkan Papa nyuruh untuk menghabiskan liburanku selama dua minggu di sini. “

Mama menciumi rambutku dan masih terisak - isak. “Kekuatan apa pun takkan bisa memisahkan anak dengan ibu kandungnya. Mama memang mengerti kenapa kamu tidak diijinkan ke sini pada waktu masih kecil… hiks… hiks… mama berjuang untuk menenangkan hati mama selama ini. Untung masih banyak saudara yang sering menghibur hati mama dan berusaha menabahkan mama.

“Sudah Mam. Jangan menangis terus. Sekarang aku kan sudah diijinkan untuk menjumpai Mama di hari - hari luburku nanti. “

Mama pun berusaha menahan isak tangisnya. “Sekarang usiamu sudah berapa tahun?”

“Delapanbelas. Berarti usia Mama sekarang tigapuluhdelapan ya?”

“Iya. Kok kamu bisa tau?”

“Dahulu Mama kan pernah bilang, usia Mama duapuluh tahun waktu melahirkan aku. “

“Iya, iyaaa… sekarang kamu sudah jadi mahasiswa kan?”

“Iya Mam. Baru semester dua. “

“Syukurlah. Semoga kamu sukses di dalam menempuh pendidikan sampai jadi sarjana ya Chep. “

“Amiiin… “

Mama masih tetap seperti dahulu, seperti waktu mau berpisah denganku. Usia Mama lebih tua sepuluh tahun daripada Mamie. Jadi usiaku dengan usia Mamie dan usia Mama seperti tangga. Usia Mamie sepuluh tahun lebih tua dariku, usia Mama sepuluh tahun lebih tua dari Mamie.

Aku tak mau membanding - bandingkan fisik Mama dengan Mamie. Karena Mama dan Mamie punya kelebihan masing - masing. Dari perawakannya saja sudah jauh berbeda. Mamie berperawakan tinggi langsing, sementara Mama bertubuh tinggi montok. Mata Mamie agak menyipit, dengan hidung mancung meruncing. Sedangkan Mama bermata bundar dengan hidung mancung benar, mirip orang Pakistan.

Mama kelihatan sangat senang dengan kehadiranku di rumahnya. Lalu Mama sibuk di dapur bersama seorang pembantu yang datang pagi pulang sore, kata Mama.

Ketika hari sudah mulai sore, Mama mengajakku makan bersama. Sengaja aku duduk di samping Mama, karena aku mendadak jadi manja, ingin disuapi segala oleh ibu kandungku.

Mama ikuti saja keinginanku. Ia menyuapiku sambil berkata, “Waktu masih kecil kamu seneng sekali makan abon sapi dan sambel oncom yang kering dan dihaluskan. Sekarang masih suka?”

“Masih Mam,” sahutku, “Tapi Mamie cuma sekali - sekali aja menyediakan makanan favoritku itu. “

“Ibu tirimu galak nggak?” tanya Mama.

“Nggak. Sejak tinggal bersama dia sampai sedewasa ini, aku gak pernah dimarahi olehnya. Apalagi kekerasan, tak pernah terjadi. Dijewer telinga aja gak pernah. “

“Syukurlah kalau begitu. Kapan - kapan ajak dia ke sini. Mama akan terima dengan baik kok. Mama sudah tidak punya perasaan dendam lagi padanya. Yang penting dia mau merawat anak mama sebaik mungkin. “

“Iya, Mama tenang aja. Mamie gak pernah memperlakukanku secara buruk. “

Lalu kami lanjutkan ngobrolnya di ruang keluarga, sambil nonton televisi yang sedikit pun tak masuk di pikiranku. Entah kenapa, aku malah teringat - ingat Mamie terus. Teringat Mamie dan segala yang pernah terjadi dengannya.

Setelah hari mulai malam, Mama menempatkanku di kamar depan, yang sudah diberesi serapi mungkin. Tapi aku merasa kamar itu bekas kamar kakek dan nenek yang sudah tiada. Jujur, aku takut tidur di kamar itu sendirian. Maka kataku, “Nggak mau tidur di kamar depan ah. “

“Abis mau di kamar mana lagi? Kamar yang layak ditempati hanya ada dua. Apa mau di kamar mama?” tanya Mama.

Dengan gaya manja aku memeluk Mama dari belakang sambil berkata, “Iya… mau tidur sama Mama aja. Sebelum kita berpisah, aku kan masih suka tidur sama Mama. Nyaman sekali tidur dalam pelukan Mama. “

“Ya udah. Bawa tas pakaianmu ke kamar mama gih,” kata Mama sambil tersenyum.

“Iya Mam… emwuaaah…” sahutku yang disusul dengan kecupan di pipi Mama.

Malam itu aku merasa nyaman sekali tidur di dalam dekapan Mama. Setelah sembilan tahun berpisah, aku bisa merasakan lagi nyamannya dekapan dan kehangatan ibu kandung.

Malam kedua pun begitu. Bahkan di malam kedua itu, sebelum tidur kami masih sempat ngobrol di atas tempat tidur Mama.

“Mama kan belum tua. Empatpuluh tahun juga belum. Kenapa Mama tidak menmikah lagi?” tanyaku sambil mendekap pinggang Mama.

“Ah… yang naksir mama sih banyak. Tapi mama takkan kawin lagi Chep. “
“Kenapa?”
“Kawin lagi juga percuma, karena mama takkan bisa hamil dan melahirkan lagi. “
“Kok gitu? Kenapa gak bisa hamil lagi? “

“Ada masalah di rahim mama. Makanya waktu melahirkan kamu, dokter melarang mama hamil lagi. Kemudian mama disterilkan, agar tidak bisa hamil lagi. Kata dokter, kalau mama hamil lagi sangat berbahaya. “

“Ogitu Mam?! Kok baru sekarang aku dengar ceritanya. “

“Sebelum kita berpisah, kamu kan masih kecil. Baru umur sembilan tahun. Makanya mama merasa belum saatnya membicarakan masalah ini padamu.”

“Iya Mam. Lagian waktu itu aku belum punya handphone. Setelah punya pun bingung sendiri, karena aku belum tahu Mama pakai handphone nggak. Kalau punya pun, aku belum tau nomornya. “

“Iya. Mulai sekarang sih kita bisa ngobrol lewat hape ya?”

“Iya Mam. Kalau aku kangen Mama dan gak bisa ke sini, aku bakal nelepon aja nanti. “

“Iya… “

Lalu kami tertidur.

Di malam ketiga, aku malah duluan masuk ke kamar Mama, sementara Mama masih asyik nonton sinetron di televisi.

Pada malam ketiga inilah terjadi sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, apalagi merencanakannya. Saat itu aku sudah rebahan di bed Mama, dengan mata terpejam. Tapi sebenarnya aku belum tertidur. Hanya merem - merem ayam.

Lalu kulihat Mama masuk ke dalam kamarnya ini. Menengok ke arahku yang sedang merem - merem ayam ini. Lalu sambil membelakangiku, Mama melepaskan jilbabnya, disusul dengan baju jubah panjang hitamnya. Sehingga tinggal beha dan celana dalamnya yang masih melekat di tubuhnya. Kedua benda itu pun lalu dilepaskan.

Lalu entah setan mana yang merasuki jiwaku saat itu. Yang jelas, diam - diam kontolku mulai menegang di balik celana piyamaku…!

Dalamn keadaan telanjang bulat, Mama membuka lemari pakaiannya. Dan mengeluarkan sehelai kimono hitam yang lalu dikenakannya. Sehingga aku tahu benar bahwa di balik kimono itu Mama tidak mengenakan apa - apa lagi. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya begitu kalau mau tidur.

Ketika Mama naik ke atas tempat tidur, aku langsung bereaksi. Mendekap Mama, tapi bukan pada pinggangnya, melainkan di toket gedenya yang masih tersembunyi di balik kimono hitamnya.

Mama agak kaget. Lalu terdengar suaranya, “Belum tidur?”

“Belum,” sahutku sambil memegang toket Mama yang sebelah kanan, “Pengen nenen dulu seperti masa kecil dahulu, boleh kan?”

“Hihihihiiii… kamu inget masa kecil?”

“Iya. Sampai kelas dua SD aku masih suka ngemut puting payudara Mama sebelum tidur,” kataku sambil bergerak menelungkup di samping Mama. Lalu kuemut pentil toket kanannya.

Sebenarnya ini salah satu trik yang kudapat dari Mamie. Bahwa kalau pentil toket diemut sambil dijilati, pasti perempuan itu akan terangsang dan jadi horny. Maka itulah yang kulakukan. Kuemut pentil toket Mama sambil menjilatinya.

Mama tidak menolak. Bahkan dengan lembut dibelainya rambutku. Dan berkata perlahan, “Kamu anak mama satu - satunya Chep. Apa pun yang kamu inginkan, akan mama kabulkan. “

Mendengar ucapan itu spontan tanganku terjulur ke bawah. Ke balik kimononya, tepat pada selangkangannya. Sambil berkata, “Kalau semua keinginanku akan Mama kabulkan, ajari aku tentang cara bersetubuh ya Mam. “

“Haaaa?! “Mama tampak kaget, “Yang begituan sih gak perlu diajarin. Nanti juga bisa sendiri. “

Pada saat itu pula aku telah berhasil menyelinapkan jari tanganku ke dalam celah memek Mama. “Aku ingin merasakan bersetubuh Mam. Kata orang - orang sih enak sekali. Makanya aku ingin nyoba. Dimasukkannya ke sini ya Mam?” tanyaku pura - pura belum punya pengalaman dalam soal seks.

“Iya Sayaaang… tapi mama ini kan ibumu Naaak… “

“Terus kalau ingin nyoba harus dengan pelacur?”

“Hush…! Jangan Sayang. Kalau dengan pelacur, nanti kamu bisa ketularan penyakit kotor. Hiii… serem…! Apalagi kalau ketularan HIV… takkan bisa disembuhkan. Ngeriiii… “

“Ya udah, kalau gitu sama Mama aja. Kan Mama sudah jadi janda. Gak ada yang punya. “

“Tapi mama ini ibumu… yang mengandung dan melahirkanmu… “suara Mama mulai mengambang. Karena jari tanganku mulai kugesek - gesekkan ke celah memeknya yang mulai basah. Anehnya, Mama tidak berusaha mengeluarkan jari tanganku dari liang memeknya. Bahkan lalu berkata lirih, “Sayang… jangan bikin mama bingung dong.

Lalu… diam - diam tangannya pun menyelundup ke balik celana piyamaku lewat lingkaran elastisnya di bagian perutku. Dan… ketika aku sedang asyik - asyiknya menggesek - gesekkan jari tengahku ke liang memek Mama yang makin basah ini, tiba - tiba tangan Mama memegang batang kontolku yang sudah ngaceng berat ini…

“Chepi… ini kontolmu diapain bisa gede dan panjang banget gini?” tanya Mama.
“Gak diapa - apain Mam. “

“Lebih gede dan lebih panjang daripada punya papamu Chep,” ucap Mama mengingatkan ucapan serupa yang terlontar dari mulut Mamie.

“Mungkin karena almarhumah nenek orang Pakistan ya Mam. “

“Mungkin aja. Iiiih… kebayang istrimu kelak, pasti ketagihan sama kontol sepanjang dan segede gini sih. “

“Jadi Mama mau kan ngajarin aku bersetubuh? Jangan pake alesan ini itu lagi Mam. Kalau ya jawab ya, kalau tidak jawab tidak aja. “

“Kalau mama jawab tidak mau, pasti kamu merajuk ya. “

“Iyalah. Aku lagi kebelet gini, pengen ngerasain bersetubuh. Kalau Mama gak mau, aku pulang aja malam ini juga. Di kota kan gampang nyari pelacur jam berapa juga. “

“Ya udah… udah… tadi mama udah janji akan mengabulkan apa pun yang kamu inginkan. Demi sayangnya mama sama kamu. Lepasin dulu baju dan celanamu Chep. “

Buru - buru kulepaskan baju dan celana piyamaku, karena takut pikiran Mama berubah. Setelah telanjang bulat, Mama menyuruhku celentang di atas bed bertilamkan kain seprai bercorak kulit harimau.

Lalu Mama melepaskan kimononya, sehingga tubuh chubby-nya tak tertutup apa - apa lagi.

Dari dekat barulah aku sadat bahwa Mama mengenakan stoking berwarna yang mirip dengan kulitnya. Namun pandanganku terfokus ke sepasang toiketnya yang gede dan bergelantungan. Yang lebih fokus lagi adalah ke arah memeknya yang tembem dan bersih dari jembut.

Dalam keadaan telanjang Mama duduk di antara kedua kakiku. Lalu mendekatkan wajahnya ke kontolku yang sudah ngaceng berat ini. Dan… hap… sepasang bibir tebal tapi sensual itu menangkap leher kontolku, lalu jemari tangan Mama memasukkannya ke dalam mulutnya.

(Bersambung)

“It may be a man’s world, but men are easily controlled by women.” ― Ashly Lorenzana

“Ini mungkin dunia pria, tetapi pria mudah dikendalikan oleh wanita.” ― Ashly Lorenzana

Tadinya kupikir Mama ingin main dalam posisi WOT, karena beliau berlutut dengan kedua lutut berada di kanan - kiri panggulku. Tentunya dengan memek berada di atas kontol ngacengku. Tapi ternyata tidak. Mama bergerak terus ke atas, sehingga memeknya persis berada di atas mulutku. Pada saat itulah Mama berkata, “Jilatin dulu memek Mama sampai basah ya.

“Siap Mam. Memek Mama seperti enak ngejilatinnya,” sahutku sambil membiarkan memek Mama turun sampai “hinggap” di bibirku.

Kedua tanganku mengangakan memek tembem Mama yang bersih dari jembut ini. Sehingga tampaklah bagian dalamnya yang berwarna pink itu. Bahkan kelentitnya pun tampak menonjol. Kata Mamie, kalau kelentit sudah muncul dari “persembunyian”nya, berarti pemilik kelentit itu sudah horny berat. Dalam kalimat lain, Mama juga sudah horny, makanya bersedia mengabulkan keinginanku.

Mama mulai mendesah - desah ketika aku mulai gencar menjilati memeknya. Bahkan ketika aku fokus menjilati kelentitnya, Mama mulai merengek - rengek histeris, “Ooooh… Chepiiii… iyaaaaaa… jilatin terus itilnya Cheeeep… aduududuuuhhhh… kamu kok seperti sudah pengalaman… bisa jilatin itil segala …

Kuhentikan jilatanku sejenak untuk menjawab, “Aku kan sering nonton bokep Mam…”

Lalu kulanjutkan menjilati itil Mama secara lebih intensif. Sehingga dalam tempo singkat saja memek Mama terasa sudah sangat basah.

Tampaknya Mama pun menyadari hal ini. Karena ia cepat menelentang. “Ayolah masukin kontolmu sini… mumpung memek mama sudah basah,” kata Mama sambil menarik kontolku dan meletakkan moncongnya di ambang memek Mama yang sudah ternganga basah. Lalu mencolek - colekkannya sebentar, seperti mencari arah yang ngepas.

Lalu Mama merentangkan sepasang paha gempal tapi putih mulus itu sambil berkata, “Ayo dorong kontolmu Chep.”

Sebenarnya aku sudah berpengalaman dengan Mamie. Sehingga tanpa diberi instruksi pun aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.

Maka kudorong batang kemaluanku sekuatnya. Dan langsung membenam lebih dari separohnya… blesssskkkk…!

“Oooo… oooooh… sudah ma… masuk Sayang, “Mama spontan merengkuh leherku ke dalam pelukannya, lalu merapatkan pipinya ke pipiku. “Kita kok jadi begini ya?”

“Mama kan pasti merasa kesepian setelah berpisah dengan Papa,” sahutku, “Jadi biarlah aku menggantikan Papa untuk mengisi kesepian Mama…”

Aku pun mulai mengayun kontolku di dalam liang memek Mama yang kunilai tidak kalah dengan lezatnya memek Mamie.

Mama pun mulai menggeliat - geliat sambil berdesis, “Mama berdosa besar ini Chep. Tapi ooooooh… kontolmu kok enak banget Cheeeeep…”

“Soal dosa sih di dunia ini gak ada manusia yang steril dari dosa Mam,” sahutku sambil menghentikan entotanku sejenak.

“Iya… kenapa berhenti?”
“Aku mau menyampaikan sesuatu Mam.”
“Mau nyampaikan apa?”

“Memek Mama ini luar biasa enaknya. Hal itu akan mendorongku untuk sering - sering datang menjenguk Mama, sekaligus menikmati enaknya memek Mama.”

Mama tersenyum sambil memijat hidungku. “Ayo lanjutin lagi…” ucapnya sambil menepuk pahaku yang tengah menghimpit pahanya yang gempal tapi sangat mulus. Tidak bergerinjal - gerinjal seperti paha orang kegemukan.

Dan yang jelas kurasakan, liang memek Mama ini luar biasa enaknya. Empuk - empuk kenyal, namun setelah kuentot terasa sangat menjepit.

Selain daripada itu, mungkin aku merasakan daya sugestif, yang membuatku sangat nyaman mengentot ibu kandungku ini. Sehingga tiap gesekan antara kontolku dengan dinding liang kewanitaan Mama ini terasa nikmat dan sangat berarti bagiku.

Mama pun sepertinya mulai menikmati persetubuhan ini. Karena desahan dan rintihan histerisnya mulai terdengar. “Aaaaaaah… aaaaaah… Chepiiiii… sebenarnya kita tidak boleh melakukan ini… tapi… oooooh… kamu membuat mama jauh lebih nyaman daripada papamu Cheeep… kontolmu enak sekali sayaaaang …

Perjalanan seksualku dengan Mama ini ternyata sangat variatif, karena Mama benar - benar ingin mengajariku tentang hubungan seks. Mama memang sangat atraktif. Ini yang tidak kuduga sebelumnya, karena tubuh Mama yang semok begitu. Tadinya kusangka Mama susah bergerak saking semoknya. Tapi ternyata sebaliknya.

Mama mengajakku mengubah posisi, menjadi posisi WOT. Lalu dengan lincahnya pinggul Mama naik turun, sehingga kontolku terasa dibesot - besot dan dipilin - pilin oleh liang memeknya.

Setelah Mama bercucuran keringat, Mama merebahkan diri, dalam keadaan miring membelakangiku. Mama menyuruhku memasukkan kontol ke dalam liang memeknya, tapi dari arah belakang tubuhnya.

Aku menurut saja. Lalu mengentot Mama yang sedang membelakangiku.

Tak cuma itu. Mama pun mengajakku ganti posisi lagi, menjadi posisi doggy. Aku pun setuju saja, karena memang ingin tahu banyak tentang posisi - posisi seks.

Lalu Mama merangkak dan menungging sambil menyuruh memasukkan kembali kontolku ke memek Mama yang tampak nyempil di antara sepasang pangkal pahanya.

Lalu sambil berlutut aku mengentot lagi Mama dalam posisi doggy ini.

Ya… di malam jahanam ini aku menikmati lagi keindahan dan kenikmatan hubungan seks, meski dengan ibu kandungku sendiri.

Sementara aku yang sudah diajari oleh Mamie untuk mengatur pernafasan dan konsentrasiku, cukup lama menyetubuhi Mama ini. Aku tahu bahwa Mama sudah berkali - kali orgasme, sementara aku masih bertahan juga.

Akhirnya Mama mengajakku ganti posisi menjadi posisi missionary lagi. Aku mengiyakan saja. Dan Mama langsung celentang sambil merentangkan sepasang paha putih mulusnya selebar mungkin.

Lalu kubenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Mama yang sudah becek itu dengan mudahnya. Blesssssss… kontolku langsung masuk sepenuhnya. Disambut dengan pelukan Mama dan ucapan, “Mama udah berkali - kali orgasme. Tapi kamu kok belum ngecrot juga sih? Mungkin kamu udah berpengalaman ya?”

“Nggak Mam,” sahutku, “Aku hanya sering nonton bokep dan baca buku tentang masalah seks.”

“Ngocok juga sering ya?”

“Nah… kalau ngocok sih sering. Daripada main sama pelacur kan lebih aman ngocok.”

“Iya sih. Tapi mulai saat ini jangan suka ngocok lagi ya. Kalau lagi kepengen datang aja ke sini. Mama akan selalu siap untuk meladeni anak semata wayang mama ini.”

Percakapan itu terhenti ketika aku sudah mulai mengayun kembali batang kemaluanku di dalam liang surgawi Mama.

Meski pun chubby, Mama sangat atraktif. Ketika aku menggencarkan entotanku, Mama pun mengayun pinggulnya dengan binal sekali. Sehingga meski liang memeknya sudah becek, aku dibuat terpoejam - pejam saking nikmatnya. Ya, dengan goyangan pinggul Mama yang memutar - mutar dan meliuk - liuk, terkadang menghempas - hempas ke kasur, kontolku terasa dibesot - besot dan dipilin - pilin oleh liang memeknya.

Keringat kami pun semakin membanjir.

Sampai pada detik - detik krusialku, “Mam… lepasin di dalam boleh?”

“Boleh,” sahut Mama, “Mama sudah steril Sayang… ooooh… kamu udah mau ngecrot?”

“Iii… iya Mam…”

“”Ayo deh kita lepasin bareng - bareng. Mama juga udah mau lepas lagi sayaaang… aaaaa… aaaaah… mau… mau lepaaaaassssssss… “Mama gedebak - gedebuk berkelojotan. Sampai akhirnya sekujur tubuh Mama mengejang tegang.

Pada saat yang sama kubenamkan kontolku sedalam mungkin. Lalu terasa lubang memek Mama berkedut - kedut kencang. Pada detik - detik itu pula kontolku mengejut - ngejut, sambil meletuskan lendir kenikmatanku.

Crooootttt… croootttt… croooottttt… croooootttt… croooottttt… croootttt… crooootttt…!

Lalu aku terkapar di atas perut Mama.

Mama pun terkulai lemas. Tapi Mama masih menyempatkan diri untuk mencium bibirku, disusul dengan ucapan, “Terima kasih Sayang. Ternyata kamu malah jauh lebih memuaskan daripada papamu.”

Esok paginya aku duduk - duduk di pekarangan belakang yang luas dan hijau itu. Mama berasal dari keluarga yang terpandang. Karena ayahnya berdarah biru, sementara ibunya wanita Pakistan yang kaya.

Karena itu setelah kakek dan nenekku meninggal, peninggalannya pun cukup banyak. Antara lain rumah yang ditinggali oleh Mama ini, adalah rumah gedung antik, seperti gedung - gedung peninggalan zaman kolonial Belanda. Tapi rumah ini tampak kokoh sekali.

Rumah peninggalan kakek dan nenek cukup banyak. Tapi karena anaknya pun banyak, maka rumah itu pun dibagi - bagi. Rumah dan tanah yang Mama tempati ini, adalah jatah untuk Mama sendiri. Karena saudara - saudaranya yang 8 orang itu lebih memilih rumah di kota besar. Sementara Mama lebih suka tinggal di kota kecamatan ini, karena mengingat kakek dan nenekku di masa tua sampai meninggalnya tinggal di rumah antik ini.

Mama mencintai rumah antik ini. Karena tanah di belakangnya cukup luas. Hampir dua hektar. Tanahnya pun sangat subur, sehingga bisa ditanami beraneka pohon buah - buahan. Bisa ditanami sayur mayur pula. Mama pun bisa bebas memelihara ayam kampung sampai ratusan jumlahnya. Kalau ada sisa - sisa makanan, bisa ditaburkan ke ayam - ayamnya.

Bukan cuma itu. Di belakang reumah Mama ada kolam ikannya segala. Yang dipelihara adalah ikan yang bisa dikonsumsi. Bukan sekadar ikan hias.

Ketika aku sedang asyik menaburkan makanan ikan ke kolam itu, terdengar Mama memanggilku, “Chepiiii… !”

“Iya Mam,” sahutku sambil benaburkan sisa makanan ikan ke kolam. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah antik dan kokoh itu.

“Ada apa Mam?” tanyaku.

“Sayang… mama punya nazar,” kata Mama sambil memegang bahuku, “Bahwa kalau kamu datang ke sini, mama akan membelikan sebuah mobil bagus. Sekarang lihatlah ke depan… itu mobil barumu sudah menunggu.”

Aku menengok ke depan rumah. Ternyata benar. Sebuah sedan hitam yang semerk dan setype dengan sedan Mamie, sudah menungguku di depan.

“Mama…! Ooooh… itu kan sedan mahal Mam…”

“Iya Sayang. Mama gak mau ngasih mobil Jepang. Karena itu mama beli mobil buatan Jerman, sahut Mama sambil membimbingku berjalan ke pekarangan depan.

Di samping mobil baru itu kucium sepasang pipi Mama sambil membisikinya, “Terima kasih Mama. Aku tak pernah membayangkan punya mobil sekeren ini.”

“Mama mengumpulkan duit hampir setahun untuk membeli mobil ini. Bahkan tiap bulan mama transfer ke dealer untuk membeli mobil ini. Bulan lalu sudah lunas. Tapi mama minta jangan dikirimkan dulu, karena kamunya belum datang.”

“Berarti Mama sudah punya feeling kalau aku mau datang ya?”

“Iya… feeling seorang ibu tentu tajam Sayang.”

“Mama sendiri gak punya mobil, kenapa mendahulukan aku?”

“Aaah, kalau mama punya mobil, harus gaji sopir dan sebagainya. Mama kan gak bisa nyetir, gak ngerti mesin dan sebagainya. Nanti malah ditipuin aja terus sama sopir. Makanya mama mengutamakan kamu, anak mama satyu - satunya. Supaya kamu tampil lebih bagus nanti. Kamu sudah punya SIM kan?”

“Ada Mam. SIM motor punya, SIM mobil juga punya. Kan kalau di rumah suka pakai mobil Papa. Ayo kita coba mobilnya sekarang Mam.”

“Iya, “Mama mengangguk sambil tersenyum ceria.

Tak lama kemudian aku sudah berada di belakang setir sedan hitam itu. Sementara Mama sudah duduk di sebelah kiriku.

“Bagaimana? Enak gak mobilnya?” tanya Mama setelah aku nyetir lebih dari setengah jam di jalan raya.

“Sangat - sangat enak sekali Mam. Tapi dibandingkan dengan memek Mama sih tetap aja enakan memek Mama. Hahahaaaaa…”

Mama menyahut perlahan, “Mama juga ketagihan sama kontolmu Sayang…”

Begitulah… aku bukan hanya mendapatkan sebuah sedan mahal, tapi juga mendapatkan jatah memek Mama selama liburan di rumahnya. Sehingga hari - liburanku menjadi hari - hari sibuk dengan hubungan seks…!

Mamie terheran - heran melihatku pulang dengan sedan hitam yang sama persis dengan sedan miliknya, hanya warnanya saja yang berbeda. Punya Mamie berwarna merah, sementara mobilku berwarna hitam.

Untungnya garasi kami cukup luas, sehingga meski ada mobil papa dan mobil Mamie, mobilku tetap bisa masuk dengan leluasa. Bahkan mungkin ditambah satu mobil lagi pun masih bisa muat di garasi kami.

“Ini mobil siapa Chep?” tanya Mamie sambil memegang pergelangan tanganku.

“Mobilku Mam. Hadiah dari Mama,” sahutku.

“Mmm… mau dikasih mobil sama mamie, kamu gak mau. Dikasih mobil sama mama kandung tercinta sih mau ya,” ucap Mamie sambil mencubit perutku.

“Ini mobil tau - tau udah ada di depan rumah. Mama gak pernah bilang - bilang sebelumnya, Mamie Sayang,” kataku sambil mendekap pinggang Mamie, “Ehhh… Papa ada ya?”

“Ada… lagi tidur,” sahut Mamie sambil menuntunku ke dalam kamarku, “Ada yang mau mamie bicarakan…”

Begitu berada di dalam kamarku, Mamie menutup dan menguncikan pintu kamarku, lalu mengajak duduk berdampingan di sofa.

“Ada apa Mam? Kok kelihatannya ceria sekali?” tanyaku.

“Tadinya kita takujt ketahuan Papa kan? Tapi sekarang justru Papa yang nyuruh mamie agar minta dihamili sama kamu Sayang.”

“Mamie serius?”

“Sangat serius.”

“Kok bisa begitu?”

“Begini… awalnya Papa yang nanya, apa cita - cita mamie yang belum kesampaian? Mamie jujur aja menjawab, bahwa mamie ingin punya anak.”

“Terus?”

“Awalnya Papa kelihatan bingung. Tapi akhirnya dia bilang, bahwa spermanya sudah lemah. Dokter bilang Papa sulit untuk mendapatkan anak lagi. Karena itu Papa nyuruh mamie merayu kamu supaya bersedia menghamili mamie.”

“Tanpa dirayu pun aku sudah sering menyetubuhi Mamie, “tanggapku.

“Iya. Tapi Papa kan belum tau kalau kita sudah mendahului sarannya itu.”

“Kira - kira saran Papa itu diucapkan dengan hati yang ikhlas gak ya?”

“Sangat bersemangat, bukan ikhlas lagi. Malah dia udah gak sabaran, nyuruh mamie telepon kamu supaya cepat pulang. Tapi mamie kan kasihan karena kamu sedang menjumpai ibu kandungmu yang sudah sembilan tahun tidak berjumpa. Makanya mamie minta Papa bersabar menunggu sampai kamu pulang tanpa diburu - buru.

Aku cuma mengangguk - angguk dengan perasaan masih bingung.

“Nah… kedengarannya Papa udah bangun tuh. Nanti kalau ditanya, bilang aja kita belum pernah ngapa - ngapain ya. Tapi setelah ada restu dari Papa, kita bisa main sesuka hati. Pada waktu Papa ada di rumah pun kita masih bisa main. Gimana? Kamu seneng?”

“Seneng sekali Mam. Baiklah… aku mau mandi dulu ya.”

“Iya. Cepetan mandinya. Karena papa nanti sore akan terbang ke Medan. Jadi kita bebas mau melakukan apa pun.”

“Iya Mam.”

“Nanti Papa pasti manggil kamu Chep.”

“Iya Mam,” sahutku sambil melangkah masuk ke dalam kamar mandi.

Sambil mandi terawanganku melayang - layang tak menentu. Tentang Mama yang begitu menyayangiku, sehingga apa pun yang kuinginkan selalu dikabulkannya, termasuk pemasrahan memeknya. Juga tentang berita yang barusan kudengar dari Mamie, tentang keinginan Papa yang terasa aneh bagiku.

Setelah mandi, aku keluar dari kamar mandi. Ternyata Papa sudah berada di dalam kamarku. Sedang duduk di sofa.

“Bagaimana keadaan mamamu Chep? Sehat?” tanya Papa.

“Sehat Pap. Malah jadi lebih gemuk daripada dahulu.”

“Syukurlah kalau sehat sih. Sini sebentar Chep. Papa mau ngomong sebentar.”

“Iya Pap, sebentar… ganti baju dulu,” sahutku sambil buru - buru mengenakan baju dan celana piyamaku. Kemudian menyisir sebentar. Dan melangkah ke arah sofa yang sedang diduduki oleh Papa.

Setelah mencium tangan Papa, aku pun duduk di sampingnya.

“Kamu dibeliin mobil mahal sama mamamu?” tanya Papa.

“Iya. Mobil itu tau - tau udah nongkrong aja di depan rumah Mama. Katanya sih Mama punya nazar untuk menghadiahkan mobil kalau aku datang menjumpainya.”

“Ya syukurlah. Kalau bisa membelikan mobil mahal begitu, berarti mamamu tidak kekurangan setelah hidup sendiri.”

Papa terdiam sejenak. Lalu berkata sambil memegang bahuku, “Ohya… papa mau minta tolong sama kamu Chep.”

“Minta tolong apa Pap?”

“Kamu kan sudah delapanbelas tahun. Papa mau bicara secara dewasa aja ya. Mamiemu itu pengen punya keturunan. Sedangkan papa sudah diperiksa ke dokter, hasilnya sangat mengecewakan. Kata dokter, sperma papa sudah lemah. Jadi takkan bisa membuahi lagi. Kalau dipaksakan pun nanti bayinya bisa bermasalah, bahkan bisa cacat dan sebagaInya.

Papa terdiam lagi sesaat. Lalu melanjutkan dengan suara setengah berbisik, “Papa takut kalau keinginan Mamie tidak tercapai, lama - lama bisa minta cerai nanti sama papa.”

“Iya Pap. Seorang wanita yang sudah bersuami, tentu saja punya keinginan menjadi seorang ibu, “tanggapku.

“Nah… kamu kan sudah jadi mahasiswa, tentu kamu bisa menganalisa keadaan ini. Jadi… setelah papa pikirkan matang - matang, papa hanya punya satu tumpuan harapan, yakni dirimu Chep.”

“Apa yang bisa kulakukan untuk membantu Papa?”

“Papa ingin agar kamu mewakili papa untuk menghamili Mamie.”

“Wow… itu kan berarti aku harus…”

“Harus menggauli Mamie serajin mungkin. Agar dia bisa hamil.”

Aku tertunduk sejenak. Lalu bertanya, “Memangnya Papa gak cemburu kalau aku melakukan tugas dari Papa itu?”

“Tidak, “Papa menggeleng sambil tersenyum, “Kamu kan anak papa. DNAmu pasti identik dengan DNA papa. Karena kamu adalah darah daging papa.”

Aku tidak langsung setuju, karena ada perasaan kurang nyaman juga di dalam hatiku.

“Bisa kan? “Papa menepuk bahuku, “Bisa kamu membantu papa dalam masalah yang satu itu?”

Aku menatap mata Papa. Lalu mengangguk perlahan, “Demi Papa aku mau mencoba untuk melakukannya. Tapi… Papa udah yakin kalau Mamienya mau begituan sama aku?“

“Sudah mau. Masa dikasih anak muda setampan kamu gak mau?! Hhhh… hhhh… hhhh… “Papa malah ketawa ditahan - tahan.

“Iya deh… hitung - hitung sekalian belajar aja sama Mamie ya Pap.”

“Naaaah… dada papa langsung plong Chep. Lakukanlah dengan tenang ya. Jangan punya perasaan ini - itu. Konsentrasi saja pada Mamie yang ingin hamil. Kamu pasti bisa. Tapi ingat… semua itu rahasia kita dengan Mamie saja. Kedua kakakmu juga jangan sampai tau.”

“Siap Pap.”

Papa tersenyum sambil menepuk - nepuk bahuku. “Ya udah papa mau terbang ke Medan nanti sore, sekarang mau siap - siap dulu.”

“Iya Pap. Pulangnya bawain sirop markisa ya.”

“Iya. Lakukanlah tugas rahasiamu dengan baik, bahagiakan hati Mamie sebisamu.”

“Siap Pap.”

Papa keluar dari kamarku. Aku pun keluar menuju dapur, minta dibikinin kopi pahit sama Bi Caca, pembantu yang sudah bertahun - tahun bekerja di rumah ini.

Jam 13.00 sebuah mobil perusahaan datang untuk menjemput dan akan mengantarkan Papa ke bandara.

Aku dan Mama mengantarkan kepergian Papa sampai pintu pagar besi.

Setelah mobil perusahaan yang akan mengantarkan Papa ke bandara menghilang dari pandangan, Mamie mengajakku ke dalam kamarnya.

Setelah berada di dalam kamar, Mamie memegang pergelangan tanganku sambil berkata, “Mamie ingin nyobain dibawa olehmu dengan mobil baru itu. Tapi nanti malam aja jalannya. Sekarang sih pengen kangen - kangenan dulu sama kamu.”

“Iya Mam. Aku juga udah kangen berat, dua minggu gak lihat Mamie rasanya rindu banget,” sahutku sambil memeluk dan mencium bibir ibu tiriku yang jelita itu.

Mamie pun mendekap pinggangku sambil menciumi sepasang pipiku. “Mamie apa lagi. Kangen sekali padamu.”

“Sekarang kita bisa melakukannya dengan tenang ya Mam. Tanpa rasa takut ketahuan Papa lagi.”

“Iya. Tapi jangan sampai ketahuan sama Caca juga. Nanti dia bisa bocorin rahasia ke luar.”

“Tentu aja Mam. Tadi Papa juga udah mewanti - wanti bahwa kita harus merahasiakan. Teh Susie dan Teh Nindie juga jangan sampai tau.”

Tapi diam - diam aku teringat sesuatu yang pernah terjadi, tanpa sepengetahuan Mamie. Sesuatu yang memalukan, mungkin. Tapi biar bagaimana hal itu sudah tergores di dalam history of my life. Sejarah kehidupanku. Takkan bisa dihapus lagi. Dan aku masih ingat semuanya.

Sebelum aku mendapat libur panjang, Papa dan Mamie sedang berada di kampung Mamie. Katanya sih mau menikahkan adik Mamie di kampungnya.

Pada saat itulah, sepulang kuliah aku memanggil Bi Caca. “Bi bisa mijitin gak?”

“Mijit? Sedikit - sedikit sih bisa Den,” sahut Bi Caca, “Memang Den Chepi mau dipijit?”

“Iya Bi… duuuh pegel - pegel kaki dan pinggangku Bi.”

“Iya. Entar saya pijitin. Mau cuci tangan dulu ya Den.”

“Iya, kutunggu di kamar ya Bi.”

“Iya Den…”

Kemudian aku masuk lagi ke dalam kamarku. Kutanggalkan baju dan celana yang kupakai kuliah tadi. Dan dalam keadaan cuma bercelana dalam, aku menelungkup di atas bedku.

Tak lama kemudian Bi Caca masuk ke dalam kamarku. “Mau pakai minyak gosok Den?” tanyanya.

“Jangan ah,” sahutku, “Nanti badanku berminyak - minyak dan panas. Pakai tangan aja,” kataku sambil tetap menelungkup.

“Mau diurut biasa Den?”

“Iya. Diurut biasa aja, sambil pijit - pijit. Biar pegel - pegelnya berkurang.”

Lalu Bi Caca mulai memijati telapak kaki dan jari -jarinya. Dilanjutkan dengan memijat dan mengurut - urut betisku.

“Nahhh… ini enak Bi… pinter juga Bibi mijit ya…”

“Kalau ada Ibu mah mungkin saya gak disuruh mijit ya Den. Hihihiii…” kata Bi Caca sambil menahan tawanya.

Aku kaget mendengar ucapan Bi Caca itu. Apa maksudnya? Apakah dia menyindirku atau asal nyeplos ngomong aja.

“Aku gak pernah dipijitin sama Mamie Bi.”

“Iii… iya Den. Tapi Ibu memang sangat baik ya sama Den Chepi. Gak seperti ibu tiri.”

“Sangat baik gimana?”

“Ngg… nggak pernah marahin… hihihihiii… “Bi Caca menahan tawanya lagi.

Wah… jangan - jangan dia sudah tahu kalau aku suka menggauli Mamie.

Lalu aku harus bilang apa? Aku malah tak berani menanggapinya, karena takut masalahnya jadi melebar ke mana - mana.

Tapi bagaimana kalau dia menyebar gossip ke pembantu tetangga yang suka pada ngerumpi di pinggir jalan?

Aku harus berusaha meredam nsegala kemungkinan buruk di kemudian hari…!

Lalu aku langsung memindahkan topik pembicaraan. “Bi Caca ini statusnya janda apa punya suami?” tanyaku.

“Punya suami Den. Tapi ketemunya juga cuma dua tahun sekali.”

“Lho kok bisa?!”

“Suami saya bekerja di Arab Den. Pulang setahun sekali aja gak bisa, karena gajinya sedikit. Tapi belakangan ini saya dengar kabar bahwa dia sudah nikah lagi, dengan TKW yang kerja di Arab juga. Gak taulah… saya pusing kalau mikirin suami. Makanya saya bekerja di sini juga, karena butuh duit untuk anak saya.

“Punya anak berapa?” tanyaku sambil membalikkan badan jadi celentang, “Bagian depannya juga pijitin Bi.”

“Iya Den.”

“Eeeh, tadi aku nanya punya anak berapa?”

“Cuma seorang Den baru usia empat tahun.”

“Terus sama siapa anak itu sekarang?” tanyaku samb il mengamati Bi Caca yang sedang mwembungkuk memijati betis dan pahaku, sementara aku melihat sesuatu yang luar biasa lewat belahan daster bagian dadanya. Tampak pertemuan sepasang bukit kembar itu dengan jelas. Dan aku yakin toket Bi Caca itu gede…

Dan… diam - diam batang kemaluanku mulai menegang di balik celana dalamku yang terbuat dari bahan kaus putih ini. Sambil membayangkan seperti apa bentuknya kalau Bi Caca telanjang di depan mataku? Dan seperti apa bentuk memeknya? Seperti apa pula rasanya kalau aku ewean sama dia?

Ini jelas. Bahwa nafsuku sudah mulai menggoda. Dan dengan pesatnya menjadi hasrat yang tak terkendalikan lagi. Sehingga akhirnya kusembulkan batang kemaluanku dari sela celana dalamku. Sambil memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, aku berkata, “Ini kalau sudah bangun begini harus diapain Bi?

Bi Caca menoleh ke arah kontol ngacengku yang seolah menunjuk ke langit - langit kamarku. “Waaaauuuu… Deeeen… itunya kok panjang gede gitu Deeen…”

“Iyaaa… terus sekarang ngaceng begini musti diapain biar lemas lagi? Harus diemut kali ya sama Bibi?!”

“Waaah… saya belum pandai emut - emutan. Punya suami saya juga belum pernah saya emut Den.”

“Terus harus diapain? Harus dientotin ke memek Bibi kali ya?”

Bi Caca mendadak tampak bersemangat. Dia memegang batang kontolku dengan tangan gemetaran. “Memangnya Den Chepi berkenan ngentot saya gitu?”

“Mau Bi. Mau banget. Yang penting kontolku bisa lemas lagi. Kalau ngaceng begini suka pegel.”

“Sekarang Den?” tanyanya seperti belum yhakin pada ucapanku.

“Tahun depan!” sahutku, “Ya sekarang lah. Kan ngacengnya juga sekarang.”

“Berarti saya harus telanjang ya Den?”

“Ya iyalah. Biar jelas semuanya. Bi Caca seksi kok malam ini.”

Bi Caca memang pembersih dan pesolek. Pembantu zaman sekarang beda dengan babu di zaman dahulu. Pembokat zaman sekarang seperti Bi Caca itu, rambut pun dicat dengan warna kecoklatan. Bibirnya yang lebar tak pernah lolos dari lipstick.

Bi Caca memang tidak cantik, tapi manis. Sesuai dengan warna kulitnya yang hitam manis. Tubuhnya tinggi montok, terutama montok di toket dan bokongnya itu. Tapi jujur, baru sekali ini aku memperhatikan beberapa kelebihannya itu.

“Ayo telanjang. Aku juga udah telanjang nih,” kataku sambil melemparkan celana dalamku ke lantai, karena nanti akan diganti oleh celana dalam yang sudah dicuci dan disetrika.

Bi Caca tak kelihatan ragu menanggalkan dasternya. Sehingga tubuhnya tinggal mengenakan beha dan celana dalam yang sama - sama berwarna merah. Lalu kulihat ia sudah menanggalken behanya, sehingga sepasang toketnya yang memang gede itu tak tertutup apa - apa lagi.

Sambilk membungkuk, Bi Caca melepaskan celana dalam merahnya. Sehingga memekjnya yang berwarna coklat muda itu tak terhalang seutas benang pun lagi. Setelah melihat bentuk memeknya yang tercukur bersih itu, hatiku berkata, “Dia benar - benar mengikuti trend masa kini. Memeknya pun dibersihkan dari jembut, sehingga seolah menantangku untuk menjilatinya.

Bi Caca cuma manis, tidak cantik. Tapi setelah telanjang bulat sambil celentang di atas bedku… aduhai… betapa menggiurkannya tubuh pembokat setia itu…!

Lalu apakah aku berniat untuk jaim dan mau langsung menjebloskan kontolku ke dalam liang memeknya?

Tidak. Aku sejak awal mengalami hubungan seks dengan Mamie, prinsipku tetap kokoh di dalam batinku. Bahwa perempuan mana pun yang kusetubuhi, harus meninggalkan kesan positif di dalam hati perempuan itu. Kalau secara lebay, aku ingin dianggap sebagai lelaki yang paling memuaskan di dunia ini.

Karena itu aku menyerudukkan mulutku ke memek Bi Caca yang berwarna gelap itu, lalu mengangakannya dengan kedua tanganku, lalu menjilati bagian dalamnya yang berwarna merah membara itu. “Deeeen… “seru Bi Caca tertahan. Mungkin dia kaget karena aku menjilati memeknya, sebagai tanda bahwa aku menganggapnya bukan sekadar pembokat di rumah ini.

Lebih dari itu, tampaknya Bi Caca baru sekali ini merasakan memeknya dijilati. Sehingga kertika lidahku mulai gencar menjilati memek dan kelentitnya juga, dsia mulai menggeliat - geliat dan mendesah - desah, “Aaaaaaah… aaaaaaa… aaaaaah Deeeen Cheeepiiiii… sa… saya baru sekali ini merasakan eeee…

Eeenaknya memek dijilatin begini… oooooh Deeeen… ini sangat - sangat enak sekali Deeen… adududuuuuuh… iya Deeeen… apalagi kalau itil saya dijilatin begini… enak Den.. enaaaaak… ooooh Deeen Chepiiii… saya merasa seolah bermimpi karena mengalami hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya ini…

Aku tak merasa derajatku direndahkan. Aku bahkan senang mendengar pengakuan Bi Caca itu. Bahwa ia baru sekali ini merasakan memeknya dijilati. Sehingga ia merasakan nikmatnya perlakuanku padanya. Maka semakin gencarlah aku menjilati kelentitnya yang cuma sebesar kacang kedelai itu. Bahkan sesekali aku menyedot kelentit yang sudah tegang itu, sehingga perut Bi Caca seriung terangkat - angkat dalam kejangnya.

Dan setelah memek Bi Caca terasa basah sekali oleh air liurku, dengan sigap aku mendorong sepasang pahanya agar terentang lebar, sementara moncong kontolku sudah kuletakkan di mulut heunceut Bi Caca yang berwarna gelap dan agak tembem itu.

Lalu kudorong kontol ngacengku sekuatnya. Blesssss… melesak masuk ke dalam liang memek Bi Caca yang disambut dengan pelukan perempuan yang kira - kira sebaya dengan Mamie itu (28 tahunan) disertai dengan rengekan erotisnya, “Adududuuuuuh… masuk Deeeeen… oooooooh Den Cheeepiiiii…”

Kemudian kuhempaskan dadaku ke atas sepasang toket gede itu, sambil merapatkan pipiku ke pipinya. “Gak nyangka… memek Bibi masih sempit gini ya…” ucapku sambil mengayun kontol ngacengku perlahan - lahan.

Sebagai jawaban, Bi Caca malah memagut bibirku ke dalam lumatan hangatnya, sambil melingkarkan lengannya di leherku. Sementara aku mulai mempercepat entotanku.

Bi Caca pun mulai menggoyang pinggulnya dengan gerakan yang sangat erotis. Memutar - mutar dan meliuk - liuk, sehingga kontolku terasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang memeknya yang sangat legit ini.

Sementara Bi Caca semakin binal menggeolkan pinggulnya diiringi rintihan - rintihan histerisnya, “Deeen… oooo… oooooh… Deeeen… punya Aden ini… ooooooh… luar biasa rasanya… ooooh… belum pernah saya merasakan disetubuhi seenak ini Deeeeen… ooooh… kita ini… lagi ngapain Deeen?

“Lagi ewean… !”

“Hihihiiii… saya pasti ketagihan nanti Den… pengen diewe terus sama Aden… ““Santai aja Bi. Aku juga bakal ketagihan, pengen ngewe Bibi terus nanti. Heunceut Bibi juga luar biasa legitnya sih… nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Bi?”

“Di dalem heunceut saya aja Den. Saya masih ikutan kabe kok. Ta… tapi… adududuuuuh Deeeen… saya udah mau lepas nih Deeen… “Bi Caca gedebak - gedebuk berkelojotan.

“Ayo lepasin aja Bi. Aku seneng kalau merasakan perempuan sedang orgasme,” sahutku sambil mempercepat entotanku. Pook… pok… pok… pokkkkkk… pokkk…

Akhirnya Bi Caca mengejang tegang. Sementara liang memeknya terasa seperti gerakan ular yang sedang membelit mangsanya. Disusul dengan kedutan - kedutan kencang yang luar biasa erotisnya.

Sesaat kemudian Bi Caca memeluk dan mencium bibirku sambil berkata lirih, “Terima kasih Den. Duh… belum pernah saya merasakan ditiduri yang snikmat barusan. Soalnya disetubuhi oleh cowok setampan Den Chepi, yang punya titit luar biasa pula.”

Aku cuma tersenyum. Lalu mulai mengayun kembali kontolku yang masih jauh dari ejakulasi ini.

“Mau nyobain anjing - anjingan Den?” tanya Bi Caca ketika entotanku masih perlahan.

“Boleh,” sahutku sambil menarik kontolku dari liang memek Bi Caca.

Spontan Bi Caca merangkak dan menunggingkan pantatnya ke atas, sehingga memek Bi Caca kelihatan semua dari belakangnya.

Aku pun berlutut sambil memegang bokong semok Bi Caca. Sambil berlutut pula kubenamkan kembali batang kemaluanku ke dalam liang memek Bi Caca yang legit licin itu. Blessss…

Tak sulit membenamkan batang kontolku kali ini. Karena liang memek Bi Caca sudah becek setelah orgasme tadi.

Sambil berlutut aku pun mulai mengentot lagi, sambil menepuk - nepuk sepasanjg buah pantat Bi Caca.

“Iiii… iya Den… tepok - tepok terus pantat saya Den… enak… lebih keras lagi juga gak apa - apa Den.”

Kuikuti saja keinginan Bi Caca itu. Kukemplangin pantatnya sekeras mungkin, yang disambut dengan rintihan eroitis pembokatku, “Oooohhhh… enak Den… tempelengin terus pantat saya Den… enak sekali… lebih kuat lagi Deeeen… iyaaaa… iyaaaa… ini semakin enak Den… oooohhhh… kontol Den Chepi memang luar biasa enaknya Deeen…

Sekitar setengah jam aku memngentot Bi Caca dalam posisi doggy ini.

Sampai akhirnya Bi Caca ambruk dalam orgasme keduanya.

Kemudian kami lanjutkan dalam posisi missionary. Bi Caca di bawah lagi, sementara aku di atas lagi.

Dalam posisi missionary ini Bi Caca menggeolkan bokongnya lagi. Memutar - mutar dan meliuk - liuk lagi.

Dalam posisi inilah akhirnya akui menggelepar di atas perut Bi Caca, sambil membenamkan kontolku sedalam mungkin.

Dan moncong kontolku pun mengejut - ngejut sambil melepaskan lendir kenikmatanku.

Crooootttt… croootttttttt… crooootttt… crettt… crooooooootttt .;.. croooottt… crooootttt…!

Bi Caca memelukku erat - erat sambil berbisik di dekat telingaku, “Aduuuh nikmatnya merasakan liang memek saya disemprot - semprot oleh air mani Den Chepi… mmmm… indah sekali rasanya Den…”

Aku cuma mendengus, lalu terkulai lunglai di atas perut Bi Caca.

Tapi sejam kemudian aku menyetubuhi Bi Caca lagi. Dalam segala jenis posisi. Dan tengah malam pun aku mengentotnya lagi untuk ketiga kalinya.

Tak cuma itu, keesokan paginya, sebelum turun dari bed masih sempat aku menyetubuhinya lagi.

Mungkin inilah petualanganku yang paling jahanam, tapi sangat indah buat kukenang pada hari - hari berikutnya.

Ayo lepasin dong pakaianmu. Kok malah melamun?”” tegur Mamie membuyarkan terawangan tentang segala yang telah terjadi antara Bi Caca dengan diriku itu. Bahwa beberapa hari sebelum aku berangkat ke rumah Mama, aku sempat melakukan petualangan dengan Bi Caca.

Dan kini di depan mataku, Mamie sudah melepaskan segala yang melekat di tubuhnya sambil berkata, “Sekarang mamie takkan minum pil kontrasepsi lagi. Karena sekarang tujuannya kan ingin agar mamie hamil.”

Aku pun menelanjangi diriku sendiri kemudian melompat ke atas bed. Menerkam Mamie dengan segenap gairahku.

Dan beberapa saat kemudian aku sudah bersetubuh dengan Mamie. Dengan segenap perasaanku tentunya. Karena kali ini ada tujuan penting. Agar aku bisa menghamili Mamie.

Sejak aku kuliah pakai sedan hitam ini, mahasiswi yang sekampus denganku jadi banyak yang suka melayangkan tatapan dan senyum yang menggoda. Tapi aku pakai sedan hitam ini bukan mau nyari cewek. Katro banget rasanya nyari cewek dengan modal mobil doang.

Aku malah suka enek kalau cewek yang tadinya jutek mendadak bermanis - manis setelah tahu aku punya sedan mahal ini. Entah seperti apa sikapnya kalau aku kuliah pakai motor bebek lagi.

Yama dan Gita memang kuajak pakai mobil ini. Tapi mereka sahabatku. Tak lebih dari itu.

Walau pun begitu, pada suatu saat aku mengalami kisah yang terduga.

Ya… sore itu aku sudah selesai kuliah dan sedang menggerakkan mobilku yang diparkir di pinggir jalan (karena mobil mahasiswa tidak boleh parkir di dalam areal kampus). Tiba - tiba pandanganku tertumbuk ke seorang wanita muda cantik, yang tak lain dari Bu Shanti, dosenku yang sudah lama menumbuhkan rasa simpatiku.

Mungkin dia sedang menunggu jemputan, atau mungkin juga sedang menunggu angkot.

Kuhentikan mobilku di depan Bu Shanti sambil membuka jendela kiri. “Mau pulang Bu?”

Bu Shanti membungkukkan kepalanya, “Chepi?! Iya mau pulang.”

“Ayo saya anterin aja Bu,” ajakku.

“Rumahku jauh di luar kota Chep.”

“Biarin aja,” sahutku sambil membuka pintu depan kiri, “Di luar propinsi juga saya anterin sampai rumah Ibu.”

“Beneran nih mau nganterin sampai rumah?” tanya dosen cantik itu setelah duduk di samping kiriku, sambil mengenakan seatbelt. Harum parfum pun tersiar ke penciumanku.

“Khusus untuk Ibu, saya siap mengantarkan kapan pun dan ke mana pun,” sahutku sambil memindahkan tongkat matic ke D.

“Ohya?! Enak dong, kapan - kapan bisa minta diantar sama mahasiswa yang baik hati begini.”

“Siap Bu. Asalkan gak ada yang marah aja. Hehehee…”

“Siapa yang marah? Suami belum punya, pacar pun gak punya.”

“Kirain Ibu sudah punya suami.”

“Belum laku - laku Chep.”

“Tapi pacar aja sih mungkin sudah punya.”

“Aku jomblo Chep. Dulu waktu masih SMA pernah punya pacar. Tapi begitulah, gak enak punya pacar yang selalu mengatur segalanya. Apalagi kalau sudah jadi suami.”

“Wah… bisa nyelip dong aku Bu.”

“Nyelip ke mana?”

“Ke hati Bu Shanti.”

“Hihihiiii… kamu bisa gombal juga yaaa, “Bu Shanti mencubit pangkal lenganku.

“Aku serius Bu. Soalnya di antara dosen - dosen, Bu Shanti yang paling kusukai. Makanya sekarang serasa ketiban rejeki nomplok, karena Ibu mau dianterin olehku.”

“Masa sih? Udah segitunya perasaanmu padaku?”

“Kalau iya, Ibu keberatan nggak?”

“Keberatan sih nggak. Tapi kamu kan masih sangat muda. Umurmu berapa?”

“Delapanbelas Bu.”

“Tuh… berarti delapan tahun lebih muda dariku.”

“Ibu baru duapuluhenam tahun? Sudah es-dua… hebat sekali.”

“Es-duaku dapet setahun yang lalu.”

“Waduh, berarti es-duanya diraih waktu usia Ibu baru duapuluhlima tahun?”

“Iya. Es-satunya diraih di usia duapuluhdua. Es-dua diraih di usia duapuluhlima. Gak muda - muda amat kan? Di Amerika ada anak umur tujuhbelas tahun sudah es-tiga.”

“Wah, itu sihg jenius banget Bu. Tapi program percepatan pendidikan hanya ada di Amerika kan?”

“Iya. Di Inggris belum ada.”

“Ibu jadi dosen belum ada setahun kan?”

“Iya, baru sembilan bulan.”

“Berarti aku harus dekat terus sama Ibu.”

“Kenapa.”

“Supaya lulus es-satu secepatnya. Tapi ada yang lebih penting lagi…”

“Apaan tuh?”

“Untuk mewujudkan khayalanku.”

“Khayalan apa? Nanti aku jadi serius lho.”

“Aku juga serius Bu. Serius mikirin Ibu sejak lama.”

“Masa sih? Kamu terlalu muda bagiku Chep.”

“Aku pengagum wanita yang lebih tua dariku Bu. Lagian Ibu kan masih muda. Baru duapuluhenam tahun. Tigapuluh juga belum.”

Bu Shanti memegang tangan kiriku yang nganggur, karena mobilku matic. Terasa hangat tangannya. Sehingga aku sengaja memegangnya dan mendekatkan ke mulutku. Lalu kuciumi tangan halus yang putih bersih itu.

Bu Shanti membiarkanku menciumi tangannya. Lalu ia melepaskan jaket putihnya. Sehingga blouse hitamnya tampak di mataku. Dan… ooo maaaak… blouse hitam itu ada bagian berbentuk hati atau icon love di bagian dadanya. Sehingga belahan buah dadanya tampak menonjol… terbuka jelas… putih dan mulus sekali.

Aku tidak berani berkomentar. Tapi diam - diam ada yang bangun di dalam celanaku!

Mobilku sudah menginjak batas kota. Kularikan terus ke luar kota.

“Jadi merasa tersanjung sama kamu,” ucap Bu Shanti sambil menyandarkan kepalanya di bahu kiriku, “Tapi tetap aja aku merasa malu, karena tersanjung oleh ucapan cowok yang masih belasan tahun…”

Kusahut dengan perasaan pede, “Mendingan juga cowok belasan tahun dibandingkan dengan empatpuluh tahunan sih Bu. Heeheehee…”

“Iya sih. Tentu aja kamu lebih fresh daripada bapak - bapak sesama dosen sih. Tapi kalau kelihatan orang lain, pasti aku diketawain. Dianggap seneng brondong.”

“Gak usah dilihat - lihatkan sama orang lain dong Bu.”

“Kamu bisa merahasiakannya?”

“Bisa.”

“Di kampus harus bersikap seperti biasa aja. Bisa?”

“Bisa. Di kampus aku tetap akan bersikap sebagai mahasiswa kepada dosennya seperti mahasiswa lain.”

Tiba - tiba Bu Shanti mengecup pipi kiriku. Membuatku kaget bercampur senang. Dan ketika pandanganku tertuju ke arah belahan buah dada yang terbuka lewat blouse hitamnya, o… ingin rasanya kuselundupkan tanganku ke balik blouse di bagian dadanya itu. Untuk memegang toket dosenku itu.

Mendadak Bu Shanti berkata, “Itu ada apotek! Berhenti dulu sebentar ya. Mau beli vitamin.”

“Iya Bu,” sahutku sambil mengurangi kecep[atan mobilku. Lalu menghentikannya tepat di depan apotek itu.

“Tunggu sebentar ya. Cuma mau beli vitamin,” kata Bu Shanti sambil membuka pintu mobilku di samping kirinya. Lalu kubiarkan ia turun dan melangkah ke dalam apotek itu.

Tak sampai sepuluh menit Bu Shanti sudah masuk lagi ke dalam mobilku. “Cepat sekali?! Udah dapet vitaminnya?” tanyaku.

“Sudah,” sahutnya sambil memasangkan kembali seatbelt, “Ohya… tadi ada yang belum kutanyain sama Chepi…”

“Soal apa?”

“Chepi belum punya pacar?”

“Udah dapet.”

“Orang mana?”

“Ini yang duduk di sampingku.”

Bu Shanti ketawa cekikikan. Tampak senang sekali kelihatannya.

“Tapi aku merasa berat Chep.”

“Berat apanya?”

“Berat menolakmu.”

“Hahahaaa… satu - satu ya. Tinggal satu lagi.”

“Apa?”

“Gak apa - apa Sayaaang…”

Bu Shinta ketawa cekikikan lagi. Lalu mengecup pipi kiriku lagi.

“Gak nyangka hatiku bakal sesenang ini.”

Lengan kiriku pun merengkuh bahu kirinya sambil berkata, “Gak nyangka hatiku bakal sebahagia ini Bu.”

Bu Shanti menanggapinya dengan menciumi tangan kiriku.

Lalu kuhidupkan musik chillout ambient, membuat suasana semakin romantis.

Setengah jam kemudian mobilku sudah kubelokkan ke sebuah rumah minimalis yang begitu artistik penataannya, termasuk pekarangannya yang berbentuk taman kecil dengan tanaman hiasnya yang ditata secara artistik pula.

“Ayo mampir dulu, sekalian melanjutkan obrolan di jalan tadi, “ajak Bu Shanti sebelum turun dari mobilku.

“Gak apa - apa nih aku mampir ke rumah Ibu?” tanyaku dengan nada ragu (padahal nggak ragu).
“Nggak apa - apa. Mau nginep juga boleh.”
“Ah, serius nih?”
“Sangat serius. Di rumah ini kan penghuninya cuma dua orang. Aku dan pembantuku.”
“Owh… kirain tinggal sama orang tua.”
“Orang tuaku jauh di seberang lautan sana. Kapan - kapan kita main ke sana ya.”
“Boleh, asalkan pas pada saat liburan panjang.”

Lalu kami masuk ke dalam rumah yang tertata rapi luar dalamnya ini.

Begitu berada di dalam rumahnya, Bu Shanti menurupkan pintu depan, lalu memelukku dari belakang sambil berkata, “Aku mulai jatuh hati padamu Chep.”

“Jatuh hati apa jatuh cinta?” tanyaku tanpa menoleh ke belakang.
“Ya sama aja dong… jatuh hati berarti jatuh cinta.”

Dalam keadaan masih sama - sama berdiri, aku memutar badanku, jadi berhadapan dengan Bu Shanti. Dan tanpa keraguan lagi, kupagut bibir dosenku yang tipis merekah sensual itu.

Bu Shanti pun balas melumat bibirku sambil mendekap pinggangku.

Setelah lumatannya terlepas, ia berkata, “Silakan duduk dulu ya. Aku mau ganti baju dulu.”

“Iya Beib…” sahutku.
“Apa…?”
“Iya Beib…!”
“Oooh bahagianya aku mendengar kamu memanggilku Beib.”

“Kan kita harus saling membahagiakan,” sahutku sambil tersenyum.

Tanpa canggung lagi Bi Shinta memeluk dan mencium bibirku sekali lagi, kemudian masuk ke dalam kamarnya, meninggalkanku di ruang tamu.

Aku pun duduk di sofa putih ruang tamu, sambil mengamati keadaan di sekitarku. Kelihatan sekali bahwa pemilik rumah ini seorang yang berpendidikan tinggi. Selera intelektualnya tampak dari penataan rumahnya, baik indoor mau pun outdoornya.

Agak lama aku menunggu di ruang tamu. Namun akhirnya Bu Shanti muncul juga, mengenakan daster yang aduhai… tipis sekali. Sehingga bentuk tubuh di balik daster itu membayang dengan jelas sekali.

“Mau minum apa?” tanyanya sambil tersenyum.
“Gak usah ngerepotin Beib,” sahutku, “Tapi kalau ada sih minta black coffee aja, tanpa gula.”
“Pahit dong kalau tanpa gula sih.”
“Kata para ahli, kopi itu akan bermanfaat tapi jangan pakai gula.”
“Ogitu. Sebentar… mau bikinin kopinya dulu ya.”
“Iya Beib,” sahutku membuat Bu Shanti mengerling manja. Membuatku semakin gemes.

Bu Shanti masuk ke dalam.

Beberapa saat kemudian Bu Shanti sudah muncul lagi, bersama seorang pembantu yang membawakan secangkir kopi panas dan dua piring snack.

Bu Shanti pun duduk di sebelah kiriku sambil berkata, “Silakan diminum Yang.”

Mendengar kata “Yang” terlontar dari mulut dosen cantik itu, dadaku terasa berdenyut.

Lalu kuteguk kopi yang masih mengepul itu seteguk.

“Nginep aja di sini ya,” kata Bu Shanti sambil memegang tangan kiriku, “Kalau kamu mau nginep di sini, kita kan bisa semakin dekat nanti.”

“Kalau tidurnya sekamar dan seranjang dengan Bu Shanti sih aku mau.”

“Nah lho… sekarang manggil Ibu lagi. Aku kan belum punya suami, apalagi punya anak. Masa manggil Ibu terus?”

“Biar bagaimana Bu Shanti kan dosenku.”

“Di kampus aku memang dosenmu. Tapi di sini… aku ini gadis yang sudah jatuh cinta padamu, Sayang.”

Aku tersenyum. Lalu kuciumi tangan Bu Shanti yang sedang kupegang.

“Mau kan nginep di sini?”
“Mau, asalkan tidur seranjang denganmu Beib.”

“Iya. Tadinya mau nyiapin kamar lain untukmu. Tapi kalau mau tidur bareng sama aku ya udah… sekarang aja kita ke kamar yuk.”

“Oke, “aku mengangguk sambil tersenyum.

Bu Shanti membawa cangkir kopi dan piring kecilnya sambil berkata, “Minuman dan snacknya bawa ke kamarku aja ya.”

“Iya,” sahutku sambil membawa dua piring berisi snack itu, lalu mengikuti langkah Bu Shanti ke dalam kamarnya.

Pada waktu berjalan dari belakang Bu Shanti, tubuh dosenku itu semakin jelas di balik gaun tidurnya yang menurutku terlalu tipis dan transparan.

Setibanya di dalam kamar, Kopi dan snack itu diletakkan di atas meja kecil yang membatasi dua buah sofa putih. Ketika Bu Shanti masih berdiri, aku mendekapnya dari belakang sambil membisikinya, “Gaun tidurnya seksi banget. Sehingga bentuk tubuh Ibu terlihat samar - samar dari luarnya.”

“Gaun ini baru sekarang kupakai. Tadinya malas makainya, ya karena terlalu tipis dan transparan. Tapi untuk kamu, aku sengaja memakainya.”

“Kalau aku terangsang gimana? Ini aja aku sudah mulai tergiur…”
“Lampiaskan aja. Aku memang akan menyerahkan keperawananku padamu malam ini, kalau kamu mau.”

“Haaa?! Beneran nih?”

“Beneran. Aku memang sudah berjanji di dalam hati, akan menyerahkan kesucianku kepada lelaki yang kucintai dan mencintaiku.”

“Aku memang mencintaimu Beib. Tapi untuk menikah masih lama. Mungkin kalau usiaku sudah dekat - dekat tigapuluh, baru aku mau menikah.”

“Menikah masih lama, tapi kalau kawin sih malam ini juga bisa kan?” tanya Bu Shanti sambil mencubit perutku.

“Kawin sih sekarang juga mau. Tapi bagaimana kalau Ibu hamil nanti?”

Bu Shanti malah tersenyum. “Tadi aku beli dulu vitamin di apotek kan? Nah… sebenarnya tadi aku sekalian beli pil kontrasepsi.”

“Ohya?!” seruku girang. Lalu duduk di sofa sambil merangkul pinggang Bu Shanti agar duduk di pangkuanku.

Dan… Bu Shanti benar - benar duduk di atas sepasang pahaku, sambil melingkarkan lengannya di leherku.

“Memangnya masih perawan Beib?”
“Masih. Tapi ada alasan kuat kenapa aku mau menyerahkan keperawananku padamu sekarang.”
“Apa tuh alasannya?”

“Aku mau dijodohkan dengan lelaki yang membiayai kuliah es-duaku di Inggris. Di satu pihak aku merasa berhutang budi padanya, tapi untuk dijadikan istrinya… oi maaak… usianya dua kali usiaku Chep.”

“Limapuluhdua tahun?”
“Ya kira - kira segitulah. Yang sangat menyebalkan, aku hanya akan dijadikan istri ketiga.”

“Wow… jangan mau dong Beib. Kalau merasa berhutang budi sih bayar aja dengan duit yang senilai dengan biaya kuliah di Inggris itu.”

“Tapi sejak aku masih di SMP pun dia sudah banyak memberi uang kepada orang tuaku secara rutin. Kalau semuanya dijumlahkan, pasti jatuh milyaran.”

Aku cuma terlongong mendengar curhatan Bu Shanti itu.

“Karena itu, aku berjanji di dalam hati, akan menyerahkan keperawananku kepada orang yang kucintai dan mencintaiku. Karena itu aku akan menyerahkannya padamu. Tapi kamu tidak usah memikirkan soal pernikahan segala. Aku sendiri pun belum ingin cepat - cepat bersuami.”

Banyak lagi yang Bu Shanti katakan. Tapi intinya sudah kutangkap semua. Bahwa seandainya pun dia harus menikah dengan lelaki tua itu kelak, dia harus berpuas - puas menikmati masa mudanya dulu denganku.

“Oke, apa pun alasannya, yang pasti… kita akan saling bagi rasa sekarang kan?” kataku sambil mempererat dekapanku di pinggang Bu Shanti yang sedang duduk di atas pangkuanku.

“Iya Sayang. Kalau kita memang berjodoh, bisa aja kelak kita menjadi suami istri. Tapi kalau jodohku harus dengan lelaki tua itu, berarti dia hanya akan kebagian sisa - sisamu Sayang.”

“Hmmm… boleh sekarang kulepaskan gaun tidurnya Beib?”

“Lepaskanlah. Kancing - kancingnya ada di bagian punggungku.”

Lalu dengan penuh semangat kubuka kancing gaun tidur itu satu persatu. “Udah gak sabar pengan megang sesuatu,” kataku setelah kancingnya terbuka semua.

“Pengen megang apa?” tanya Bu Shanti sambil melepaskan gaun tidurnya.
“Pengen megang bukit kembarnya. Sejak berangkat dari kampus tadi rasanya nantangin terus.”

“Iya… semuanya buat Chepi tersayang sekarang. Aku akan pasrah, diapain juga silakan. Asal jangan disakiti aja.”

“Duuuh… cewek secantik ini masa tega aku menyakiti? Dosenku pula…” ucapku sambil menciumi tengkuknya yang sudah terbuka. Karena memang tinggal beha dan celana dalam yanhg masih melekat di badannya…”Kancing behanya juga ada di punggung… bukain deh kalau ingin megang bukit kembar sih.”

“Mmm… kalau aku manggil Mamie, mau gak?” tanyaku sambil membuka kancing kait behanya.
“Boleh. Tapi aku juga mau manggil Papie sama kamu. Gimana?”
“Iya… harusnya sih Mamie langsung hamil aja, biar lebih pantes dipanggil Mamie.”
“Jangan dulu ah. Aku pengen ngejar es-tiga dulu.”
“Wadooooh… Mamie haus ilmu ya?”
“Kan biar bisa naik terus jabatanku di kampus, Papie tampan…”

“Iya Mamie Cantik… semoga cita - citanya cepat kesampaian. Tapi kuliah es-tiganya mau di Inggris lagi?”

“Harusnya sih begitu. Makanya sekarang sedang kumpulin duit dulu buat biayanya. Gak mau ngandalin si tua itu lagi.”

“Tapi jarak pendidikan kita semakin jauh nanti.”
“Gak apa - apa. Papie kan bisa nyusul belakangan.”

“Aku sih es-satu mau langsung kerja. Pendidikan selanjutnya kapan - kapan aja,” kataku sambil memegang kedua toket Bu Shanti yang memang gede dan indah itu.

Lalu kami terdiam. Sampai pada suatu saat Bu Shanti berdiri. “Lanjutin di sana aja yuk, biar lebih romantis,” ucapnya sambil menunjuk ke bednya yang serba putih bersih.

Aku mengangguk. Lalu berdiri dan mengikuti Bu Shanti menuju bednya.

“Si dede langsung berdiri tegak nih Mam,” ucapku sambil menepuk - nepuk celana panjangku, tepat pada bagian yang menutupi penisku.

“Coba lihatin penisnya. Aku ingin tau seperti apa penis itu.”

“Iya. Kan aku juga harus telanjang seperti Mamie,” sahutku sambil menanggalkan kemeja tangan pendekku. Disusul dengan pelepasan sepatu, kaus kaki dan celana panjangku. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku.

Bu Shanti mengusap - usap dadaku sambil berkata, “Bodymu atletis banget. Rajin olah raga ya?”

Sebagai balasan, kupegang toket dosenku yang gede dan indah bentuknya itu, “Payudara Mamie luar biasa indahnya.”

“Iya. Mulai saat ini sekujur tubuhku menjadi milikmu,” sahut Bu Shanti.

“Terima kasih. Aku bangga telah memiliki Mamie yang begitu mulusnya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut,” sahutku sambil melepaskan celana dalamku, sehingga zakarku yang sudah ngaceng berat ini tidak tertutup lagi.

Bu Shanti langsung memegang kontol ngacengku dengan tangan yang terasa hangat dan gemetaran.

“Ada yang mau kutanyain… Mamie kok kebule - bulean gitu. Apakah ada turunan bule?”
“Ibuku asli Belanda. Kalau ayah sih asli Indonesia.”
“Oooo… pantesan. Kirain bukan blasteran,” ucapku sambil mendorong dada Bu Shanti agar celentang.

Gairahku menggebu - gebu, dalam rasa percaya diri yang kuat.

Perasaanku pun seolah dihembus angin surga, karena menyaksikan sebentuk tubuh yang begitu mulus dan erotisnya. Tubuh putih mulus dan wajah cantik jelita yang siap untuk kunikmati.

Lebih dari itu semua, dia memang sudah lama kuidam - idamkan. Tapi awalnya aku hanya bisa memendam perasaanku di dalam hati. Dan kini dia seolah dikirim malaikat untuk hadir di dalam kehidupanku.

Maka dengan penuh gairah kujilati memeknya yang berjembut tapi seperti belum lama diguntingi dan dirapikan. Dan aku malah senang, karena hidupku seolah variatif. Memek Mama dan Mamie bersih dari jembut. Bahkan Bi Caca saja rajin mencukur bersih kemaluannya. Sementara kemaluan Bu Shanti berjembut begini.

Ketika kurasakan sudah cukup banyak air liurku yang teralirkan ke dalam celah memek Bu Shanti, kurentangkan sepasang paha mulus dosenku. Lalu kuletakkan moncong kontolku di mulut vaginanya yang sudah ternganga pink itu.

Kemudian kudesakkan batang kejantananku sekuat tenaga… uuuuggghhhh… meleset. Kubetulkan lagi posisi moncong kontolku pada arah yang kuanggap tepat. Lalu kudorong lagi sekuatnya.

Meleset lagi…!

Lebih dari tiga kali meleset. Sehingga akhirnya aku bertanya, “Punya lotion gak?”

“Buat apa?” Bu Shanti balik bertanya.

“Untuk melicinkan… biar gak susah penetrasinya.”

Bu Shanti menunjuk ke meja riasnya sambil berkata, “Ada tuh… yang paling kanan.”

Aku pun turun dari bed. Untuk mengambil botol lotion di atas meja rias dosenku.

Kubuka tutup botol lotion itu dan kudekatkan ke hidungku. Hanya ingin menyelidik apakah harum atau tidak. Kalau harum, biasanya sudah mengandung pewangi. Dan itu bisa terasa panas oleh memek Bu Shanti nanti.

Setelah yakin bahwa lotion itu takkan membuat memek Bu Shanti panas, kubawa botol lotion itu ke atas bed. Kuoles - oleskan dulu isinya sedikit ke permukaan memek Bu Shanti. Dan kutunggu sesaat.

“Panas nggak?” tanyaku.

“Nggak, “Bu Shanti menggeleng, “kan nggak mengandung fragrance.”

“Baguslah. Terkadang ada lotion yang menimbulkan rasa panas kalau dioleskan ke vagina,” ucapku sambil menuangkan isi botol itu ke bagian dalam memek Bu Shanti.

Cukup banyak kutuangkan lotion itu ke celah memek Bu Shanti, sehingga sampai meluap ke luar, membuat jembutnya ikutan mengkilap.


Kuratakan penyebaran lotion itu dengan jemariku. Terutama bagian dalamnya yang kurasa perlu banyak lotionnya, agar meresap ke lubang sanggamanya.

Kemudian kulumuri juga penisku dengan lotion sampai mengkilap.

Setelah menutup lagi botol lotion dan meletakkannya di pinggiran bed, kucolek - colekkan moncong kontolku ke dalam celah mewmek Bu Shanti yang sudah dingangakan olehnya sendiri. Kemudian kuletakkan kembali moncong kontolku di ambang mulut vagina Bu Shanti. Dan kudorong sedikit sampai moncongnya agak nyungsep ke dalam celah memek Bu Shanti.

Setelah kepala penisku terasa sudah “terbidik dan terkunci”, aku pun mendorongnya sekuat tenaga. Uggggh… masuk sedikit… dorong lagi uuuuggghhh… masuk lagi sampai lehernya. Lalu kudorong lagi sekuat tenaga… uuuuuggggghhhh… membenam separohnya…!

“Ooooohhh… udah masuk ya?” tanya Bu Shanti sambil mendekap pinggangku.
“Iya. Sakit?” tanyaku.
“Nggak. Tadi ada sedikit… gak sakit cuma kayak digigit semut.”
“Sekarang akan mulai kuientot yaaaa…”
“Iya…”

Permainan surgawi ini pun dimulai. Dengan maju mundurnya batang kemaluanku di dalam liang yang sangat sempit ini. Awalnya terasa seret sekali. Tapi lama kelamaan mulai lancar, sehingga aku pun bisa mempercepat entotanku sampai kecepatan normal.

Setelah gerakan kontolku lancar, aku mulai memainkan peran mulut dan tanganku, untuk mengiringi ayunan batang kemaluanku. Di satu saat mulutku mulai mengemut dan menjilati pentil toket kiri Bu Shanti, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya dengan selembut mungkin. Agar jangan sampai dia complain karena kesakitan.

Dan… ia mulai merintih - rintih perlahan, “Sayaang… oooohhhh… ternyata enak sekali ya em-el ini… oooooh… aku sampai merasa seperti melayang - layang gini Yang… ooooohhhhh… enaaaaak Sayaaaaang… luar biasa enaknyaaaaa… oooohhhh… aaaah… aaaaah… ooooohhhhh… aaaaah …

Meski sedang gencar mengentotnya, aku menyempatkan diri untuk menjawabnya secara jujur, “Sebenarnya… hatiku sudah lama menjadi milikmu Mam…”

Sepasang mata indah itu menatapku dengan sorot cemerlang. Lalu ia merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Dan melumat bibirku dengan lengketnya. Sementara aku tetap stabil mengentotnya dengan gencar.

Bahkan ketika lumatannya terlepas, aku mulai menjilati leher jenjangnya yang sudah keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Semakin menggeliat - geliat jugalah tubuh indah yang tengah kusetubuhi ini.

Terawanganku pun semakin jauh melayang - layang di langit biru. Dan seolah ada tanya di dalam batin, adakah detik - detik yang lebih indah daripada yang tengah kurasakan ini?

Gejala - gejala ia mau orgasme pun mulai terasa olehku. Maka kugencarkan entotanku lebih cepat lagi. Dan baru kuhentikan ketika sekujur tubuh indahnya mulai mengejang tegang. Batang kemaluanku memang berhenti karena terpaksa. Karena ketika likang memek Bu Shanti sedang mengedut - ngedut kencang di puncak orgasmenya, moncong kontolku pun sedang menembak - nembakkan lendir kenikmatanku.

Mungkin aku terlalu dikuasai perasaanku yang memang sudah lama mengidolakan dosen cantik berdarah campuran indo-belanda itu. Sehingga aku tidak bisa mengulur durasi persetubuhanku. Selain darfipada itu, aku ingin melihat “saksi mati” bahwa dia memang masih perawan.

Dan ketika aku sudah mencabut kontolku dari dalam liang memek dosen cantikku, memang ada genangan darah kira - kira sebanyak 1 sendok kecil di bawah pantatnya. Itulah saksi yang kumaksudkan. Yang membuatku merasa sangat menghormati Bu Shanti yang jelita ini.

Maka ketika aku terlentang di sampingnya, aku memegang tangannya sambil berkata, “Terima kasih Sayang. Aku telah membuktikan bahwa sebelum kusetubuhi tadi, dirimu masih benar - benar virgin. Memang sulit dipercaya bahwa seorang gadis yang sudah berusia duapuluhenam tahun masih bisa mempertahankan keperawanannya.

Dedngan suara lirih Bu Shanti menyahut, “Kalau gak bertemu denganmu tadi, sampai kapan pun aku akan tetap perawan. Karena aku sudah berjanji hanya akan menyerahkannya kepada cowok yang benar - benar kucintai dan mencintaiku.”

Aku sangat menghormati Bu Shanti di dalam hati, karena di usia 26 tahun dia masih mampu mempertahankan keperawanannya, sampai akhirnya diberikan padaku. Padahal dia itu indo-belanda. Dan pernah kuliah di Inggris segala, di mana nilai - nilai moral sudah ditinggalkan jauh - jauh.

Di negaraku sendiri sudah lama juga banyak yang kebablasan. Termasuk apa yang sudah kualami sebelum aku mendapatkan “hadiah” dari Bu Shanti, yakni keperawanannya itu.

Ya… saat itu aku dan dua orang sahabatku harus berangkat ke Jakarta, untuk mengurus acara kesenian dan kompetisi persahabatan di antara kampusku dengan sebuah universitas di Jakarta. Universitas itu beda namanya dengan universitasku, tapi yayasan yang memilikinya adalah yayasan pemilik kampusku juga.


Kebetulan yang terpilih menjadi ketua panitia adalah aku sendiri. Bendaharanya Yama, sekretarisnya Gita. Dua - duanya sahabatku.

Sejak aku mulai kuliah, kedua orang cewek itu adalah teman terdekatku. Sehingga ke mana - mana kami selalu bertiga. Maka setelah aku terpilih menjadi ketua panitia, aku punya hak untuk menunjuk bendahara dan sekretarisku. Maka kupilihlah Yama sebagai bendahara dan Gita sebagai sekretaris.

Tentu saja panitianya cukup banyak, untuk urusan logistik, akomodasi, konsumsi, humas dan sebagainya. Tapi panitia intinya adalah kami bertiga.

Itulah sebabnya kami bertiga yang akan mengadakan meeting pendahuluan dengan pihak universitas yang di Jakarta.

Gita itu gokil orangnya. Kalau ngomong, terkadang mengejutkanku. Karena tak menduga kalau cewek bisa ngomong tak kalah gokil dari cowok. Sementara Yama perilakunya anggun di mataku.

Tapi biar bagaimana mereka adalah teman - teman baikku, yang selalu kompak denganku dalam beberapa masalah.

Pagi itu aku mendahulukan menjemput Yama, karena rumahnya mudah dijangkau oleh mobilku. Sementara rumah Gita ada di dalam gang kecil yang tidak masuk mobil. Jadi aku bisa menyuruh Yama turun dari mobil dan berjalan kaki ke dalam gang sempit menuju rumah Gita itu.

Agak lama aku menunggu di dalam mobil yang kuparkir di dekat mulut gang kecil itu. Namun akhirnya mereka muncul juga.

Yama mendekati samping kanan mobilku. Lalu berkata, “Chepi… lu jadi boss aja deh, duduk di belakang. Biar gue yang nyetir.”

Aku tahu Yama punya mobil yang selalu dipakai kuliah. Bahkan sebelum aku punya sedan hadiah dari Mama ini, Yama sudah duluan punya mobil.

“Emang bisa lu nyetir ke luar kota?” tanyaku masih di belakang setir.

“Ziaaaah… ke Jakarta sih cetek brow… nyetir ke Surabaya aja sering. Malah sampai Madura segala.”

“Ya udah. Lu sendirian di depan ya. Si Gita di belakang sama gue. Biar bisa dengerin kicauannya.”

Yama mengangguk sambil tersenyum. Lalu aku turun dari mobil dan pindah ke belakang. Sementara Yama masuk ke depan kanan sambil berkata, “Mobil ini sih pasti lebih enak bawanya dibanding mobil gue.”

“Gak usah ngebut Yam,” ucapku sambil menepuk bahu Yama dari belakang.

“Santai aja boss. Bersama gue, kalian aman.”

Aku cuma tersenyum. Sementara Gita yang duduk di sebelah kiriku, malah sedang menggoyang - goyang kepala yang dipasangi earphone hapenya.

“Udah dong jangan dengerin musik mulu,” kataku sambil menepuk lutut Gita.

“Eh iya, “Gita melepaskan earphonenya, “setelin musik Yam. Biar nyaman. Mobil sebagus gini sih pasti punya koleksi lagu yang keren - keren.”

Kemudian terdengar suara musik dari audio mobilku. Belakangan aku lebih suka mendownload lagu - lagu compilation. Sehingga satu judul bisa 2 atau 3 jam durasinya. Bahkan ada yang sampai 24 jam satu judul.

Gita pun langsung bergoyang - goyang centik, mengikuti irama musik yang tengah berkumandang.

Tapi sesaat kemudian Gita mendekatkan mulutnya ke telingaku, lalu berbisik, “Daripada jadi teman baik seperti sekarang, mendingan kita jadi TTM yuk.”

Aku agak kaget mendengar bisikan Gita itu. Lalu membisikinya juga, “Teman tapi ML?”

“Iya, “Gita mengangguk sambil tersenyum. Lalu membisiki telingaku lagi, “Harusnya TTN. Teman tapi ngewe.”

Aku tercengang sambil menahan tawaku. Lalu membikinya, “Lu serius?”

“Serius lah,” sahutnya perlahan, yang hampir tak terdewngar karena musik yang berkumandang agak keras.

“Lu udah gak perawan lagi kan?” bisikku.
“Iya. Makanya mumpung sama - sama belum punya pasangan, kita nikmati aja dulu masa kebebasan ini. Biar pertemanan kita semakin solid,” bisik Gita lagi.

Sebenarnya aku agak shock mendengar ajakan dan pengakuan sahabatku itu. Lalu memperhatikan cara mengemudi Yama, yang ternyata halus sekali rasanya. Malah aku kalah halus kalau dibandingkan dengan cara Yama nyetir itu.

Lalu aku berbisik lagi ke telinga Gita, “Si Yama juga udah gak perawan lagi ya?”

Gita menjawab dengan bisikan juga, “Iya. Justru dia yang usulin acaranya juga.”

“Turunin celanamu, gue pengen tau memekmu kayak apa?” bisikku.

Gita menjawab dengan bisikan juga, “Celana lu juga. Justru gue yang pengen tau kontol lu kayak apa.”

Aku tersenyum sambil mengikuti keinginan Gita. Kuturunkan ritsleting, kemudian kupelorotkan celana jeans sekaligus dengan celana dalamnya.

“Anjriiiitttt…! Kontol lu gede banget…” ucap Gita sambil memegangi kontolku yang sudah rada ngaceng. Dipegang - pegang oleh Gita, tambah ngacenglah kontolku.

“Yama…! “Gita menepuk bahu kiri Yama, “Liat nih kontol si Chepi?”

Yama mengurangi kecepatan mobil yang sudah berada di jalan tol, lalu membelokkannya ke bahu jalan dan menghentikannya. Lalu Yama menolah ke belakang, untuk melihat apa yang sedang Gita lakukan padaku.

“Liat tuh… sepanjang dan segede gini kontol si Chepi… !” seru Gita agak keras, untuk mengatasi bisingnya bunyi musik mobilku.

“Aaaaauuuu…! Itu kontol manusia apa kontol kuda?” seru Yama.

“Gue mau usul nih. Acara meeting di Jakarta kan besok pagi. Gak lama lagi kita kan masuk daerah Purwakarta. Gimana kalau kita nyari hotel di Purwakarta aja? Besok subuh kita lanjut ke Jakarta.”

“Jangan ah. Mumpung jalan gak macet, mendingan cek in di Jakarta aja,” sahut Yama sambil menghadap ke depan lagi. Lalu menjalankan mobilku kembali.

“Gue udah horny nih! “seru Gita, “Gak apa - apa kalau gue wikwik sama Chepi sekarang?”
“Lakuin aja. Asal jangan keliatan dari luar. Eeeeh… ada tirainya ya.”
“Ada tirai, kacanya pun kaca gelap. Lu konsen nyetir aja Yam. Nanti giliran lu nanti di Jakarta, sekenyangnya,” sahutku sambil menepuk bahu kanan Yama.

Sementara itu Gita sudah menanggalkan celana jeans dan celana dalamnya.

Kini aku dan Gita sudah sama - sama tinggal mengenakan t-shirt, karena Gita sudah menanggalkan behanya. Warna t-shirt kami pun sama - sama hitam. Bedanya, t-shirtku ada tulisan putih “Ireland” di bagian dada, sementara t-shirt Gita ada gambar bunga mawar pink di bagian antara sepasang bukit kembarnya.

Gita ternyata bukan hanya gokil waktu ngomong. Kini pun ia gokil dalam tindakan. Ketika mobilku yang dikemudikan oleh Yama dalam kecepatan sedang, Gita pun menduduki kontolku, sambil menghadap padaku. Lalu diarahkannya moncong kontolku ke memeknya. Dicolek - colekkan, kemudian ia menurunkan badannya.

Mungkin inilah pengalaman tergila di dalam hidupku. Bahwa ketika Yama mengemudikan mobilku dengan kecepatan nyaman, Gita duduk di atas pangkuanku, sambil menaik turunkan bokongnya dan merapatkan bibirnya ke bibirku. Dengan sendirinya kontolku dibesot - besot oleh liang mmemeknya yang hangat dan licin ini.

Maka aku pun balas mendekapnya, sambil melumat bibirnya.

Yama yang jarang bicara itu pun berseru di belakang setir mobilku, “Asyiiik… mulai ena - ena nih?”

Inilah pengalaman paling gila dalam kehidupanku selama ini. Bahwa ketika sedan hitamku tengah dilarikan oleh Yama di jalan tol, memek Gita naik turun terus, sementara batang kemaluanku berada di dalam liang memek licin dan hangatnya.

Sebelum ini, aku tak pernah berciuman bibir dengan Gita. Paling banter juga hanya sampai cipika - cipiki. Sedangkan sekarang, bukan cuma saling lumat bibir, tapi bahkan sedang ewean di dalam sedan hitamku yang tirainya sudah ditutup ini (takut kelihatan dari luar, meski kaca mobilku kaca gelap semua).

Tapi hanya belasan menit Gita mampu memainkan perannya sebagai cewek dominan. Akhirnya dia ambruk di puncak orgasmenya.

“Gila… kontol lu terlalu gede Chep… makanya gue gak sanggup lama - lama… lepas deh,” ucap Gita sambil duduk di sampingku. Padahal aku belum apa - apa. Masih jauh dari ngecrot.

Tapi aku masih bisa iseng, memasukkan jari tengahku ke dalam liang memek Gita yang baru mengalami oprgasme. “Pengen tau seperti apa memek yang udah orgasme,” ucapku yang merasa liang memek Gita jadi becek sekali. Maka kutambah dengan telunjuk, sehingga jadi dua jari bisa masuk ke dalam liang memek Gita.

“Masukin aja kepalan tanganmu sekalian… !” seru Gita sambil mencubit perutku.

Aku cuma ketawa sambil mengurangi jumlah jari tanganku, cukup dua jari saja, telunjuk dan jari tengah, yang kumasukkan ke dalam liang memek Gita.

“Sudah berapa macem kontol yang pernah ngentot memek lu ini Git?”

“Baru satu macem! Memangnya gue ayam kampus?!”
“Jadi gue yang kedua ya?”
“Iya. Yama juga sama, senasib sama gue. Baru diewe sama satu cowok waktu masih di SMA dulu.”
“Memek lu enak Git,” kataku sambil menggerak - gerakkan dua jariku di dalam liang memek Gita, “Sayang lu gak tahan lama.”

“Kontol lu juga luar biasa enaknya. Makanya gue gak tahan lama - lama. Nanti aja di hotel kita lanjutkan rame - rame sama si Yama. Udah ah… nanti gue horny lagik kalau diginiin memek gue, “gita menjauhkan tanganku dari memeknya.

Lalu terdengar suara Yama dari belakang setir, “Kok cepat - cepat banget maennya?”

Gita yang menjawab, “Kontol si Chepi luar biasa gedenya. Gesekannya jadi terasa banget. Makanya gue cepat orga.”

“Memek si Gita enak gak Chep?” tanya Yama.
“Enak,” sahutku sambil memegang bahu Yama dari belakang, “Memek lu enak nggak?”
“Gak tau. Kan entar juga lu bakal ngentot gue. Rasain aja sendiri, enak apa nggak,” sahut Yama.
“Hahahaaaaa… kita jadi TTM beneran ya. Gak nyangka…” ucapku sambil memijat - mijat bahu Yama yang sedang nyetir.

“Kan pertemanan kita biar lebih solid Chep,” sahut Yama.

Sementara Gita tampak sedang menyeka memeknya dengan kertas tissue basah. Lalu mengenakan celana dalam dan celana jeansnya kembali. Maka tirai mobil pun kubuka kembali.

Gita pun menjulurkan kakinya, lalu memejamkan matanya. Tak lama kemudian Gita tampak sudah tidur beneran.

Sedan hitamku yang sedang dikemudikan oleh Yama meluncur terus di jalan tol.

Sejam kemudian, kami sudah tiba di sebuah hotel apartment hotel dekat jembatan Semanggi, yang sudah Yama pesan dan Yama bayar lewat aplikasi online. Tentu saja uang untuk pembayaran hotel itu menggunakan uang kas panitia. Karena kami bertiga berada di Jakarta untuk urusan panitia.

Setibanya di hotel, kami langsung makan siang dulu di resto hotel. Selesai makan kami pun naik ke lantai 36 dengan lift yang terasa sudah agak tua.

“Pinter juga lu milih hotel Yam,” ucapku setelah masuk ke dalam kamar, yang terdiri dari 2 kamar tidur dengan kamar mandi masing - masing, dapur lengkap dengan peralatannya dan ruang tamu yang lumayan gede.

“Iya,” sahut Yama, “Kamar apartemen disewakan dengan harga lebih murah daripada hotel bintang lima.”

“Boleh nih kapan - kapan kita bertiga nginep di hotel ini lagi. Tapi gilanya… kita berada di lantai tigapuluhenam ya. Serem juga… terlalu tinggi,” kata Gita.

“Lu keliatan tomboy, tapi ternyata ada takutnya juga ya?” ucapku sambil menepuk bahu Gita.

“Udah lu entot dulu Yama gih. Gue mau tidur di kamar yang agak kecilan itu. Ngantuk berat, tadi malem gak bisa tidur sampai subuh,” kata Gita sambil nyelonong ke kamar yang dipilihnya.

Aku dan Yama menjinjing tas pakaian masing - masing, menuju kamar yang satunya lagi, yang memang lebih besar daripada kamar yang dipakai oleh Gita.

“Sebentar… gue mau pipis dulu ya,” ucap Yama sambil mengeluarkan sehelai kimono putih dari tasnya dan langsung masuk ke kamar mandi.

Aku tersenyum sendiri. Karena sejak tadi aku sudah membayangkan nnikmatnya menyetubuhi Yama yang cantik dan anggun itu.

Memang Yama punya beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan Gita. Karena Gita cuma manis dan gokil. Sementara Yama itu cantik, anggun dan jarang berkelakar. Ngomong pun jarang. Makanya aku tak menyangka kalau Yama itu tidak perawan lagi, seperti yang dibisikkan oleh Gita di dalam mobilku tadi.

Pokoknya Yama itu bening banget. Tapi tidak berarti bahwa Gita itu jelek. Gita memang manis dan ceria terus sikapnya, tapi kalah cantik kalau dibandingkan dengan Yama. Kulitnya pun Yama menang. Jauh lebih putih bersih daripada Gita.

Tapi kalau rasa memeknya, entahlah… karena aku baru mau merasakan memek Yama sebentar lagi

Sebenarnya aku memendam rasa khusus pada Yama. Tapi mengingat bahwa dia itu teman dekatku, ada perasaan takut mengatakannya. Takut kalau dia menjauh, jadi teman dekat pun tak mau.

Namun kini yang kudambakan itu datang sendiri. Muncul dari kamar mandi dalam kimono putihnya, yang membuat Yama semakin cantik dan anggun.

Sikapku jadi berbeda waktu memegang kedua pergelangan tangannya. Jujur, ada perasaan yang berbeda di dalam hatiku, tak sama dengan waktu menghadapi Gita di dalam mobilku tadi.

“Persahabatan kita jangan sampai rusak nanti ya,” ucapku.
“Ya iyalah,” sahut Yama sambil tersenyum. Oooo… betapa manisnya senyum cewek yang satu ini…!

Maka dengan gairah menggelegak, kurangkul leher jenjang dan kupagut bibir sensualnya ke dalam ciuman hangatku.

Yama pun menyambut dengan lumatan hangat.


Aku sadar bahwa acara ini bukan acara pacaran. Karena itu, ketika aku masih saling lumat dengan Yama, kedua tanganku tidak memelujk ledhernya lagi, melainkan meremas bokongnya, sambil menaikkan kimononya sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya aku meremas langsung bokongnya tanpa halangan kimono lagi.

Ternyata Yama tidak mengenakan celana dalam di balik kimononya itu. Mungkin dia sudah mempersiapkan diri untuk disetubuhi olehku. Aku pun bisa memastikan bahwa beha pun tidak ada lagi di balik kimono putih itu, karena dua pentil toket membayang tonjolannya ke luar.

Maka dengan sigap kuangkat dan kubopong tubuh langsing Yama ke atas bed yang sudah siap untuk dijadikan arena persetubuhan kami berdua.

Tanpa canggung - canggung Yama melepaskan kimono putihnya, sehingga sekujur tubuhnya jadi tak tertutup seutas benang pun lagi.

Aduhai… Tubuh Yama memang mulus sekali. Sehingga aku pun ingin memamerkan serkujur tubuhku yang mulus juga. Gak ada bekas luka atau kudis setitik pun. Maka klucuti pakaianku sehelai demi sehelai sampai telanjang bulat. Lalu melompat ke atas bed dan menerkam tubuh mulus yang sudah menungguku itu.

“Sebenarnya udah lama gue ngebayangin beginian sama lu Chep, “sambut Yama sambil mendekap pinggangku, “tapi gue takut merusak persahabatan kita yang sudah solid benar. Makanya keinginan itu gue pendam aja di dalam hati. Ternyata sekarang terjadi juga.”

“Sama gue juga gitu. Suka bayangin paha lu yang putih mulus… malah suka bayangin memek lu segala. Ternyata memek lu ada jembutnya tapi tipis dan halus jembut lu ini ya,” sahutku sambil mengusap - usap memek Yama yang berjembut tipis dan halus itu, “Gue mau jilatin memek lu dulu ya.”

“Pake minta ijin dulu segala. Memang musti dijilatin dulu. Kontol lu gede bingit sie…”
“Harusnya sih bawa pil kontrasepsi. Biar bisa ngecrot di dalem.”
“Gue bawa kok pil kontrasepsi. Dapet nyolong punya nyokap.”
“Berarti nyokap lu masih aktif dong dalam soal seks.”
“Aktif lah. Masih muda kok. Baru tigapuluhenam tahun umurnya.”
“Hampir sama dengan nyokap gue dong. Nyokap gue tigapuluhdelapan.”
“Tapi nyokap lu kayak masih muda banget Chep.”
“Lu gak pernah jumpa sama nyokap gue ah. Yang di rumah itu kan nyokap tiri.”
“Oooo… yang di rumah lu itu nyokap tiri? Masih muda dan cantik sekali. Jangan - jangan lu embat juga tu nyokap tiri lu.”

“Aaah… gila… masa ibu tiri diembat?!” ucapku sedang memboohongi diriku sendiri.
“Nyokap gue sih janda Chep.”
“Sama. Nyokap kandung gue juga janda. Kan bercerai sama bokap.”

“Kalau nyokap gue sih ditinggal mati sama bokap yang kena kanker otak. Meninggalnya juga di Singapura. Loh… katanya mau jilatin memek gue. Koq malah jadi ngobrol?!”

“Hihihihiii… santai Yam…” sahutku sambil menepuk - nepuk memek Yama yang sudah berhadapan dengan mulutku.

Lalu kujilati memek berjembut tipis jarang itu dengan lahap. Bukan cuma menjilatinya, tapi jari tengahku pun “menyelidik” ke dalam celah memek Yama. Ternyata liang memeknya masih sempit, tidak seperti liang memek Gita tadi.

Maka dengan penuh semangat kujilati juga kelentitnya sambil sesekali kusedot -sedot.

Ini membuat Yama terkejang - kejang sambil meremas - remas rambutku. Apa lagi setelah jari tengahku digerak - gerakkan di dalam liang memek Yama… cewek cantim dan anggun itu pun mulai menggeliat - geliat diiringi desahan - desahan nafasnya. “Aaaaa… aaaaaahhhh… aaaaaaa… aaaaaaaahhhhh …

Tentu saja aku sengaja mengalirkan air liurku ke dalam liang memek Yama, yang dibantu oleh gerakan jari tengahku.

Dan setelah terasa liang memek Yama sudah cukup basah, aku pun bergerak sambil memegangi kontolku.

Kuletakkan moncong kontolku tepat di ambang mulut memek sahabatku. Lalu kudesakkan sekuatnya… uuuuggghhhh… sempit sekali. Padahal sudah kubuat banjir air liur.

Tapi setelah “berjuang mati - matian”, akhirnya berhasil juga aku membenamkan kontolku ke dalam liang memek Yama. “Liang memekmu sempit sekali Yam…”

“Ya iyalah,” sahut Yama, “sejak putus dari pacar SMA gue, baru sekaranglah gue merasakannya lagi. Ini juga lantaran lu yang siap ngentot gue. Kalau cowok lain gak bakalan gue mau.”

Lalu aku berbisik ke telinga Yama, “Liang memek si Gita koq udah gede?!”

“Dia juga sama seperti gue. Cuma salahnya, dia sering pakai dildo hitam yang gede banget. Sambil bayangin dientot sama negro kale. Gue udah ingetin, jangan pakai dildo yang gede gitu, nanti liang memeknya jadi gede juga. Tapi dia tetep aja pakai dildo hitam yang segede pergelangan tangan itu.”

Aku cuma tersenyum. Lalu mulai mengayun kontolku di dalam liang memek Yama yang sempit menjepit ini.

Terasa… sangat terasa bedanya memek Yama dengan memek Gita. Sehingga aku pun bisa menikmati semuanya dengan penuh gairah.

Bahkan ketika aku mulai gencar mengentotnya, aku pun meremas toket kanan Yama sambil menjilati leher jenjangnya disertai gigitan - gigitan kecil.


Yama pun mulai merintih - rintih histeris, Cheeeepiii… oooohhhhh… Cheppppiii… oooo… ooooooooohhhhhhhh… kontolmu luar biasa enaknya Cheeeep… ooooohhhhh… udah dua tahun gue berpuasa dari kontol. Sekalinya merasakan lagi… dapet belalai gajaaaah…”

Ketika sedang bersama Bu Shanti di ruang fitnessnya, pikiranku masih melayang - layang. Aku memang mengagumi rumah dosenku ini yang serba lengkap. Ada fitness room di bagian belakangnya, ada pula kolam renangnya. Sehingga aku mulai punya cita - cita, kalau aku sudah punya rumah sendiri, aku ingin rumah itu lengkap seperti rumah dosenku ini.

Fitness room ini benar - benar private fitness room. Karena menurut pengakuan Bu Shanti sendiri, pintunya selalu dikunci kalau dia sedang latihan sambil telanjang, seperti sekarang ini. Bahkan kolam renangnya pun tertutup, tak bisa dilihat dari luar. Sehingga Bu Shanti bisa berenang dalam keadaan telanjang bulat, tanpa takut ada orang yang melihatnya.

Menurut pengakuan Bu Shanti sendiri, ia suka melatih kebugaran fisiknya karena ikut - ikutan pada ibunya. Dia bilang, “Mamaku kelihatan bugar terus, meski usianya sudah kepala empat. Tubuhnya tidak gemuk, tidak buncit dan sebagainya. Sehingga kelihatan seperti baru berumur tigapuluhan. Ya karena rajinnya latihan kebugaran seperti yang kulakukan sekarang ini.

Aku cuma mengangguk - angguk sambil tersenyum. Sementara pikiranku masih menerawang kejadian yang kualami di Jakarta itu.

Tentu saja aku masih ingat semuanya itu, karena peristiwanya baru terjadi beberapa hari yanjg lalu. Aku masih ingat betapa menggelepar - geleparnya Yama di dalam amukan kontolku yang seolah pompa manual, gencar bermaju mundur di dalam liang memeknya yang sempit menjepit itu.

Kebetulan fisikku sedang fits. Padahal waktu bersetubuh dengan Gita di dalam mobil tadi, aku belum ngecrot. Tapi pada waktu sedang menyetubuhi Yama ini, aku bisa mengontrol diriku sendiri, agar jangan cepat ejakulasi.

Akibatnya, ketika Yama sudah dua kali orgasme, aku masih saja tabah mengentotnya. Ketika Yama kelihatan mau orgasme lagi untuk ketiga kalinya, barulah aku konsentrasi agar bisa ejakulasi pas Yama sedang orgasme lagi.

Dan aku berhasil. Ketika Yama sedang terkejang - kejang, sementara liang memeknya terasa berkedut - kedut kencang, kontolku pun sedang mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku. Croootttttt… crooottttt… crooootttt… crottttcrottt… crooootttt…

Lalu kami sama - sama terkapar dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.

Aku ketiduran saking letihnya.

Dan terbangun ketika merasakan sesuatu yang bergerak - gerak, mengelus - elus kontolku. Ketika kubuka mataku, ternyata Gita sedang menyelomoti kontolku…!

Kubiarkan saja Gita mengoralku. Bahkan ada perasaan kasihan juga karena dia belum bisa menikmati persetubuhan yang perfect denganku.

Begitu trampilnya Gita mengoral kontolku. Mungkin karena dia sering menyelomoti dildo hitam segede pergelangan tangan seperti yang diceritakan oleh Yama tadi.

Setelah kontolku benar - benar ngaceng, Gita merebahkan diri, celentang di samping Yama yang masih terkapar, telungkup seperti tak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya.

“Ayo entot lagi. Yang di mobil tadi sih hitung - hitung foreplay aja,” kata Gita sambil mengusap - usap memeknya yang bersih dari jembut itu.

“Foreplay tapi orgasme ya,” sahutku sambil merayap ke atas perut Gita yang sudah telanjang bulat. Sambil memegang leher kontolku yang moncongnya sudah kuletakkan di mulut memek Gita.

Gita tidak menanggapi, karena aku mengakhiri ucapanku dengan mendorong kontolku sekuatnya. Dan… blessss… kontolku membenam lebih dari separohnya. Sehingga aku bisa mulai mengentotnya.

Biar bagaimana Gita adalah sahabat dekatku. Karena itu aku ingin memberikan kepuasan padanya, seperti yang telah kuberikan kepada Yama tadi.

Maka ketika aku mulai mengentotnya, kupagut bibirnya ke dalam lumatanku, yang Gita sambut dengan lumatan pula. Cukup lama kami salin g luimat, sementara kontolku sudah mulai gencar bermaju - mundur di dalam liang memek Gita.

Di saat lain mulutku mulai nyungsep di leher Gita, untuk menjilatinya disertai dengan gigitan - gigitan kecil, sementara tangan kananku mulai meremas - remas toket kirinya yang… jujur aja kalau soal toket sih punya Gita lebih kencang daripada toket Yama.

Gita pun mulai merintih - rintih histeris. “Aaaaaaah… Cheeepiiii… kontolmu memang luar biasa Cheeeep… terasa sekali menggesek - gesek liang memekku…”

“Enak mana sama dildo?” tanyaku sambil melambatkan gerakan kontolku sejenak.

“Lu tau gue suka pake dildo?”

“Tau.”

“Alaa… paling juga tau dari si Yama. Memang gue sudah dua tahun suka mainin dildo. Biar gak mikirin cowok mulu. Ayo cepetin lagi ngentotnya, jangan pelan gini.”

Aku pun mempercepat lagi ayunan kontolku, sambil menjilati leher Gita sekaligus meremas - remas toket kanannya.

“Aaaaakhhhh… aaaaaaa… aaaaah… iyaaaaa… entot terus yang cepet kayak gini Chep… iyaaaa… iyaaaaa… entot teruuuuusssss… entooot… entoooooooottttttttt… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaa… enak Cheeeep… entot teruuuussss… entooooottttt… entoooottttt… ooooooh Cheppiiiii enaaaaak…

Suara Gitga cukup bising, sehingga pada suatu saat kulihat Yama terbangun. Memperhatikan kami yang sedang bersetubuh. Lalu Yama duduk sambil tersenyum - senyum. Bahkan mendekatkan memeknya ke pipiku dari samping kiri Gita yang sedang meraung - raung histeris.

Tanpa basa - basi kuciumi memek Yama. Bahkan lalu jari tangan kananku diselinapkan ke dalam liang memeknya. Lalu digerakkan seperti kontol sedang mengentot.

Tiba - tiba Gita berkelojotan sambil berdesis, “Ssssshhhhhh… gue mau orga Cheeeeep…!”

Aku pun mempercepat entotanku. Dan… manakala Gita sedang terkejang - kejang, kutancapkan kontolku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.

“Anjriiiiiitttttt… nikmat sekaliiiiiiiii… !” pekik Gita dengan mata terpejam. Lalu terasa liang memeknya berkedat - kedut kencang, pertanda sedang mengalami orgasme.

Setelah Gita terkulai lemas, cepat kucabut kontolku dari liang memeknya. Lalu pindah ke atas perut Yama yang tampak sudah bergairah lagi.

Dengan mudah aku menjebloskan kontolku ke dalam liang memek Yama, karena liang memeknya masih basah, bekas orgasme tadi, ditambah lagi dengan permainan jariku ketika sedang bersetubuh dengan Gita tadi.

Yama menyambutku dengan dekapan eratnya di pinggangku. Dengan mata kadang terpejam, kadang terbuka. Di mataku, wajah Yama itu makin cantik saja. Sayang masa lalunya tidak sebaik masa lalu Bu Shanti. Tapi biar bagaimana pun juga memek Yama ini enak sekali. Aku harus menikmatinya sepuas mungkin.

Terawanganku tentang segala yang pernah terjadi dengan kedua sahabatku itu langsung buyar ketika handphone Bu Shanti terdengar berdering - dering.

Dalam keadaan masih telanjang bulat Bu Shanti memburu handphonenya yang tergeletak di meja kecil sudut fitness room.

“Sttt… dari Mama… !” Bu Shanti menyimpan telunjuk di depan bibirnya. Kemudian membuka percakapan dengan mamanya yang aku tidak tahu. Hanya terdengar Bu Shanti berkata saja… iya Mama… iya Mama Sayang… iyaaaa… iyaaaaa… daag…!

Hanya sebentar Bu Shanti berbicara di dekat handphonenya. Dan setelah hubungan seluler dengan ibunya ditutup, Bu Shanti mengambil kimononya yang tergantung di kapstok, lalu mengenakannya sambil berkata, “Mamaku sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju ke sini.”

“Haaa?! Panjang umur beliau ya,” ucapku dalam kaget, “baru tadi diomongin, sekarang sudah mau ke sini. Terus aku harus gimana? Apakah aku harus standby di sini atau harus pulang aja?”

“Sayang,” sahut memegang sepasang pipiku, “maaf ya, aku bukan ngusir. Tapi sebaiknya kamu pulang dulu, biar jangan banyak pertanyaan dari mamaku nanti.”

“Oke, aku mengerti Mam.”

“Tapi besok sore, sebaiknya ke sini lagi. Biar bisa kenalan sama mamaku. Mudah - mudahan aja suasananya sudah menjadi nyaman. Aku memang mau berterus terang sudah punya calon suami, yaitu kamu Pap. Kamu gak keberatan kalau kusebutkan sebagai calon suami?”

“Iya, silakan aja. Pokoknya Mamie atur aja deh mana yang tebaik bagi Mami.”

“Nanti kita bicara by phone aja ya. Sekarang aku harusa siap - siap dulu menyambut kedatangan Mama yang sudah dekat. Katanya sih sejam lagi juga pasti tiba di sini.”

“Oke. Kalau gitu aku mau pulang aja sekarang ya,” ucapku yang disusul dengan kecupan hangat di bibir Bu Shanti.

“Take care honey,” ucap Bu Shanti sambil menepuk bahuku.

“You too,” sahutku sambil melangkah ke garasi, untuk mengeluarkan mobilku.

Diiringi kissbye dan lambaian tangan Bu Shanti, mobilku kujalankan ke luar pekarangan rumah dosenku. Setelah menginjak jalan aspal, kubunyikan klakson, sebagai tanda pamitan. Bu Shanti pun melambaikan tangannya lagi yang kubalas dengan lambaian tangan dsan kissbye ku.

Tak lama kemudian mobilku sudah berlari di jalan raya menuju pulang ke rumah.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku memikirkan apa yang akan terjadi dengan Bu Shanti kelak? Apakah ibunya datang untuk memaksa Bu Shanti agar mau dinikahkan dengan lelaki tua itu atau bagaimana?

Entahlah. Yang jelas aku siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi kelak. Bahkan seandainya aku disuruh menikah dengan Bu Shanti pun, akan kujalani saja. Meski usiaku baru 18 tahun, kalau memang terpaksa harusa menikah, ya menikah saja. Itu sebagai wujud tanggung jawabku, karena aku sudah merenggut keperawanan Bu Shanti (meski pun hal itu atas keinginan Bu Shanti sendiri sebagai protesnya atas rencana perkawinannya dengan lelaki tua itu).

Tapi kalau Bu Shanti tetap harus menikah juga dengan lelaki tua itu, aku tak bisa merintanginya juga. Yah, apa yang akan terjadi, terjadilah.

Setibanya di rumah, kumasukkan mobilku ke garasi. Tampak mobil Papa pun ada di garasi. Membuatku ingat bahwa hari itu adalah haru Sabtu. Papa tentu tidak masuk kantor di hari Sabtu dan Minggu.

Aku sendiri tadinya mau pulang besok, hari Minggu. Tapi karena mamanya Bu Shanti mendadak mau datang, terpaksa aku “mengungsi”. Supaya tidak banyak pertanyaan, kata Bu Shanti.

Mamie menyambutku di dalam garasi. Dengan ciuman mesranya di bibirku, disusul dengan pertanyaannya, “Tadi malem nginep di mana?”

“Di rumah dosen Mam. Tadinya malah harus dua malam nginepnya, karena banyak tugas. Tapi bisa dipersingkat, sehingga bisa pulang lebih cepat,” sahutku berbaur dengan kebohongan.

“Papa terbang ke Medan lagi tuh nanti malam. Barusan dijemput oleh mobil perusahaan yang akan membawanya ke bandara,” kata Mamie.

“Iya,” sahutku sambil tersenyum, “Pantesan Mamie udah senyum - senyum kayak gitu. Kangen ya sama aku?”

“Memang kangen. Tapi ada sesuatu yang lebih penting Sayang.”
“Apa tuh yang lebih penting?”
“Mamie udah dinyatakan hamil, tapi baru empat minggu.”
“Ohya?! “seruku girang. Laluj memeluk dan mengangkat tubuh Mamie, disusul dengan ciuman bertubi - tubi di sepasang pipinya dan di bibirnya.

“Berarti sekitar sembilan bulan lagi kita akan punya anak Sayang.”

“Iya Mam. Aku bahagia sekali mendengarnya,” ucapku sambil menurunkan Mamie lagi. Dan mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.

Mama langsung membawaku ke dalam kamarnya.

Mamie duduk sambil menyelonjorkan kakinya di atas bed.


“Biasanya orang yang baru hamil suka ngidam dan punya keinginan yang aneh - aneh. Mamie mau apa?” tanyaku sambil duduk di pinggiran bed, sambil mengelus paha Mamie yang terbuka lewat belahan kimononya.

“Belum kepengen apa - apa. Cuma kangen sama kontolmu aja…” sahut Mamie sambil tersenyum dan memegang pergelangan tanganku.

Lalu kami bergumul dengan mesranya.

Memang terasa sekali Mamie sudah kangen padaku, sehingga ketika kontolku dibenamkan ke dalam liang memeknya, Mamie langsung memeluk leherku. Menciumi bibirku dan berkata, “Mamie memang sudah cinta berat sama kamu sayang.”

Ayunan batang kemaluanku di dalam liang memek Mamie seolah sudah sama - sama hafal. Mamie sudah hafal tentang “rasa” kontolku, sementara aku pun sudah hafal pada rasa memek ibu tiriku cantik dan baik hati padaku itu.

Aku pun sudah hafal pada apa yang selalu Mamie inginkan pada waktu sedang kusetubuhi begini. Dia paling sukla kalau dijilati leher dan telinganya. Itu biasa kulakukan sambil meremas dan memainkan pentil toket kanannya.

Maka berkumandanglah desahan - desahan erotis Mamie yang berbaur dengan rintihan dan rengekan histerisnya.

“Oooo… ooooh Chepi… Chepiiii… kontolmu memang luar biasa Cheeeep… mamie sudah tergila - gila oleh entotanmu… enak sekali Cheeepiii…”

Semuanya terjadi dengan penuh nikmat. Karena biar bagaimana pun Mamie adalah sosok yang penuh surprise bagiku. Sosok yang kugilai sejak aku masih di SMP dan akhirnya kudapatkan setelah aku menjadi mahasiswa.

Diam - diam aku mulai menghitung sosok - sosok yang pernah kugauli selama ini. Sudah ada 6 orang. Mamie, Mama, Bi Caca, Bu Shanti, Gita dan Yama.

Cukup banyak. Tapi kalau dibandingkan dengan pengakuan teman karibku yang bernama Hendra itu, aku masih kalah jauh. Hendra hanya lebih tua 2 tahun dariku. Tapi pengalamannya sudah segudang. Dia mengaku sudah menggauli 23 orang perempuan. Tentu saja semuanya perempuan baik - baik, maksudnya bukan PSK, amatir dan sebangsanya, karena kami sama - sama tak mau menyentuh perempuan nakal.

Setelah aku dan Mamie sama - sama terkapar, aku masih sempat bertanya poadanya, “Bagaimana sikap Papa setelah tau Mamie mulai hamil?”

“Senang sekali,” sahut Mamie, “terutama karena mamie dihamili oleh anak kandungnya sendiri. Darah dagingnya sendiri.”

“Nggak keliatan cemburu sedikit pun?” tanyaku.

“Kalau orang luar yang menghamili mamie, tentu Papa bakal cemburu. Tapi karena yang menghamili mamie anak kesayangannya, Papa malah tampak bahagia.”

Tiba - tiba handphoneku berdenting. Itu adalah WA dari Bu Shanti, karena bunyi notificationnya kubedakan dengan notification dari yang lain. Tapi aku tak mau langsung membukanya, takut Mamie menanyakan WA dari siapa dan aku susah membohonginya.

Setelah bersih - bersih dan berada di dalam kamarku, barulah kubuka WA dari Bu Shanti itu. Isinya :

-Sayang, ternyata mamaku sudah setuju kalau dirimu dijadikan calon suamiku. Tapi dia ingin bertemu dulu denganmu. Besok kan hari Minggu. Bisa kan datang ke rumahku pagi - pagi? Tapi ingat, jangan ngomong kalau kita pernah berhubungan sex ya -

Kujawab singkat : -Siap Mam -

Setelah meletakkan handphoneku di atas meja tulis, aku merebahkan diri sambil menerawang jauh ke depan. Aku memang sudah menyiapkan mentalku, jika pada suatu saat aku harus menikah juga dengan Bu Shanti, aku akan menyetujuinya. Tapi setahuku, Bu Shanti akan mengambil program S3 dulu, baru mau menikah.

Yah… pokoknya aku akan mengikuti arus air saja, mengalir dari hulu ke muara. Gak rugi juga aku menikah dengan perempuan yang 8 tahun lebih tua dariku. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa Bu Shanti takkan menyusahkanku, karena dia sudah punya pekerjaan terhormat, sebagai dosen di kampusku. Sudah punya rumah yang mentereng pula.

Esok paginya, setelah sarapan pagi aku pun mengeluarkan mobilku, menuju rumah Bu Shanti yang terletak di luar kota itu.

Ketika mobilku sudah memasuki pekarangan rumah Bu Shanti, dosenku yang cantik itu sudah berdiri di ambang pintu depan, dengan senyum manis menghiasi bibir sensualnya.

“Suasananya sudah benar - benar clear?” tanyaku setengah berbisik.

“Yang jelas Mama sudah menyerahkan kep;utusannya padaku sendiri. Gak maksa harus menikah dengan lelaki tua itu lagi,” sahut Bu Shanti, “Ayo masuk.”

Aku pun melangkah masuk ke dalam rumah dosenku, lalu duduk di sofa ruang tamu.

Bu Shanti masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia muncul lagi, lalu duduk di sampingku sambil menyerahkan sepucuk surat dengan amplop berlogo kampusku.

“Apa ini?” tanyaku heran.

“Surat tugas dari rektor,” sahutnya, “Besok aku harus terbang ke Singapore, untuk mengikuti seminar. Coba baca aja sendiri, biar jelas.”

Lalu kukeluarkan surat dari dalam amplop berlogo kampus itu. Dan kubaca isinya.

“Cuma berdua dengan Bu Nia?”

“Iya. Seperti yang tertera di surfat itu, aku akan berada di Singapore selama seminggu. Mau ngawal aku ke sana?”

“Aku belum punya paspor. Lagian kalau kuliahku ditinggalkan gimana?”

“Ohya… begini aja. Supaya hati Mama benar - benar tenang dan nyhaman, selama aku di Singapore, Papie tidur di sini aja ya.”

“Tidur di sini?”

“Iya. Yang penting malam aja. Supaya ada cowok yang memberikan rasa aman kepada mamaku. Siang dan sorenya sih mau seharian di luar juga gak apa - apa. Jadik kuliahnya berangkat dari rumah ini. Bisa kan Sayang?”

“Bisa,” sahutku, “tapi aku harus ngomong dulu sama orang tua.”

“Tentu aja. Semingguan di sini tentu bikin cemas ortu kalau gak minta ijin dulu. Besok pagi saja datangnya ke sini. Aku mau berangkat siang kok. Terbangnya dari Jakarta jam enam sore.”

“Mau dianterin ke Jakarta?”

“Gak usah. Kan pakai mobil kampus. Yang penting jagain Mama dan bikin dia kerasan di sini. Kalau gak kerasan entar pergi begitu saja. Lalu laporan sama Papa yang nggak enak.”

Belum sempat aku menanggapi ucapan Bu Shanti, muncul seorang wanita bule berperawakan tinggi tegap. Hmm… itu pasti mamanya Bu Shanti. Benar p- benar bule ibunya itu. Dan seperti kata Bu Shanti kemaren, ibunya itu tampak seperti wanita tigapuluh tahunan, padahal usianya sudah kepala empat.

“Mama… ini kenalin sama pacarku yang kuceritakan itu,” kata Bu Shanti sambil berdiri. Aku pun ikut berdiri. Membungkuk dan menjabat tangan wanita yang tak kalah cantik dari anaknya itu, dengan sikap sopan: “Chepi…” ucapku mengenalkan namaku.

“Aleta, “mamanya Bu Shanti mengenalkan namanya juga dengan senyum di bibir, tapi dengan mata seperti sedang menyelidik, “Pacarmu masih sangat muda Shanti, “ia menoleh ke arah Bu Shanti.

“Yang penting jiwanya sudah dewasa Mam,” sahut Bu Shanti.
“Tapi dia kan masih kuliah.”
“Gak masalah Mam. Orang sudah punya cucu juga ada yang baru masuk kuliah.”
“Terus rencana kalian mau menikah kapan?”
“Kalau Chepi sih siap menikah kapan aja. Masalahnya justru ada di aku,” kata Bu Shanti, “aku mau mengambil es-tiga dulu. Setelah dapet es-tiga, aku siap kawin Mam.”

“Iya, iya, iyaaa… mama sih setuju saja. Mudah - mudahan papamu juga bisa menyetujuinya. Terus rencanamu besok mau berangkat jam berapa?” tanya mamanya Bu Shanti yang aku belum tau harus menyebut apa. Nyebut tante atau ibu atau apa?

“Dari sini berangkatnya siang. Terbangnya dari Jakarta jam setengah tujuh malam.”

“Lalu mama di sini sama siapa selama kamu di Singapore? Masa cuma sama bediende? “(bediende = pembokat/pelayan)

“Ohya… selama aku berada di Singapore, Chepi mau tidur di sini Mam.”
“Betul begitu Chep?” mamanya Bu Shanti menoleh padaku.
“Betul Tante,” sahutku.

“Panggil mama aja deh. Kamu kan calon menantuku,” kata mamanya Bu Shanti. Maka untuk selanjutnya aku akan memanggilnya Mama atau lengkapnya Mama Aleta (supaya tidak tertukar dengan mama kandungku).

Lalu kami ngobrol ke barat ke timur. Tapi pembicaraan diborong oleh Bu Shanti dan mamanya, sementara aku leb ih banyak jadi pendengar yang baik saja.

Esok paginya aku membekal pakaian agak banyak di dalam tasku. Dan pamitan pada Mamie. Bahwa aku disuruh nungguin rumah dosen yang mau seminar di Singapore. Aku juga bilang bahwa dosen yang satu itu sangat menentukan bagiku di kampus. Karena itu aku ingin berbaik - baik dengannya.

Mamie cuma mengangguk - angguk dan mengiyakan. Tanpa bertanya apakah dosen itu lelaki atau perempuan.

Lalu aku berangkat ke rumah Bu Shanti.

Setibanya di rumah Bu Shanti, aku ikut membantunya untuk packing barang - barang yang mau dibawa ke Singapore. Dan secara bisik - bisik Bu Shanti bilang harus begini harus begitu dalam menghadapi wanita bule yang ibu kandungnya itu.

“Kalau dia minta diantar ke mall, antarin aja ya, please,” kata Bu Shanti.
“Iya, santai aja Mam. Kalau minta diantar ke daerah wisata gimana?”
“Ya kalau Papie gak keberatan, silakan anterin aja. Yang penting hatinya merasa nyaman dan kerasan tinggal di sini. Tapi ini tidak berarti kalau aku mendikte dan main perintah sama kamu Sayang.”

“Ya nggaklah. Beliau kan calon mertuaku Beib.”

Bu Shanti tersenyum. Mengecup bibirku lalu berkata, “Sebenarnya aku ingin bercinta lagi denganmu. Tapi suasana belum mengijinkan. Nanti aja sepulang dari Singapore kita habis - habisan ya.”

“Siap Bu Dosen cantik rupawan…”

Bu Shanti tersenyum manis lagi.

Siangnya, sebuah minibus datang menjemput Bu Shanti. Aku hanya bisa mengantarkannya ke pintu pagar bersama Mama Aleta, sambil melambaikan tangan.

Kebetulan hari itu tidak ada kuliah. Sehingga aku bisa berkata kepada Mama Aleta, “Kalau Mama mau ke mall atau ke mana aja, aku siap mengantarkan Mama.”

Mama Aleta malah mengusap - usap rambutku di ruang tamu sambil berkata, “Kamu baik dan sopan. Tampan pula. Pantaslah Shanti jatuh cinta padamu. Ohya, kamuj kuliah jam berapa? Ini sudah jam satu siang Chep.”

“Kebetulan hari ini gak ada kuliah Mam. Besok juga kuliahnya sore,” sahutku.

“Mama sih udah kangen sama pemandian air panas mineral,” kata Mama Aleta sambil menyhebutkan nama pemandian air panas itu.

“Mama mau ke sana? Ayo kuantarkan sekarang. Mumpung aku gak ada kuliah.”
“Beneran nih? Nggak ngerepotin?”

“Nggak Mam. Jangankan ke pemandian air panas. Mama minta diantarkan ke Jakarta juga akan kuantarkan. Asalkan besok sore aku masih bisa kuliah.”

“Ya udah… kita ke pemandian air panas aja sekarang. Tapi harus bawa handuk dan sabun ya?”
“Iya, sebaiknya begitu Mam.”

Beberapa saat kemudian Mama Aleta sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan hitam yang kukemudikan menuju ke luar kota.

“Enaknya sih ke pemandian air panas itu malam - malam,” kata Mama Aleta ketika mobilku sudah meluncur menuju ke daerah pemandian air panas itu.

“Iya Mam. Kan pemandian air panas itu buka duapuluhempat jam.”

“Betul. Lain kali kalau mau ke sana lagi, harusnya malem - malem. Ohya, Chep… hubunganmu sudah sejauh mana dengan Shanti?”

“Sangat dekat Mam.”
“Siapa yang duluan jatuh cinta? Kamu apa Shanti?”

“Aku Mam. Sudah berbulan - bulan kupendam perasaan ini. Tapi akhirnya diucapkan juga. Kebetulan dia juga jatuh hati padaku. Jadi begitulah.”

“Kamu sudah pernah berhubungan seks sama dia?”
“Belum Mam,” sahutku berbohong, seperti yang dianjurkan oleh Bu Shanti.
“Masa?!”
“Betul Mam.”
“Perlu mama ajarin supaya bisa memuaskan Shanti kelak? Hihihiii…”
“Haaa?! Diajarin gimana Mam?”
“Ah masa kamu gak ngerti?! Mmm… di matamu, mama sama Shanti cantikan mana?”

Aku bingung menjawabnya. Kok ada ya seorang ibu ingin dibandingkan kecantikan dengan anaknya. Tapi aku berusaha menjawab sejujur mungkin, “Mama sama Shanti sama cantiknya. Cuma Mama punya nilai plus di mataku.”

“Apa itu nilai plusnya?”
“Mama lebih itu… mmm… berat ngomonginnya.”
“Ah cuma ditanya segitu aja pakai berat segala. Mama jadi penasaran nih. Apa nilai plus mama Chep?”
“Mama… mmm… Mama lebih seksi.”

“Ohya?! Terima kasih ya,” ucap Mama Aleta yang dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku, membuatku terkejut. Lalu pikiranku jadi ngelantur ke mana - mana.

Lebih dari itu, Mama pun menggenggam tangan kiriku sambil berkata, “Nanti sepulangnya dari pemandian air panas, mama ajarin kamu ya…”

“Mau ngajarin aku dalam soal apa Mam?” tanyaku ingin mendapat kejelasan.
“Dalam soal seks. Kamu mau kan diajarin masalah seks?”
“Teorinya atau mmm… atau prakteknya Mam?”
“Dua - duanya.”
“Wah… mungkin Mama mau menjebakku. Ingin menguji kesetiaanku pada Shanti ya Mam?”

“Mama tidak selicik itu Chep. Bahkan kalau kamu diajarin prakteknya nanti, jangan sampai Shanti tau nanti.”

Pikiranku semakin tak menentu. Seandainya Mama Aleta punya niat yang sebenarnya padaku, tentu saja aku takkan menolaknya.

“Apa motivasi Mama sehingga mau mengajariku dalam masalah seks?” tanyaku.

“Supaya kamu trampil nantinya. Dan jujur saja… mama juga membutuhkan laki - laki yang masih segar seperti kamu.”

“Jadi nanti kita harus take and give ya mam.”
“Ya… take and give di dalam bahasa Belandanya… genomen en gegeven.”

Tak lama kemudian mobilku sudah kuhentikan di areal parkir pemandian air panas mineral yang terkenal ini. Peralatan mandi Mama Aleta dan peralatan mandiku dikeluarkan dan kujinjing menuju loket penjualan tiket. Aku mendahului Mama Aleta membayar tiket masuk, karena jangan sampai beliau yang membayar.

Setelah berada di dekat kolam renang air panas, aku bertanya pada Mama Aleta, “Mau mandi di kolam itu atau mau di kamar mandi?”

Mama Aleta menjawabnya dengan bisikan, “Kalau di kolam kan harus poakai bajku renang. Mama gak bawa baju renang. Di kamar mandi aja.”

“Mau pakai dua kamar apa satu kamar Mam?”
“Satu aja. Ngapain dua - dua?”

Lalu kupesan dan kubayar satu kamar mandi.

Beberapa saat kemudian aku dan Mama Aleta sudah berada di dalam kamar mandi yang tertutup dan terkunci. Ada bak mandinya yang hampir menghabiskan lantai kamar mandi ini saking besarnya.

Air panas mineralnya sedang dikucurkan dengan derasnya, sehingga uap pun mengepul dari permukaan air panas yang berasal dari gunung berapi itu.

Mama Aleta seperti tak sabar lagi. Beliau melepaskan blouse putih dan celana panjang corduroy biru tuanya. Disusul dengan pelepasan beha dan celana dalam serba putihnya. Lalu Mama Aleta turun ke bak mandi yan g lebih tepat disebut kolam kecil itu. Padahal airnya baru sebatas lutut.

Sementara aku cuma terlongong menyaksikan betapa indahnya tubuh wanita Belanda itu. Biasanya perempuan yang sudah berumur kepala empat, perutnya suka buncit. Tapi perut Mama Aleta kecil, tidak kelihatan buncit sedikit pun.

Maulidya Rina

Tak dapat kupungkiri bahwa sejak dalam perjalanan menuju pemandian air panas ini kontolku ngaceng terus. Terlebih lagi setelah menyaksikan Mama Aleta telanjang bulat dengan menyiarkan aura seksual yang begitu dahsyatnya. Semakin ngaceng jugalah batang kejantananku ini. Sehingga aku jadi malu melepaskan pakaianku.

Tapi Mama Aleta menegurku. “Ayo lepasin pakaianmu dan turun ke sini. Mau nonton mama telanjang doang?”

Akhirnya kulepaskan busanaku sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat seperti Mama Aleta. Lalu turun ke bak air panas yang airnya sudah setinggi paha Mama Aleta.

Mama Aleta menyambutku dengan memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini. “O my God…! Penismu panjang gede gini Chep…! Sudah ngaceng pula. Udah kepengen dientotin ke sini ya?” ucap Mama sambil menepuk - nepuk memeknya yang bersih dari bulu.

“Hehehe… kalau dikasih sie aku takkan menolak Mam.”

“Nanti aja di rumah ya. Jangan di sini. Kan kita hanya boleh seperempat jam berada di dalam kamar mandi ini. Kalau kelamaan bisa pada pingsan nanti. Sekarang sabunin mama dong. Mau?”

“Siap Mam,” sahutku sambil menyambar botol sabun cair Mama Aleta dari bibir bak mandi.

Mama Aleta pun membelakangiku sambil berkata, “Punggungnya dulu Chep.”

Permintaannya. Dan mulai menyabuni punggungnya yang terasa padat kencang. Bokongnya pun terasa padat kencang sekali.

Aku pun teringat ucapan Bu Shanti, bahwa mamanya rajin melakukan kebugaran di tempat fitness. Dan Bu Shanti jadi ikut - ikutan menyukai latihan kebugaran.

Sekarang aku sudah membuktikannya. Betapa padat dan kencangnya tubuh mamanya Bu Shanti yang bule asli ini.

Ketika aku menyabuni bagian depannya, kontolku semakin ngaceng. Karena aku mulai dengan menyabuni sepasang payudaranya yang juga hanya sedikit turun tapi belum kendor.

Yang mengagumkan adalah bahwa memek Mama Aleta tidak berbulu setitik pun. Mungkin dia melakukan waxing atau mungkin juga mengikuti mode zaman sekarang, membersihkan jembut dan bulu halus dengan sinar laser. Padahal anaknya (Bu Shanti) ada jembutnya, meski digunting pendek - pendek.

Dan ketika tiba giliran memek Mama Aleta yang mulai kusabuni, tanganku malah kerasan di bagian yang paling indah itu. Bahkan sesekali kuselinapkan jemariku yang bersabun ini ke dalam celah memek Mama Aleta, sehingga Mama Aleta merengkuh leherku, kemudian menciumi bibirku tanpa berkata - kata sepatah kata pun.

Terlebih setelah Mama Aleta menangkap kontolku, lalu mencolek - colekkan ke celah memeknya yang sudah licin oleh sabun cair.

Tentu saja aku mulai edan eling dibuatnya. Maka tanpa dapat kontrol diri lagi, ketikka terasa kepala penisku sudah agak masuk ke belahan memek Mama Aleta, kudesakka kontolku… blessssssss… melesak masuk ke dalam liang memek Mama Aleta.

“Kok dimasukin? Gak kuat nahan nafsu lagi ya?” ucap Mama Aleta sambil menyandar ke dinding dan mendekap pinggangku.

“Iya Mam… maafkan aku ya… semua ini terlalu erotis buatku…”

Lalu Mama Aleta menepuk - nepuk pantatku sambil berkata, “Ya udah entotin aja. Tapi jangan terlalu lama ya. Kalau kurang kenyang, nanti kita lanjutkan di rumah.”

“Iii… iya Mam… “kuayun kontol ngacengku sambil memeluk leher Mama Aleta disusul dengan pagutannya di bibirku, yang kusambut dengan lumatan penuh gairah.

Mama Aleta terasa sangat bergairah menyambut entotanku. Sementara aku sendiri merasakan sesuatu yang luar biasa. Bahwa liang memek Mama Aleta begini enaknya, empuk tapi legit. Seperti mengisap - isap moncong kontolku.

Meski sambil berdiri, ternyata ngentot Mama Aleta sangat enak. Karena tinggi badannya nyaris sama dengan tinggi badanku. Padahal tinggi badanku di atas rata - rata bangsaku.

Karena itu aku tak perlu membungkuk waktu mengentot Mama Aleta ini. Bahkan aku bisa menciumi dan menjilati leher mamanya Bu Shanti ini.

Mama Aleta pun berbisik, “Penismu luar biasa enaknya Chep… ooooohhhh… ini benar - benar fantastis… ooooh… bisa cepat ejakulasi nggak?”

“Masih lama Mam…”

“Kalau gitu cabut dulu deh penismu. Nanti kita lanjutkan di rumah aja yaaa…”

Aku sependapat dengan keinginan Mama Aleta. Karena aku juga merasa takut - takut melakukan semua ini, mengingat kami berada di dalam kamar mandi ini sudah lebih dari seperempat jam. Kalau terlalu lama bisa pingsan karena menghirup uap belerang. Karena itu kucabut kontolku dari liang memek Mama Aleta.

“Mau dibilas pakai air dingin juga bisa Mam. Ada tempatnya di sini,” kataku.

“Nanti aja deh di rumah. Abis berendam dengan air panas lalu dibilas dengan air dingin kan gak enak,” sahut Mama Aleta sambil menghanduki tubuhnya di luar bak mandi.

Setelah kami sama - sama berpakaian, Mama Aleta mengusap - usap rambutku yang masih basah, sambil berkata, “Sabar ya Chep. Nanti di rumah akan mama kasih sepuasnya. Mau sampai lima enam kali juga mama kasih nanti.”

“Iya Mam,” sahutku sambil tersenyum.

Beberapa saat kemudian aku sudah melarikan mobilku menuju daerah rumah Bu Shanti kembali.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Mama Aleta sambil memegang tangan kiriku dan meremasnya, “Kan walau pun cuma sebentar sudah merasakan vagina mama.”

“Rasanya seperti bermimpi Mam. Karena tak menduga bakal merasakan fantastisnya memek Mama,” sahutku.

“Sama, mama juga seperti bermimpi, setelah belasan tahun puasa dari seks, tiba - tiba mendapatkan anak muda yang tampan dan menggemaskan ini,” kata Mama Aleta sambil menggerayangi celana jeansku dan berhasil menggenggam kontol di balik celana dalamku.

“Belasan tahun puasa dari seks?”

“Iya,” sahut Mama Aleta sambil mengelus - eslus moncong kontolku yang masih ngaceng karena belum ejakulasi ini, “Papanya Shanti kan sudah belasan tahun impoten.”

“Ohya?!”

“Memang begitulah keadaannya. Gara - gara terjatuh dari motor, bisa jadi begitu. Tulang ekornya retak dan ada tulang punggungnya yang patah. Lalu dirawat di rumah sakit, karena mendadak lumpuh. Setelah dirawat sebulan di rumah sakit, dia bisa jalan lagi. Tapi kejantanannya mengalami disfungsi. Sejak saat itulah dia impoten, sampai sekarang.

“Sudah berusaha ditolong oleh dokter, khusus untuk menyembuhkan impotensinya itu Mam?”

“Sudah ke Filipina segala untuk berusaha menyembuhkannya. Tapi para dokter di sana pun tidak bisa memulihkannya lagi.”

Setibanya di rumah Bu Shanti, Mama Aleta tidak lagi membahas masalah suaminya yang mengalami impotensi itu. Mama Aleta ingin mandi dulu untuk membersihkan badannya dari air mineral mengandung mineral tadi. Maka ia masuk ke dalam kamarnya yang berdampingan dengan kamar Bu Shanti. Sementara aku sendiri masuk ke dalam kamar Bu Shanti seperti yang sudah diuatur oleh pemilik kamar itu tadi siang.

Setelah mandi kukenakan baju kaus putih dan celana pendek abu - abu, tanpa mengenakan celana dalam. Karena aku yakin sebentar lagi aku sama sekali tidak membutuhkan celana dalam…!

Lalu aku duduk di ruang keluarga. Tapi baru sebentar aku duduk di sofa ruang keluarga, pintu kamar Mama Aleta terbuka. Mama Aleta langsung menggapaikan tangannya, “Ke sini aja,” ucapnya.

Aku pun masuk ke dalam kamar Mama Aleta.

Kamar yang ditempati oleh Mama Aleta itu fasilitasnya sama persis dengan kamar Bu Shanti (yang untuk sementara dijadikan kamarku). Ada sebuah bed luas, 1 set sofa putih, televisi layar lebar, kulkas, microwave dan banyak lagi. Kamar mandinya pun sama bagusnya dengan kamar mandi Bu Shanti sendiri.

Saat itu Mama Aleta sudah mengenakan kimono berwarna hitam, sehingga kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih.

Mama Aleta pun mengajakku duduk berdampingan di sofa. “Sekarang kamu nilai mama secara jujur ya. Mama ini seperti apa di dalam pandanganmu. Jawab aja sejujur mungkin. “”Luar biasa Mam. Tadinya kupikir Mama ini sudah tua. Tapi ternyata masih muda sekali.”

“Mama memang sudah empatpuluhlima tahun Chep. Waktu melahirkan Shanti, umur mama sembilanbelas tahun. Sekarang Shanti sudah duapuluhenam tahun kan?”

“Tapi Mama kelihatan masih muda. Bahkan bisa disejajarkan dengan wanita yang di bawah tigapuluhan.”

“Masa sih?!” Mama Aleta tampak senang mendengar ucapanku.

“Betul Mam. Sebagai contoh, ibu kandungku baru berumur tigapuluhdelapan tahun. Tapi Mama kelihatan lebih muda daripada ibuku. Kalau didampingkan, mungkin Mama seperti sebaya dengan ibu tiriku yang usianya baru duapuluhdelapan tahun.”

“Begitu ya? Mmm… jadi mama ini masih menarik bagimu?”

“Kalau aku boleh bicara jujur, Mama ini sangat menggiurkan bagiku.”

Mama Aleta tampak semakin tersanjung. Lalu ia menanggalkan kimono hitamnya, sehingga ia langsung telanjang bulat. Karena ia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam di balik kimono hitam itu.

“Ayo lepaskan pakaianmu,” kata Mama Aleta, “Yang tadi belum tuntas kan?”

“Iya Mam,” sahutku sambil melepaskan celana pendek dan baju kausku. Sehingga aku jadi telanjang bulat seperti Mama Aleta.

Mama Aleta yang sudah telanjang bulat itu naik ke atas bed sambil berkata, “Di sini aja Chep. Biar lebih leluasa.”

Aku yang juga sudah telanjang bulat, lalu mengikuti Mama Aleta naik ke atas bed. Dan langsung merayap ke atas perutnya. Harum parfum pun semakin tersiar ke penciumanku, sehingga hasrat birahiku semakin menggila.

Mama Aleta pun menyambutku dengan pelukan hangat dan ciuman yang bertubi - tubi di bibirku.

Lalu terdengar suaranya, “Selama belasan tahun mama belum pernah tergoda oleh lelaki lain, meski suami mama sudah impoten begitu. Tapi hari ini mama sangat tergoda olehmu, Chep.”

Aku cuma tersenyum mendengar pengakuan Mama Aleta itu. Karena aku lebih tertarik untuk mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya… gila… toketnya masih padat, meski kalau sedang berdiri kelihatan menurun.

Lalu terdengar lagi suara Mama Aleta, “Lakukanlah apa yang mau kamu lakukan pada mama. Jangan sungkan - sungkan ya Chepi…”

Mendengar ucapan yang sangat welcome itu, aku pun melakukan apa yang ingin kulakukan. Bahwa ketika aku sedang mengemut pentil toket Mama Aleta, tanganku langsung melorot ke bawah perutnya… langsung mengusap - usap memeknya… lalu menyelinapkan jemariku ke dalam celah memeknya yang hangat dan licin ini.

Awalnya aku hanya menyelinapkan jari tengahku ke dalam liang memeknya. Lalu kumajumundurkan jari tanganku sampai terasa basah dan licin. Dan “kupindahkan” kebasahannya itu ke kelentitnya yang sebesar kacang kedelai itu. Setelah clitorisnya terasa licin, kugesek-gesek dengan jari tanganku.

Mama Aleta pun mulai menggeliat dengan mata terpejam - pejam.

Tapi tampaknya Mama Aleta sudah tidak sabaran lagi. Ia langsung menangkap kontolku, yang lalu moncongnya dicolek - colekkan ke mulut memeknya. Sampai pada suatu saat ia memberi isyarat agar aku mendorong kontolku.

Dan… blessssssss… kontolku melesak amblas ke dalam liang memek Mama Aleta.

“Oooooouuuhhhh… sudah masuk semua Chep… “Mama Aleta merangkul leherku ke dalam pelukannya.

Aku pun langsung mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Mama Aleta yang “gurih” rasanya.

Mama Aleta pun mulai mendesah - desah sambil menciumi bibirku dengan mesranya, seolah menciumi bibir kekasihnya. “Aaaaaaahhhh… emwuaaaah… aaaaaaahh… emwuaaaah… aaaaaaah… emwuaaaaah… kamu memang tampan sekali Cheeepii… kontolmu juga luar biasa enaknyaaaa… come on… fuck me harder please…

Aku memang mempercepat entotanku. Bahkan kelihatannya Mama Aleta suka kalau aku mendorongnya dengan keras (pada saat kontolku didorong maju). Sehingga menimbulkan bunyi pada memeknya yang tertepuk dasar kontolku. Plak… srtttt… plak… srtttt… plak… srtttt… plakkk… sretttt …

Untungnya kontolku cukup panjang. Sehingga moncong kontolku terus - terusan menyundul dasar liang memek Mama Aleta. Padahal konon liang memek wanita bule itu dalam - dalam. Lebih panjang liangnya. Tapi kontolku bisa mencapai dasar liang memek Mama Aleta ini.

Aku pun tak mau membiarkan mulut dan tanganku nganggur. Ketika aku meremas toket kanannya, mulutku menjilati leher jenjangnya disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Maka semakin riuh jugalah rintihan - rintihan histeris wanita bule itu.

Bahkan sebelum aku berkeringat, Mama Aleta sudah duluan dibasahi keringatnya. Aroma keringatnya yang bercampur harum parfum malah membuatku semakin bernafsu untuk mengentotnya habis - habisan.

Terkada kuemut dan kujilati pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku digunakan untuk meremas - remas toket kanannya. Bahkan terkadang aku menjilati ketiaknya yang harum deodorant, disertai dengan sedotan - sedotan kuat. Tanpa peduli keringatnya tertelan olehku.

Akhirnya Mama Aleta berkelojotan sambil merintih seperti minta dikasihani, “Oooooohhh… Cheeepiiii… mama sudah mau datang… mau orgasme… Chepppiiii… aaaaauuuuu… aaaa…”

Lalu ia terpejam sambil menahan nafasnya. Dengan tubuh mengejang tegang. Lalu terasa liang memeknya mengejut - ngejut, diikuti dengan aliran lendir libidonya.

Dan akhirnya terdengar suaranya kembali, “Aaaaaaah… luar biasa indahnya. Terima kasih Chepi… mama akan ikut menyayangimu kelak… ini luar biasa rasanya.”

Tapi aku belum apa - apa. Maka setelah wajah Mama Aleta kelihatan berdarah lagi, aku pun mengayun kontolku kembali. Dalam gerakan cepat, karena liang memeknya sudah becek sekali.

“Kamu memang gagah perkasa Chep,” ucap Mama Aleta sambil menepuk - nepuk pipiku perlahan, “Kalau begini sie, mama bisa multi orgasme nanti.”

“Silakan aja Mam. Aku senang ikut menikmati wanita orgasme.”

Lalu aku mengayun kontolku dalam gerakan hardcore. Cepat dan keras. Sehingga terdengar bunyi unik dari liang memek Mama Aleta, sesuai dengan gerakan kontolku.

Stttt… crekkk… stttt… crekkkk… stttt… crekkkk… srttttt… crekkkk…!

Dan begitu seterusnya.

Keringat pun mulai membanjiri tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Mama Aleta. Namun aku tetap tabah dan bernafsu untuk mengentot Mama Aleta habis - habisan. Sehingga Mama Aleta orgasme lagi dan orgasme lagi. Sudah tiga kali dia orgasme.

Namun aku pun sudah tiba di detik - dedtik krusial menjelang puncak kenikmatanku sendiri.

“Nanti… aku ejakulasi di mana Mam?” tanyaku terengah, tanpa menghentikan entotanku.

“Di dalam aja please… aman kok…”

Pada saatr berikutnya, aku menggelepar di atas perut Mama Aleta, sambil menancapkan kontolku sedalam mungkin, kontol yang sedang mengejut - ngejut dan memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crotttt… croooooottttt… crottttcrottt… crooootttttt… crooooooooottttttt… crottttt… crooootttt…!

Aku pun terkapar di atas perut Mama Aleta.

Lalu Mama Aleta menciumku disusul dengan bisikan, “Kamu sangat memuaskan Chepi. Jauh lebih memuaskan daripada papanya Shanti. Karena itu, mungkin mama akan tinggal lama di sini. Agar bisa dipuasi olehmu.”

“Asal jangan ketahuan oleh Shanti ya Mam,” sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek Mama Aleta.

“Tentu saja. Tapi mama kan bisa nyari alesan. Misalnya minta diantar belanja olehmu. Padahal kita akan check in ke hotel.”

“Iya bisa juga kalau begitu Mam. Sekarang kan banyak mall yang ada hotelnya. Jadi Mama bisa belanja beneran dulu, kemudian kita check in ke hotel.”

Esok paginya, Mama Aleta latihan kebugaran di fitness room yang terletak di bagian belakang rumah ini. Lagi - lagi aku tergiur olehnya. Karena Mama Aleta latihan kebugaran dalam keadaan… telanjang bulat…!

Waktu tubuhnya mulai bermandikan keringat, Mama Aleta malah semakin sexy di mataku.

Aku pun mendekati Mama Aleta yang sedang istirahat, dengan tubuh telanjang bermandikan keringat. Namun tiba - tiba handphoneku berdering. Cepat kukeluarkan hapeku dari saku celana trainingku. Ternyata dari Bu Shanti…!

“Sttt… dari Shanti… !” ucapku sambil menyimpan telunjuk di depan bibirku. Kemudian kuterima call dario dosen merangkap kekasihku itu.

Lalu :

Aku: “Hallo Sayang udah di Singapore kan?”

Bu Shanti: “Iya. Aku udah di Singapore. Tapi langsung sibuk mempersiapkan seminar. Jadi baru sekarang sempatnya call Papie.”

Aku: “Gak apa - apa. Yang penting dirimu sehat - sehat aja Beib.”
Bu Shanti: “Sehaaat. Lagi di mana nih?”
Aku: “Lagi di rumahmu. Kan tugasku harus standby selama dirimu di Singapore Beib.”
Bu Shanti: “Gimana keadaan Mama sehat dan ceria gak?”
Aku: “Iya. Sehat dan ceria, tak kurang suatu apa pun.”

Bu Shanti: “Sayaaang… Mama itu udah belasan tahun gak pernah disentuh lelaki, sejak papaku impoten.”

Aku (pura - pura belum tahu) : “Ohya?!”

Bu Shanti: “Iya. Kasian kan. Kalau bisa sih coba deketin dia. Sukur - sukur kalau bisa sampai terjadi hubungan sex. Aku ijinkan deh kalau sama Mama sih.”

Aku: “Beib… kamu ini ngomong apa sih? Kok bicara begitu?”

Bu Shanti: “Aku bicara secara fair dan open minded kok. Mama itu butuh sentuhan lelaki. Kalau dirimu tidak keberatan, coba rayu deh sampai dapat. Biar dia kerasan tinggal di rumah kita. Lagian supaya dia mendukungku untuk menikah dengan dirimu Sayang. Bilang aja kamu udah dapat ijin dariku gitu.”

Sebenarnya aku senang sekali mendengar saran dari Bu Shanti itu. Tapi aku masih bersikap seperti belum setuju pada sarannya itu. Padahal yang disarankannya itu sudah terjadi.

Maka kataku: “Nanti aku pikirkan dulu positif dan negatifnya, ya Beib. Ohya… sebentar… aku mau terima telepon dari mamaku dulu ya Beib. Nanti kutelepon balik kalau sudah selesai menerima telepon dari mamaku.”

“Iya… iya… titip salam aja buat mamamu, dari calon menantu gitu. Hihihiiii…”

“Siiip! See you…”

Hubungan seluler dengan Bu Shanti ditutup. Sebenarnya hanya akal - akalanku saja, bilang ada telepon dari mamaku. Padahal sebenarnya aku ingin memberitahu Mama Aleta tentang isi pembicaraanku dengan anaknya barusan. Karena tadi aku tidak mengeluarkan suara Bu Shanti lewat speaker. Jadi pasti Mama Aleta tidak tahu apa yang kubicarakan dengan anaknya tadi.

Lalu kuhampiri Mama Aleta yang tengah menghanduki tubuh telanjangnya.

“Ada berita gembira Mam,” ucapku sambil mencium leher Mama Aleta yang mengkilap karena keringat. Tapi aromanya justru merangsang nafsuku.

“Berita apa?” tanyanya dengan sorot penasaran.

Lalu kuceritakan isi pembicaraanku dengan anak Mama Aleta barusan.

“Masa dia ngomong begitu?” Mama Aleta seperti kurang percaya.

“Kalau Mama gak percaya, aku telepon dia sekarang ya. Suaranya akan dikeluarin ke speaker, biar Mama bisa ikut mendengarkan. Tapi Mama jangan bersuara ya. Aku mau ngomong sedang sendirian dan Mama sedang tiduran di kamarnya. Oke?”

“Oke, “Mama Aleta mengangguk.

Lalu aku memijat nomor hape Bu Shanti lewat sambungan internasional. Suaranya kukeluarkan lewat speaker supaya Mama Aleta bisa ikut mendengarkan.

Kemudian :

Bu Shanti: “Hallo Sayang…”

Aku: “Hallo juga. Pembicaraan tadi belum selesai Beib. Coba sekarang perjelas lagi. Supaya aku ngggak salah langkah.”

Bu Shanti: “Pokoknya aku ingin agar Chepi mendekati Mama yang sudah belasan tahun tidak merasakan sentuhan lelaki. Sedangkan Mama itu masih full of passion. Aku sering memikirkan hal itu. Dan sekarang kebetulan ada Chepi, bisa kujadikan tempat minta tolong.”

Aku: “Terus aku harus ngapain aja?”

Bu Shanti: “Ah… kayak bukan mahasiswa aja. Masa harus ngomong mendetail tentang soal ini? Kesimpulannya aja ya… kamu harus memuasi gairah Mama.”

Aku: “Berarti aku harus berhubungan sex dengan mamamu?”

Bu Shanti: “Ya begitulah. Tapi kalau Mama gak mau, jangan dipaksa.”

Aku: “Memangnya Mamie gak cemburu kalau sampai terjadi hal sejauh itu dengan mamamu?”

Bu Shanti: “Kalau sama orang lain, pasti aku cemburu. Tapi kalau dengan Mama, aku tiakkan cemburu. Karena Mama itu yang mengandung dan melahirkan ke dunia ini. Lalu merawatku dari bayi sampai sedewasa ini, dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan. Masa aku tak mau berkorban sedikit pun untuk kebahagiaan Mama?

“Setelah Mamie pulang dari Singapore juga, aku diijinkan untuk melakukannya dengan Mama?”

Bu Shanti: “Kuijinkan. Anggap aja aku dan Mama istri pertama dan kedua. Wanita yang dipolygami saja banyak yang rukun kan?”

Aku: “Enak dong aku… punya memekmu dan memek Mama… hihihihiii…”

Bu Shanti: “Iya. Tapi cukupkan Mama dan diriku aja ya. Jangan nyari cewek lain lagi.”

Setelah hubungan seluler dengan Bu Shanti ditutup, aku menoleh kepada Mama Aleta yang sudah membelit tubuhnya dengan handuk.

“Sudah jelas kan?” tanyaku, “Dia malah menganjurkanku untuk menggauli Mama. Dia minta agar aku menganggap punya istri dua. Mama dan dia.”

Mama Aleta memeluk dan menciumi sepasang pipiku. “Shanti memang anak yang sangat menyayangi mama…”

Tampak mata Mama Aleta berlinang - linang. Mungkin dia bahagia bercampur terharu setelah mendengar suara anaknya lewat hapeku tadi.

Melihat air mata yang menetes dari kelopak mata Mama Aleta, kuseka dengan kertas tissue yang kotaknya tersedia di dinding.

Tapi tahukah Mama Aleta bahwa aku mendadak teringat mama kandungku sendiri?

Apakah aku tidak kangen kepada Mama kandungku dan tak pernah lagi mendatangi rumahnya? Bukankah aku sudah berjanji bahwa setelah punya mobil aku bisa sering sering datang ke rumahnya?

O, tentu saja aku selalu menepati janjiku. Setiap kali hari libur atau kalau sedang tidak ada kuliah aku selalu mendatangi rumah Mama, untuk meredakan perasaan kangenku kepada beliau sebagai seorang anak kepada ibu kandungnya. Sekaligus sebagai seorang lelaki muda kepada wanita yang bisa dijadikan penyaluran nafsu birahiku.

Ya, biar bagaimana pun Mama adalah the best bagiku, dalam segalanya. Baik dalam kelembutan dan kasih sayangnya, dalam hal kecantikannya dan dalam kelezatan… memeknya…!

Bahkan pada suatu malam Sabtu, sepulangnya kuliah malam, aku langsung memacu mobilku menuju kampung Mama. Karena aku ingin menghabiskan weekend di rumah ibu kandung tercintaku.

Aku baru tiba di depan rumah Mama ketika jam tanganku sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi Mama sendiri yang membuka pintu depan, dalam kimono putihnya.

“Belum tidur Mam?” tanyaku setelah mencium tangan dan cipika - cipiki di ambang pintu depan.

“Belum. Lagi ingat kamu terus dari siang tadi,” sahut Mama sambil menutup dan menguncikan kembali pintu depan setelah kami berada di dalam.

“Aku juga makanya ke sini lagi ingat terus sama Mama. Makanya pulang kuliah malam langsung ke sini,” kataku sambil duduk di sofa ruang keluarga.

Mama pun duduk di samping kiriku. Yang kusambut dengan melingkarkan lengan kiriku ke pinggang Mama.

“Perasaan Mama jadi agak langsing sekarang,” ucapku sambil menyelinapkan tangan kananku ke balik kimono Mama. Dan mengusap - usap perutnya yang semakin kempes rasanya.

“Kan kamu yang menganjurkan agar mama mengurangi makan nasi, supaya jangan banyak makan yang mengandung karbohidrat. Mama juga sekarang jadi sering senam. Malu sama anak sekaqligus kekasih mama yang bernama Chepi ini,” sahut Mama sambil menggelitik pinggangku.

Pada saat itulah tanganku sudah meraba - raba memek Mama yang tidak bercelana dalam. Karena Mama terbiasa, kalau mau tidur tak pernah mengenakan beha mau pun celana dalam. Biar gak mengganggu pernafasan, katanya.

Aku pun langsung duduk di karpet, di antara kedua paha putih mulus Mama.

Mama pun mengerti apa yang akan kulakukan. Ia merenggangkan jarak kedua pahanya, sambil memajukan bokongnya jadi di pinggiran sofa. Sehingga memeknya yang senantiasa dicukur bersih berhadapan dengan mulutku yang siap untuk menjilatinya.

Dua - tiga detik kemudian mulutku sudah nyungsep di permukaan memek mama yang senantiasa mengobarkan gairah dalam jiwaku.

Mama mengelus - elus rambutku sambil merintih perlahan, “Ooo… ooooohhh… Chepiiii… mama makin sayang saja sama kamu Naaaak… ooooh… kamu adalah segalanya buat mama sekarang Cheeeep… ooooh… ooooh… Cheeepiiii…”

Setelah terasa memek Mama basah kuyup oleh air liurku bercampur dengan lendir libidonya, mungkin, aku pun spontan berlutut sambil memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini.

Tapi Mama spontan menarik pergelangan tanganku sambil berdiri dan melangkah bergegas ke dalam kamarnya sambil berkata, “Di kamar aja biar leluasa Sayang…”

Mama setengah melompat ke atas bed barunya yang mewah dan sangat mahal harganya. Kemudian ia menelentang sambil merenggangkan kedua belah pahanya dan mengusap - usap memeknya.

Aku pun merayap ke atas perut Mama sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Mama yang sudah ternganga.

Dengan sekali dorong, kontolku langsung amblas ke dalam liang memek Mama yang sudah becek oleh air liurku… blessss… sssskkkkk…!

Mama ternganga sambil mendekap pinggangku. “Aaaaaaaah… baru sekali ini bisa langsung masuk semua ya Chep… kontolmu memang jauh lebih gagah daripada kontol papamu…! Ayo entotin…”

Aku memagut bibir Mama. Kemudian melumatnya sambil mengayun kontolku, bermaju - mundur di dalam liang memek Mama yang luar biasa enaknya.

Seperti biasa, Mama pun tak mau berdiam dikri. Bokongnya mulai bergeol - geol menyerupai angka 8. Memutar - mutar dan meliuk - liuk. Membuat kontolku serasa dibesot - besot oleh dinding liang memeknya yang bergerinjal - gerinjal seperti barisan telur ayam yang masih ada di dalam perutnya (belum dikeluarkan).

Inilah yang membuatku selalu merem melek dan berdengus - dengus setiap kali mengentot mama kandung tercintaku ini.

Mama sendiri memang selalu lupa daratan ketika sedang kusetubuhi. Sehingga dia sering merintih terlalu keras, sehingga aku harus menyumpal mulutnya dengan telapak tanganku.

Sementara batang kejantananku maju - mundur terus di dalam liang memek Mama. Tanpa peduli bahwa liang yang sedang kuentot itu adalah liang yang melahirkan aku ke dunia.

O, betapa jahanamnya aku ini. Tapi kenapa aku merasakan keindahan yang luar biasa di balik kejahanaman ini?

Aku tahu bahwa Mama terkadang seperti mengalami kontradiksi dalam jiwanya ketika selesai kusetubuhi. Terkadang juga kulihat ada genangan air mata di kelopak matanya yang kearab - araban. Ya… aku seolah berhasil memuasi hasrat seks beliau. Tapi kenapa ada tetesan air mata? Apakah setelah beliau merasa puas, muncul penyesalan yang mendalam karena baru saja digauli oleh anak kandungnya?

Namun Mama seperti menindas perasaan menyesal itu dengan mengajakku bersetubuh lagi untuk kedua dan ketiga kalinya. Dan Mama seperti berhasil menindas perasaan sesal itu dengan kenikmatan kedua, ketiga dan seterusnya.

Begitulah. Meski aku hanya menginap semalam di kampung Mama, sedikitnya aku menyetubuhi Mama tiga kali.

Namun saat itu ada yang lain dari biasanya. Sebelum tidur, Mama berkata, “Kamu masih ingat Tante Aini, adik bungsu Mama?”

“Wah… ingat - ingat lupa Mam. Setahuku Mama punya adik banyak kan?” tanyaku.

“Iya. Adik mama ada delapan orang. Enam perempuan dan dua laki - laki. Tante Aini itu adik bungsu mama,” jawab Mama.

“Sebentar… adik - adik mama itu siapa saja namanya?” tanyaku, “Aku malah sudah gak ingat lagi.”
“Nama adik - adik mama itu yang perempuan bernama Dahma, Iqrah, Hibba, Rafna, Shaza dan yang bungsu Aini. Yang laki - laki bernama Bahrul dan Salam.”

“Namanya aneh - aneh ya Mam. Nama Mama sendiri Hafza kan?”
“Iya, semuanya kepakistan-pakistanan. Karena nenekmu orang Pakistan.”
“Oh… iya ya. Ibu Mama orang Pakistan ya.”
“Iya.”
“Terus ada apa dengan Tante Aini?”

“Dia itu jadi istri pengusaha minyak Arab yang kaya raya. Tapi dijadikan istri keempat. Walau pun begitu Tante Aini sangat dimanjakan oleh suaminya, karena dia itu istri termuda. Pokoknya di usia yang masih sangat muda, harta Tante Aini sudah berlimpah ruah. Dan dia sering nanyain kamu, ingin bertemu denganmu, karena ada sesuatu yang sangat penting, katanya.

“Yang penting apa ya?”

“Katanya sih ingin ngajak bisnis sama kamu. Mungkin ingin memutar uang yang berlimpah ruah itu. Mungkin dia ingin punya tangan kanan, orang yang bisa dipercaya.”

Mendengar kata “bisnis”, aku langsung tertarik. “Dia tinggal di mana Mam?” tanyaku.

“Dia sekota denganmu.”
“Kalau memang penting, kenapa gak datang ke rumah aja? Apalagi sekota denganku gitu.”

“Mama juga udah nyuruh temui kamu di rumah papamu. Tapi gak enak katanya. Karena mama sudah bukan istri papamu lagi. Tapi besok juga dia akan ke sini. Jangan pulang dulu sebelum Tante Aini datang ya.”

“Memangnya dia sudah janji mau datang besok?”

“Tadi waktu mama lihat lampu mobilmu muncul, sebelum membuka pintu depan mama ngirim WA dulu padanya. Bilang bahwa kamu sudah datang. Lalu dia balas bahwa besok akan datang ke sini katanya.”

“Iya Mam.”

Mama mengecup pipiku, lalu berkata, “Ya udah, kita bobo yuk.”

“Iya Mam,” sahutku sambil meletakkan tanganku di perut Mama. Perut yang pernah mengandung diriku. Lalu merayap ke bawah. Tapi ditepiskan oleh Mama.

“Jangan megang memek mama lagi dong. Nanti ujung - ujungnya mama bisa horny lagi.”
“Kalau horny lagi ya ngentot lagi aja.”

Mama memegang kontolku dan berkata, “Iiiih… kontolmu udah ngaceng lagi Chep?!”

“Iya Mam. Kalau berdekatan dengan Mama, spontan birahiku membara…” sahutku yang masih telanjang bulat, seperti Mama.

“Jujur, mama juga seperti itu Sayang. Ayo masukin lagi aja kontolmu,” kata Mama sambil menyingkirkan selimut yang tadi menyelimuti ketelanjangan kami berdua. Tanpa basa - basi lagi kubenamkan kontolku ke dalam liang memek Mama. Lalu mulai mengentot Mama lagi.

Mama pun meladeniku dengan lincah. Meremas - remas rambut dan bahuku. Pantatnya pun mulai bergoyang karawang lagi. Sehingga kontolku terombang - ambing dan terbesot - besot dengan serunya.

Ini adalah persetubuhan ronde keempat bagiku. Dengan sendirinya durasiku sangat lama. sampai jham dinding beredentang lima kali (pertanda sudah jam lima pagi), kontolku masih bergerak seperti pompa. Maju mundur maju mundur dan maju mundur terus di dalam liang memek Mama yang luar biasa enaknya ini.

Tubuh kami pun sudah bermandikan keringat lagi. Namun kami tak peduli.

Akhirnya kubenamkan kontolku sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi. Disusul dengan mengejut - ngejutnya kontolku yang tengah memuntahkan lendir kenikmatanku.

Croootttt… croooottttt… crooootttt… croooottttttttt… crotttttt… crooootttt…!

Lalu kami sama - sama terkapar. Dan tertidur dengan nyenyaknya. Tanpa peduli pada ketelanjangan kami lagi.

Jam duabelas siang aku masih tertidur, tapi dibangunkan Mama, “Sayang… bangun Sayaaang… Tante Aini sedang menuju ke sini… ayo mandi dulu… !”

Aku membuka mata. Menggeliat dan melihat ke jam dinding. Kaget juga setelah melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12.15 siang.

Aku pun turun dari bed dan langsung melangkah ke kamar mandi Mama, dalam keadaan masih telanjang bulat.

Setelah mandi, kukenakan celana pendek putih dengan baju kaus berwarna hitam. Kemudian aku melangkah ke ruang makan. Ada roti bakar isi daging dua tangkep yang masih hangat.

“Ini boleh kumakan Mam?” tanyaku pada Mama yang sudah mengenakan busana muslim berhijab serba hitam.

“Iya, itu kan sengaja mama bikin buatmu sebelum mama bangunkan tadi,” sahut Mama, “Minumnya apa? Kopi pahit seperti biasa?”

“Iya Mam. Yang kental ya Mam. Biar jangan ngantuk.”
“Iya Sayang,” sahut Mama sambil melangkah ke dapur.

Tak lama kemudian Mama sudah muncul lagi dengan secangkir kopi di tangannya. Kopi iktu diletakkan di atas meja makan. Lalu Mama mengecup pipiku sambil berbisik, “Mama nggak disetubuhi sebulan juga gak apa - apa. Tadi malam kenyang sekali. Sampai semalam suntuk.”

“Kalau aku kangen, pengen ngentot Mama gimana?”
“Ya datang aja ke sini. Memang kapan mama pernah nolak? Kecuali kalau Mama sedang haid.”
“Heheheee… santai aja Mam. Aku juga kenyang banget kok,” kataku.

Baru aja aku selesai makan kedua tangkep roti bakar isi daging itu, tiba - tiba terdengar bunyi mobil memasuki pekarangan rumah Mama yang sangat luas.

“Nah itu Tante Aini datang. Jemput ke depan gih,” kata Mama sambil masuk ke dalam kamarnya.

Sementara aku melangkah ke ruang depan dan membukakan piuntu depan. Sebuah sedan sport merah sudah terparkir di bawah pohon kersen.

Anjrit… aku punya sedan mahal pemberian Mama. Tapi sedan sport itu jauh lebih mahal. Aku pernah iseng menanyakan harga sedan sport yang sejenis di showroom yang menjual mobil - mobil second. Harganya 16 milyar! Itu harga second. Apalagi harga barunya…!

Seorang wanita muda berpakaian muslimah serba coklat tua dan coklat muda turun dari sedang sport yang membuatku ngiler itu.

Aku pun spontan menghampirinya dan memuji di dalam hatiku, bahwa wanita muda yang adik bungsu Mama itu sangat cantik…!

“Tante Aini?” tanyaku sopan.

Ia menatapku dengan sepasang mata beningnya. “Iya. Kamu Chepi?!” tanyanya.

“Iya Tante,” sahutku sambil mencium tangan kanannya.

Wanita muda berhijab yang kutaksir baru 22-23 tahunan mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya yang hyalus dan hangat. “Chepi… setelah gede kamu kok jadi tampan sekali sih?” cetusnya yang disusul dengan ciumannya di sepasang pipiku. Harum parfum mahal pun tersiar ke penciumanku.

“Tante juga cantik sekali, laksana putri raja Arab.”

“Masa?! Jangan bawa - bawa Arab ah. Kita ini punya campuran darah Pakistan. Bukan Arab. Mmm… aku sudah sering nanyain kamu sama mama. Baru sekarang bisa berjumpa ya?”

“Iya Tante. Mari masuk.”

Tante Aini yang jelita itu mengangguk, lalu melangkah di sampingku, masuk ke dalam rumah Mama.

Mama baru keluar dari kamarnya. Kelihatan sudah bermake up sedikit, rambutnya pun tidak acak - acakan seperti tadi.

Mama berpelukan dan cipika - cipiki dengan Tante Aini. Kemudian kami duduk di ruang tamu yang sudah direnovasi oleh Mama, agar tidak terlalu ketinggalan zaman.

Setelah ngobrol singkat tentang masalah keluarga, Tante Aini berkata, “Sekarang kita bicara masalah bisnis ya.”

“Siap Tante.”

Mama langsung berdiri dan berkata, “Silakan aja bahas masalah bisnisnya. Aku mau ke dapur dulu ya.”

“Iya Kak,” sahut Tante Aini sambil tersenyum.

Setelah Mama meninggalkan ruang tamu, Tante Aini berkata padaku. Bahwa pada dasarnya ia membutuhkan orang yang bisa dipercaya untuk mengurus usahanya. Kemudian dia berkata bahwa di kota kami ada rumah yang bisa dijadikan kantor sekalian tempat tinggalku. Tapi urusan yang mendesak adalah, dia ingin agar namaku dipakai untuk perusahaannya yang akan membeli tiga buah kapal tanker dalam keadaan rusak.

“Aku tidak ingin suamiku tau bahwa ketiga kapal tanker itu dibeli olehku. Karena penjualnya teman - teman suamiku sendiri. Sedangkan suamiku takkan mengira aku punya uang sebanyak itu,” kata Tante Aini di tengah penuturannya.

“Lalu kapal - kapal tanker yang sudah pada rusak itu mau dijual sebagai besi tua Tan?”

“Hush bukan! Kalau sekadar mau dijadikan besi tua sih gampang banget. Baik di Jakarta mau pun di Surabaya ada haji Madura yang sudah pada jadi trilyuner sebagai buyer besi tua. Tinggal tawarin ke mereka saja, bisa langsung dibeli.”

“Terus mau diapain nantinya?”

“Begini,” kata Tante Aini, “ketiga kapal tanker itu memang mau dijual murah sekali. Bahkan lebih murah daripada kalau dijadikan besi tua. Maklum orang - orang Arab kan gak mau pusing. Punya mobil rusak di jalan aja bisa mereka tinggalkan begitu saja di pinggir jalan, tanpa diperbaiki. Ketiga kapal tanker itu pun begitu.

“Lalu peranku sebagai apa nanti Tante?”
“Kamu harus berperan sebagai pihak pembeli. Tentu saja duitnya dari aku nanti.”
“Supaya tidak ketahuan oleh suami Tante bahwa sebenarnya ketiga kapal tanker itu dibeli oleh Tante?”
“Betul Sayang. Aku mau percayakan semuanya padamu. Tapi tentu nanti akan kukasihtau ini itunya.”
“Jadi aku hanya sebagai wayang ya Tante.”

“Sebagai tangan kananku. Bukan sebagai wayang. Kan pada waktu negosiasi nanti, aku takkan ikut campur. Kamu bisa jalan sendiri kan?”

“Pemilik kapal - kapal itu orang Arab?”
“Iya. Kapalnya ada tiga, berarti tiga orang Arabnya.”
“Aku gak bisa bahasa Arab Tante.”

“Kan dia selalu membawa orang Indonesia yang bisa berbahasa Arab. Jadi ucapan kita dalam bahasa Indonesia akan diterjemahkan oleh interpreter itu.”

Aku merasa sedang diperhatikan oleh Tante Aini, tapi aku pura - pura tidak menyadarinya saja. Mungkin dia sedang memperhatikan sikapku, apakah aku ini jujur dan cerdas atau tidak.

“Bagaimana?” tanyanya.

“Siap Tante. Aku akan mencobanya semampuku. Tapi mungkin aku butuh teman, agar aku tidak terlalu sendirian.”

“Boleh. Karena nanti urusan kita bukan cuma kapal - kapal tanker itu. Masih banyak yang bisa kita kerjakan nanti. Yang penting Chepi harus jujur, ulet dan sabar.”

“Siap Tante.”
“Sekarang kuliahnya sudah semester berapa?”
“Baru semester tiga Tante.”
“Ntar dulu… waktu kamu lahir, umurku baru lima tahunan. Berarti sekarang baru delapanbelas tahunan ya.”

“Betul Tante,” sahutku sambil berkata dalam hati - Berarti tepat dugaanku, usianya 23 tahun -.

“Delapanbelas tahun sudah semester tiga. Termasuk cepat juga.”

“Aku lulus SMA pada usia menjelang tujuhbelas tahun. Sekarang semester tiga pun baru dijalani sebulan.”

“Begitu ya. Sudah punya cewek?”
“Belum Tante. Mau konsen kuliah dulu.”

“Itu bagus. Cowok setampan kamu, cewek sih gampang dapetinnya nanti, setelah jadi sarjana.”

“Hehehee iya Tante,” sahutku yang merasa malu sendiri. Karena sebenarnya aku sudah punya pengalaman banyak dalam masalah perempuan.

Tante Aini seperti mau ngomong lagi. Tapi keburu datang Mama yang berkata, “Ayo Aini… kita makan dulu seadanya.”

“Aduuuh… Kak Hafza suka repot terus kalau aku datang ke sini ya.”
“Walaaah… repot apa cuma nyediain makan adik kesayanganku… ayo Chepi temenin tantemu makan tuh…”

Aku pun bangkit berdiri dan mengikuti langkah Tante Aini menuju ruang makan.

Aneh memang. Perempuan berhijab selalu mendatangkan pesona tersendiri bagiku. Pesona sekaligus rasa penasaran yang jahanam. Karena aku sering membayangkan seperti apa perempuan berhijab itu kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?

Pada waktu kami bertiga makan bersama, Tante Aini curhat kepada Mama. Bahwa sebagai istri keempat ia sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan ketiga istri lainnya. Ketinggalan dalam soal harta yang dimilikinya. Karena itu ia sedang mengumpulkan harta agar bisa mengejar ketertinggalannya. Dia sering minta uang dalam jumlah banyak kepada suaminya yang sudah berusia 65 tahun itu.

“Aku gak mau menunggu suamiku wafat Kak,” ucapnya waktu curhat kepada Mama sambil makan siang bersama itu. “Karena itu aku akan berusaha mnengejar ketinggalan itu dengan berusaha sendiri. Maka aku akan minta bantuan Chepi untuk mengurus usaha - usahaku. Dan semuanya itu akan diatur dari sebuah rumah yang sekarang masih kosong.

“Silakan aja manfaat tenaga dan pikiran Chepi, Dek. Sekalian aku titip Chepi ya. Tolong ikut pikirkan masa depannya nanti,” sahut Mama, “Karena dia satu - satunya anakku.”

“Iya, iyaaa… tentu saja Chepi harus banyak kemajuannya setelah aktif bersamaku nanti Kak.”

Setelah makan siang selesai, kami melanjutkan obrolan di ruang tamu lagi. Kemudian aku diajak oleh Tante Aini untuk melihat rumah yang katanya masih kosong itu.

Maka aku pun pamitan kepada Mama untuk langsung pulang.

Lalu aku dan Tante Aini menuju rumah yang terletak di kotaku juga itu, dalam mobil masing - masing.

Di belakang setir pikiranku belum fokus ke arah bisnis yang akan ditekuni olehku bersama Tante Aini. Aku malah membayangkan seperti apa tubuh Tante Aini itu kalau sudah ditelanjangi nanti. Dan… diam - diam kontolku ngaceng ketika aku masih mengikuti mobil Tante Aini menuju rumah yang belum pernah kulihat itu.

Tapi… aku harus menepiskan pikiran jahanam itu. Lebih baik aku memusatkan pikiranku kepada bisnis bersama Tante Aini nanti. Soal perempuan sih sudah cukup banyak yang bisa kujadikan pelampiasan nafsuku.

Tertegun aku setelah tiba di depan rumah besar dan megah itu. Begitu megahnya rumah yang kata Tante Aini akan dijadikan kantor sekaligus tempat tinggalku ini. Lalu aku dibawa masuk ke dalam.

Ternyata rumah yang katanya kosong itu sudah lengkap segalanya. Sepintas pun kulihat perlengkapan rumah ini serba mahal.

Di bagian belakangnya ada taman dan kolam renangnya segala. Kolam ikan hias pun ada, tapi masih kering. Kata Tante Aini, kalau aku sudah tinggal di rumah megah ini, silakan kolamnya diisi dengan ikan hias. Mungkin ikan koi cocok untuk dipelihara di kolam yang ditata secara artistik itu.

Ketika aku duduk di bangku kayu jati depan taman, Tante Aini duduk merapat di samping kiriku. “Rumah ini kubangun secara diam - diam tanpa sepengetahuan suamiku. Tadinya akan kupakai untuk istirahat kalau suamiku tidak sedang bersamaku.”

“Kata Tante, istrinya yang tinggal di Indonesia hanya Tante sendiri. Yang lainnya di timur tengah semua. Lalu bagaimana cara menggilirnya?” tanyaku.

“Aku kebagian seminggu dalam sebulan.” sahut Tante Aini.
“Jauh sekali jarak antara negaranya dengan Indonesia ya.”
“Iya. Tapi dia kan punya pesawat jet pribadi. Kapan pun bisa terbang ke mana saja.”

“Owh… iya ya. Sekarang artis Indonesia aja udah ada yang punya pesawat pribadi. Apalagi pengusaha minyak dari Arab.”

“Bagaimana? Kira - kira kamu nyaman tinggal di sini?”
“Nyaman Tante. Sangat nyaman.”
“Mmm… begini Chep… sebenarnya ada dua point yang membutuhkan dirimu. Pertama soal bisnis itu. Dan kedua… hihihi… malu mengatakannya…”

“Masalah apa Tante? Kok pakai malu segala?”

“Ketiga istri suamiku sudah punya anak semua. Tinggal aku yang belum. Jadi… ada tugas rahasia buatmu Chep. Kamu mau menghamiliku?” tanya Tante Aini sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

“Serius Tante?” tanyaku ragu.

“Masa aku main - main dalam soal sepenting itu. Kamu mau kan menggauliku secara teratur pada saat suamiku sedang menggilir ketiga istrinya?”

“Sekarang Tante?”
“Sekarang sih jangan.”

“Kenapa? Aku sudah bersemangat nih Tante,” ucapku pede, karena kontolku pasti bisa ngaceng keras jika harus menyetubuhi Tante Aini.

“Sekarang aku sedang haid. Minggu depan aja kita ketemuan di sini ya. Sekarang kan hari Sabtu, jadi kita ketemuan hari Sabtu yang akan datang. Gimana?”

Aku menunduk sambil berkata, “Iya Tante.”

“Kok kelihatannya kayak yang sedih?” tanya Tante Aini sambil mengusap - usap rambutku.

“Nggak Tante. Tadi aku telanjur bersemangat. Tapi kalau Tante sedang ada halangan gak apa - apa. Biar kupendam aja dulu hasrat dan gairah ini.”

“Karena aku sedang menstruasi, kamu boleh menyelusuri tubuhku dari perut ke atas. Tapi dari perut ke bawah, gak boleh disentuh ya,” kata Tante Aini sambil membuka kancing baju jubahnya yang berada di depan, satu persatu.

Aku cuma mengangguk sambil tersenyum.

Lalu, dengan baju jubah yang sudah terbelah dua di bagian depannya, Tante Aini melingkarkan lengannya di leherku, disertai ucapan setengah berbisik, “Kamu memang tampan sekali Chep. Makanya aku mau melupakan bahwa kamu ini keponakanku.”

Sebagai jawaban, aku pun menyelinapkan tanganku dalam belahan baju jubah berwarna coklat tua itu, lalu mendekap pinggangnya yang hangat, tanpa terhalang apa pun lagi. “Tante juga cantik sekali. Sejak turun dari mobil di depan rumah Mama tadi, aku terkagum - kagum menyaksikan tanteku yang cantik rupawan begini…

Ucapanku terputus karena Tante Aini memagut bibirku ke dalam ciuman hangatnya, yang kusambut dengan lumatan penuh nafsu.

Nafsuku laksana api yang tak terpadamkan ketika saling lumat bi8bir dengan tanteku yang muda dan cantik itu. Terlebih setelah tanganku diijinkan merayapi payudaranya, yang ternyata masih sangat kencang… oooh… jelas ini membuat kontolku semakin ngaceng dan sulit mengendalikannya lagi.

Bukan cuma itu, aku pun sampai tidak menyadari bahwa tangan Tante Aini tahu - tahu sudah menggenggam kontolku yang sudah sangat tegang ini.

“Wow… kontolmu international size Chepi…” bisik Tante Aini yang pentil toketnya sedang kumainkan.

“Pasti gedean kontol Arab lah,” sahutku tersipu, karena rahasiaku sudah terbongkar. Bahwa kontolku sudah ngaceng berat.

“Gak ah. Sama punya suamiku masih gedean dan panjangan punya kamu Chep.”
“Masa sih? Kata orang kontol arab gede - gede Tante.”

“Mythos itu sih. Yang luar biasa gede sih kontol negro zaman sekarang mah. Kontol arab sih sama aja sama bangsa kita.”

Aku tidak menyahut, karena sedang asyik mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya yang ternyata masih sangat kencang.

Perawakan Tante Aini berbeda dengan peraWAKAN Mama. Kalau tubuh Mama Tinggi montgok dengan bokong dan sepasang toket gede, tubuh Tante Aini ini proporsional. Tinggi langsing tapi tidak kurus. Kulitnya pun tidak seputih kulit Mama, agak gelap warnanya. Dan wajah Tante Aini itu bukan hanya cantik, tapi sama sekali tidak mirip wajah wanita Indonesia.

“Mau lihat aku telanjang?” tanya Tante Aini tiba - tiba.
“Mau… tapi Tante kan lagi haid?”
“Lihat aja boleh, asal jangan disentuh.”

Tante Aini melepaskan baju jubahnyha, sehingga tinggal beha dan celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Yang unik adalah bentuk beha dan celana dalamnya itu

(Lihat gambar). Celana dalam dan behanya terbuat dari bahan yang sama, berwarna biru dengan polka dot putih. Behanya berbentuk icon love, dengan ujung lancipnya berada di dekat pusar perutnya. Uniknya lagi, beha dan celana dalamnya itu seperti menyatu lewat tali dari bahan yang sama.

Kemudian Tante Aini menarik kursi yang lalu didudukinya, sambil melepaskan celana dalamnya. Kemudian dia duduk mengangkang sambil memamerkan memeknya yang plontos, tiada jembut sama sekali. Bahkan memeknya sampai mengkilap saking bersihnya. Mungkin dia menggunakan wax untuk membersihkan jembutnya.

“Kamu ingin memasukkan kontolmu ke sini kan?” tanya Tante Aini sambil menepuk - nepuk memeknya dengan senyum menggoda di bibirnya.

“Iya Tante,” Sahutku, “Tapi Tante kan lagi haid?”

“Hihihihiii… aku gak sedang haid. Bahkan sekarang ini sedang dalam masa subur. Aku hanya ingin menguji ketabahanmu aja.”

“Ohya?! Hahahaa… Tante pintar juga mempermainkanku,” ucapku sambil melangkah maju, mendekati kursi yang sedang dipakai duduk mengangkang oleh tanteku itu.

“Aku ingin mengujimu saja. Bukan mempermainkanmu.”

Aku cuma tersenyum, dengan pandangan terpusat ke arah memek Tante Aini. Lalu aku duduk di lantai, menghadap ke memek Tante Aini yang sedang duduk mengangkang itu.

“Kenapa kamu duduk di lantai begitu?” tanya Tante Aini.
“Pengen jilatin memek Tante,” sahutku.
“Owh… ya udah… jilatin deh sepuasmu…” ucap Tante Aini sambil mmengusap - usap pahanya sendiri.

Tanpa basa basi lagi kuciumi memek tanteku yang cantik dan baru berusia 23 tahun itu.

“Memekku belum pernah dijilatin Chep…”
“Memangnya suamik Tante gak pernah menjilatinya?”
“Boro - boro jilatin. megang aja belum pernah.”
“Lalu kalau bersetubuh gimana?”

“Kontolnya harus kupegangi. Kuarahkan sendiri. Setelah arahnya tepat, kusuruh dia mendorong kontolnya. Begitu selalu kebiasaannya.”

Aku tak menyahut lagi, karena mulai asyik menjilati memek Tante Aini yang menyiarkan harum parfum mahal ini. Mungkin parfumnya cuma disemprotkan ke selangkangannya, lalu harumnya semerbak ke sana -p sini.

Tante Aini pun mengusap - usap rambutku sambil merintih dan mendesah, “Aaaaaah… aaaaaahhhhh… aaaaaaaah… ternyata enak dijilatin begini ya Chep… enak sekali…” ucap Tante Aini sambil mengusap - usap rambutku.

Terlebih lagi ketika aku mulai lahap menjilati kelentitnya, Tante Aini menggeliat - geliat sambil merintih - rintih… “Ooooh… Chepppiii… apa itu yang kamu jilatin? Itil ya? Ooooh… ini lebih enak lagik Cheeep… jilatin terus itilku Cheeepppiiii… ooooh… jilatin terusssss…”

Bahkan pada suatu saat Tante Ainik berdesis, “Ssssssshhhh… ssssshhhhh… masukin aja kontolmu Cheeep… memekku sudah basah sekali nih…”

Aku pun berdiri sambil melepaskan celana jeans dan celana dalamku. Bahkan baju kausku pun ditanggalkan. Kemudian dengan agak membungkuk kuletakkan molncong kontolku di ambang mulut memek Tante Aini.

Dan… bleeessssss… kontolku mulai melesak ke dalam liang memek tanteku.

“Dudududuuuuuh… terasa benar gedenya kontolmu Cheeep… gak nyangka keponakanku yang tampan ini kontolnya luar biasa…” ucap Tante Aini sambil menarik kedua lipatan lututnya sehingtga kedua lututnya berada di samping sepasang toketnya. Sehingga aku bisa mendorong lagi kontolku sampai mentok di dasar liang memek Tante Aini.

Sedetik kemudian aku pun sudah mulai mengentot liang memek tanteku yang jelita dan masih sangat muda itu. Ternyata liang memek Tante Aini luar biasa legitnya. Kontolku serasa disedot - sedot oleh liang memeknya, saking legitnya.

Tante Aini pun mulai merintih - rintih histeris.

Namun pada suatu saat ia berkata terengah, “Pindah aja ke dalam kamar Chep. Biar lebih sempurna eweannya.”

Kuikuti saja keinginan Tante Aini itu. Tapi aku enggan melepaskan kontolku dari dalam liang memeknya. Karena itu kuangkat tubuhnya sedemikian rupa, sehingga kontolku tetap berada di dalam liang memek tanteku.

Tante Aini memeluk leherku, sementara sepasang toketnya menempel di dadaku. Dan aku menahannya dengan memegang bokong tanteku, sementara kontolku tetap berada di dalam liang memek Tante Aini.

Kubawa Tante Aini menuju kamar yang pintunya terbuka dan ditunjuk oleh Tante Aini.

Setelah berada di dalam kamar itu, aku masih bisa menggunakan kakiku untguk menutupkan pintu itu, kemudian membawa Tante Aini ke atas bed dengan hati - hati, agar kontolku jangan sampai tercabut dari liang memek super legitnya.

Sesaat kemudian aku telah mengayun kembali batang kemaluanku, sambil mencium dan melumat bibir Tante Aini.

DI saat lain aku pun bisa meremas toketnya sambil menjilati lehernya yang mulai keringatan, disertai denbgan gigitan - gigitan kecil.

Semakin merintih - rintih juga Tante Aini dibuatnya. “Entot terus Cheeeep… kontolmu luar biasa enaknya Cheeeep… entoooot teruuuuusssssssss… iyaaaaa… iyaaaaa… enak sekali Cheeep… enaaaaaaak…”

Aku pun menanggapinya dengan bisikan, “Memek Tante juga luar biasa legitnya… uuuuughhhh… uuuughhhh…”

Tante Aini memang sangat berbeda dengan Mama. Tubuhnya proporsional segalanya. Toketnya berukuran sedang - sedang saja, gede tidak kecil pun tidak. Bokongnya pun tidak gede - gede amat, tapi indah sekali bentuknya.

Dan yang paling menonjol pada dirinya, adalah rasa liang memeknya itu. Legit sekali, lebih legit daripada dodol Garut.

Pada waktu kontolku menggedor - gedor liang vagina legitnya, Tante Aini tiada hentinya merintih dan berdesah, dengan mata merem melek pula. “Cheeepiiii… aaaaaaah… Cheeeepiiii… ini luar biasa rasanya… baru sekali ini aku merasakan digauli yang senikmat ini Cheeeep… aku semakin sayang padamu Cheeeepppiii…

Tadi sebelum meninggalkan rumah Mama, aku yakin bahwa semuanya ini takkan terjadi. Mengingat tadi malam aku sudah habis - habisan menggauli Mama. Sampai empat ronde! Karena itu aku kurang pede pada awalnya. Tapi setelah berdekatan dengan Tante Aini, senjata pusakaku ngaceng terus, karena mnenemukan “pemandangan” baru.

Bahkan kini, ketika aku sedang asyik mengentot Tante Aini ini, aku laksana kebalikan plesetan lagu Jawa… suwe ora ngono, ngono ora suwe… lama tidak begituan, begituan tidak lama. Sementara aku baru saja tadi malam bertarung dengan Mama sampai empat ronde. Maka kini durasi ngentotku jadi lama…

Tante Aini klepek - klepek terus. Orgasme dan orgasme lagi entah sudah berapa kali.

Steleh lebih dari sejam aku menyetubuhi tanteku, akhirnya aku pun tiba di detik - detik krusialku, dengan keringat yang sudah membanjir, bercampur aduk dengan keringat Tante Aini.

“Lepasin di dalam Tante?”
“Iyalah. Aku kan pengen hamil olehmu,” sahut Tante Aini sambil mendekap pinggangku dengan eratnya.

Maka kupacu ayunan kontolku secepat mungkin, agar jangan mundur lagi ejakulasinya. Karena aku sudah merasa letih sekali…

Akhirnya kutancapokan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai menabrak dasar liang memek Tante Aini. Tidak kugerakkan lagi. Dan… kontolku mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crooootttt… croottt… croooottttt… crooottt… croooooooottttttt… crotttt… crooootttttttt…!

Tante Aini menciumi bibirku disusul dengan bisikan, “Terimakasih ya Chepi sayaaang… gak nyangka kamu akan segagah ini menggauliku.”

“Memek Tante luar biasa legitnya,” sahutku setelah mencabut kontolku dari memek Tante Aini, “Aku bakal ketagihan nanti.”

“Sama, aku juga bakal ketagihan. Tapi kamu kelihatannya udah banyak pengalaman dengan perempuan ya?”

Pengalaman sih ada, tapi hanya dengan satu orang wanita yang usianya jauh lebih tua daripada Tante,” jawabku berbohong. Kalau dia mendesakku, akan kusebut saja seorang pembantu sambil membayangkan Bi Caca.

“Seneng sama tante - tante ya, “Tante Aini mencubit perutku.
“Hehehee… sekarang kan sedang bersama seorang tante.”
“Itu kan sebutan menurut sirsilah keluarga kita. Padahal aku belum pantes disebut tante kan?”
“Memang belum. Tante masih sangat muda, cantik dan… heheheee…”
“Dan apa?”

“Enak sekali itunya,” sahutku sambil menunjuk memek Tante Aini yang sedang diseka dengan kertas tissue basah.

“Syukurlah kalau kamu merasa enak sih. Dan yang penting, aku ingin dihamili oleh ini,” ucap Tante Aini sambil menggenggam kontolku yang sudah lemah lunglai, “Kalau aku sampai hamil… aku akan sangat memanjakanku nanti.”

“Siap Tante.”

Kemudian Tante Aini bersih - bersih di dalam kamar mandi dan mengenakan pakaian lengkap kembali. Aku pun mencuci batang kemaluanku di kamar mandi dan mengenakan pakaian lengkap lagi.

Lalu kami keluar dari kamar. Dan duduk di pinggir taman lagi.

Di situlah Tante Aini membahas masalah bisnis secara keseluruhan. Antara lain juga membahas masalah pavilyun rumah itu yang akan dijadikan kantor dan memang sudah ditata secara layak untuk dijadikan kantor.

Sebelum berpisah, Tante Aini mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat. Diserahkannya amplop sebesar map itu padaku sambil berkata, “Ini uang untuk biaya operasionalmu setelah aktif nanti. Carilah sekretaris dan tangan kananmu. Pilihlah orang - orang yang kamu anggap tepat dan bisa dipercaya.

“Siap Tante,” ucapku sambil membuka amplop sebesar map itu.

Wow… ternyata isinya 10 ikat uang dollar pecahan US $100. Berarti jumlah uang itu US $ 100.000. Dan kalau dirupiahkan lebih dari 1 milyar…!

Tapi aku tak mau kelihatan kaget. Takut dianggap katro oleh Tante Aini.

“Cari juga pembokat untuk bersih - bersih rumah dan masak untukmu. Kalau bisa nyari pembantu harus nyari sendiri ke pedesaan. Kalau asal - asalan ngambil dari yayasan, sering mengecewakan, karena baru dua - tiga hariu ada yang minta pulang dan sebagainya. Rekrut juga empat atau lima orang satgpam untuk bergiliran menjaga rumah ini.

“Siap Tante.”

“Ohya, kalau ada kekurangan uang, WA aja ke nomor hapeku. Nanti langsung kutransfer ke rekening tabunganmu.”

“Iya Tante.”

Sebelum berpisah Tante Aini mencium bibirku dengan mesranya. Lalu mengusap - usap rambutku sambil berkata, “Aku sayang sekali padamu Chep.”

“Sama Tante. Aku juga begitu.”

“Ohya… sebelum ada pembantu, kalau mau ninggalkan rumah ini kunci - kunci dulu semua pintunya ya Sayang.”

“Siap Tante,” sahutku dengan sikap hormat. Karena Tante Aini bukan sekadar tanteku, melainkan juga sudah terasa sebagai bossku.

Sebelum masuk ke dalam sedan sportnya, Tante Aini sempat berkata, “Nanti kalau aku sudah hamil dan melahirkan anak kita, aku akan memberikan sesuatu untukmu.”

Terawanganku buyar ketika lututku ditepuk oleh Mama Aleta, “Hai… kok malah ngelamun? Ingat sama Shanti ya?”

“Nggak Mam. Aku cuma agak kaget setelah ingat bahwa siang ini aku ada janji dengan temanku.”

“Lho… janji itu harus ditepati. Kalau tidak bisa memenuhi janji itu, sedikitnya harus memberi kabar,” kata Mama Aleta.

“Mama gak apa - apa kan kalau kutinggalkan sekarang ini?”
“Gak apa - apa. Asalkan pulangnya jangan terlalu malam,” sahut Mama Aleta.

Sebenarnya ada sesuatu yang memaksaku untuk meninggalkan rumah Bu Shanti siang ini. Tadi pagi ada telepon dari Papa, menyuruhku menyelidiki Mbak Nindie, kakak seayah beda ibu itu. Kata Papa, “Dia pulang sendiri ke rumah peninggalan ibunya, tanpa suaminya. Tadi dia nelepon papa, dengan suara seperti sedang menangis.

Itulah sebabnya aku meninggalkan rumah Bu Shanti, menuju rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie.. Di antara ketiga anak Papa, hanya aku yang masih punya ibu kandung. Ibu kandung Mbak Susie dan Mbak Nindie sudah meninggal.

Ya, Mbak Susie dan Mbak Nindie itu lahir dari satu ibu. Hanya aku yang lahir dari ibu lain. Dengan kata lain, Mbak Susie dan Mbak Nindie itu dahulunya anak tiri Mama.

Berbeda dengan darah yang mengalir di tubuhku, ibunya Mbak Susie dan Mbak Nindie itu asli Jawa. Sehingga aku memanggil mereka dengan sebutan “mbak”. Sementara dari keluarga Mama sama sekali tidak ada yang menggunakan sebutan mbak.

Rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie kecil, tapi tanahnya lumayan luas. Terletak di pinggir jalan besar pula. Sehingga aku bisa memasukkan mobilku ke pekarangan rumahnya. Ketika aku turun dari mobil, kulihat Mbak Nindie muncul dan menghampiriku. Kakakku yang berperawakan chubby itu tampak kelopak matanya bengkak.

“Chepi?! Kirain Papa…” ucap Mbak Nindie sambil memelukku. Lalu kami cipika - cipiki.
“Papa kan lagi di Medan Mbak. Nanti kalau sudah pulang pasti ke sini.”
“Kata Papa, Mamie lagi hamil ya?”

“Iya,” jawabku agak kaget. Karena menanyakan sesuatu yang merupakan buah dari perbuatanku dengan Mamie.

“Kita bakal punya adek dong ya,” ucap Mbak Nindie sambil menuntunku ke dalam rumahnya.

“Iya,” sahutku mengambang. Masalahnya, batinku berkata bahwa yang di dalam perut Mamie itu calon anakku. Bukan calon adikku.

Di dalam rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie itu kelihatan serba sederhana. Di ruang tamu hanya ada sebuah dipan jati ditutup dengan sehelai tikar. Tidak ada sofa, tidak ada apa - apa. Di atas dipan bertilamkan tikar itulah kami duduk.

“Mas Purwo gak ikut pulang Mbak?” tanyaku menanyakan suami Mbak Nindie.
“Aku sudah cerai dengan dia Chep,” sahut Mbak Nindie sambil memegang pergelangan tanganku.
“Cerai? Kenapa? Apa dia main gila dengan perempuan di Ternate?”

“Selentingan yang kudengar sih memang begitu. Tapi yang bikin aku gak tahan, dia sering KDRT. Sedikit - sedikit nempeleng, nonjok dan sebagainya. Makanya aku minta cerai aja.”

“O, begitu ya. Terus anak Mbak dikemanain?”
“Tinggalin aja sama dia. Biar dia urus. Aku kan gak punya penghasilan.”
“Anak Mbak kan baru satu yang namanya Pipit itu kan?”
“Iya. Aku gak mau nambah lagi. Soalnya Mas Purwo itu, aku sedang hamil aja bisa nempeleng dan nendang segala.”

“Wah, lelaki semacam itu sih memang harus ditinggalin Mbak.”

“Iya… hiks… cuma aku inget sama Pipit terus… hiks… “Mbak Nindie memelukku sambil menangis terisak - isak.

Dan… inilah watakku. Ketika Mbak Nindie memelukku ini, pikiranku malah melayang ke satu arah… arah jahanam.

Bahkan aku masih ingat benar, dahulu waktu aku m asih kecil, aku sering ngintip Mbak Nindie mandi…! Dan aku selalu saja merasa terangsang melihat toket gedenya… juga bokong gedenya…!

Tapi aku berusaha menahan diri. Dan bertanya, “Terus, untuk kebutuhan hidup sehari - hari Mbak dari mana?”

“Belum tau. Mungkin mau nyari kerja aja.”
“Kerja jadi sekretarisku mau?”
“Sekretarismu? Memangnya kedudukanmu sebagai apa sekarang ini?”

“Begini aja. Supaya Mbak jangan nganggap maen - maen, sekarang ganti baju deh. Ikut sama aku ke tempat Mbak akan kukerjakan dengan gaji pantas nanti.”

“Serius Chep?”
“Seriuslah. Masa aku mempermainkan Mbak yang sedang dalam suasana murung gitu.”
“Sekarang perginya?”
“Tahun depan!” sahutku, “Ya sekaranglah. Mumpung aku gak lagi sibuk.”

Mbak Nindie ketawa cekikikan. Lalu masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkanku sendirian di atas dipan keras ini.

Dan… aku mengikuti langkah Mbak Nindie dengan mengendap - endap.

Kebetulan pintu kamar Mbak Nindie hanya ditarik sedikit, tidak sampai tertutup rapat.

Pasti aku akan menyaksikan kakakku yang akan ganti pakaian.

Di dekat pintu kamar Mbak Nindie, kucopot sepatuku, supaya bisa melangkah tanpa bunyi. Lalu aku melongok ke dalam kamar yang pintunya terbuka setengahnya. Maaak… Mbak Nindie sudah melepaskan dasternya dan tinggal mengenakan celana dalam, sementara toket gedenya (yang sejak dahulu mengalirkan air liurku) terbuka penuh.

Kebetulan Mbak Nindie sedang membelakangi pintu, sehingga aku bisa mnelangkah masuk tanpa menimbulkan bunyi.

Aku melangkah mengendap - endap ketika Mbak Nindie sedang memilih pakaian dari dalam lemarinya. Dan setelah aku berada tepat di belakangnya, langsung kujulurkan tanganku untuk menangkap sepasang toketrnya, “Ini dia yang kukhayalkan sejak kecil dahulu …” ucapku sambil mengcakup sepasang toket gewdenya dengan kedua tanganku.

“Chepi…! “seru Mbak Nindie, “Kamu bikin kaget aja iiih…”

Tapi Mbak Nindie tidak meronta sedikit pun. “Mas Purwo memang bodoh. Masa wanita seseksi Mbak ini disia - siakan…”

Mbak Nindie menyahut, “Kamu kan adikku. Jelas aja harus ngebelain kakak. Tapi Mas Purwo yang sedang gila cewek lain, malah semakin garang sikapnya padaku.”

Aku mulai memainkan kedua pentil toket Mbak Nindie meski masih berdiri di belakangnya. Sehingga Mbak Nindie menepiskan kedua tanganku, “Udah ah… nanti kebablasan… kalau aku jadi horny gimana?”

“Sejak kecil aku suka sama toket Mbak. Tapi baru sekarang aku bisa memegangnya,” kataku.
“Tapi kalau kelamaan megangnya, lama - lama kamu bisa nafsu lho.”
“Sekarang juga aku sudah nafsu Mbak.”
“Nah tuh kan? Gak boleh begitu. Aku kan kakakmu.”

Aku malah mendekap pinggang kakakku dari belakang, “Mbak kan sedang kesepian. Apa salahnya kalau kita saling berbagi rasa, mumpung Mbak belum kawin lagi.”

“Tuh kan makin ngaco kamu. Udah tungguin di depan gih. Biar aku bisa dandan dengan tenang,” kata Mbak Nindie.

Kutepuk dulu pantat Mbak Nindie yang gede, lalu poergi ke depan. Duduk di atas dipan lagi sambil mengenakan kembali sepatuku.

Agak lama aku menunggu di atas dipan ruang depan itu.

Namun akhirnya Mbak Nindie muncul juga sambil bertanya, “Mau langsung berangkat sekarang?”

“Iya…” sahutku sambil memandang kakak berbeda ibu yang sudah mengenakan celana jeans dan jaket hitam itu. Entah apa yang dikenakannya di balik jaket itu. Namun yang jelas, dalam pakaian sesimple itu pun Mbak Nindie tetap kelihatan sexy di mataku. Terlebih lagi melihat bibirnya yang sudah dipolesi lipstick tipis itu…

“Kok malah bengong gitu?” tanya Mbak Nindie sambil menepuk bahuku.

“Mbak memang sangat menarik di mataku…” sahutku yang kususul dengan kecupan hangat di pipinya, “emwuaaaah… !”

Mbak Nindie menatapku sambil tersenyum manis dan berkata setengah berbisik, “Kita ini bersaudara Sayang…”

Sesaat kemudian Mbak Nindie sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan hitam yang sudah kuluncurkan di atas jalan aspal.

“Mobil ini sebenarnya punya siapa Chep?” tanyanya.
“Punyaku.”
“Haaa?! Kirain punya Mamie… kan Mamie yang punya mobil seperti ini… tapi warnanya berbeda ya?”

“Kebetulan aja typenya sama cuma beda warna dan tahun dikeluarkannya. Mobil ini lebih muda setahun daripada mobil Mamie.”

“Owh… dikasih sama Papa?”
“Hadiah dari Mama. Kan aku sudah diijinkan mengunjungi rumah Mama.”
“Wah… kamu sih enak, punya mama kaya. Nggak seperti aku… serba kekurangan.”
“Kalau rumahnya dijual kan bisa dibelikan mobil.”
“Terus aku tidur di kolong jembatan?”

“Hahahaaa… kalau Mbak mengikuti semua jalan yang kuberikan, aku akan menggantikan peran Mas Purwo untuk membiayai kebutuhan Mbak… bahkan mungkin kehidupan Mbak akan jauh lebih baik daripada waktu menjadi istri Mas Purwo.”

“Asalkan jangan jalan sesat, pasti kuikuti.”
“Jalan sesat gimana maksudnya?”
“Jalan yang tidak melanggar hukum. Seperti perdagangan narkoba, misalnya.”

“Amit - amit. Aku sih gak pernah menyentuh narkoba Mbak. Merokok juga hanya sekali - sekali. Mana mungkin aku menempuh jalan itu. Semua yang kutempuh, jalan legal Mbak.”

“Syukurlah kalau gitu. Soalnya di zaman sekarang ini banyak yang kaya mendadak. Gak taunya jalan sesat yang ditempuh.”

“Aku lapar. Kita makan dulu ya,” kataku sambil membelokkan mobilku ke pekarangan sebuah rumah makan.

Setelah makan, barulah kulanjutkan lagi perjalanan menuju rumah yang Tante Aini hadiahkan padaku itu.

Tak lama kemudian mobilku sudah memasuki garasi rumah megah itu.

Setelah turun dari mobil, Mbak Nindie tercengang dan bertanya, “Ini rumah siapa Chep?”

“Rumahku. Pemberian adik Mama. Pavilyun itu akan dijadikan kantor yang baru akan dibuka tanggal satu bulan depan. Nanti Mbak bekerja di sana.”

“Pasti adik mamamu itu orang tajir ya. Rumah semegah ini diberikan begitu saja padamu.”
“Dia punya suami pengusaha minyak dari salah satu negara Arab di timur tengah.”
“Oooo… pantesan. Terus aku mau dijadikan apa di kantormu nanti?”
“Mbak akan kujadikan sekretarisku.”

Kemudian kami masuk ke dalam rumah. Mbak Nindie memeluk pinggangku terus pada waktu melihat - lihat keadaan di dalam rumah yang kamarnya banyak ini.

Ketika berada di dalam kitchen yang ditata secara modern dan peralatannya serba mahal ini, Mbak Nindie mendadak berkata, “Aku tugaskan ngurus kitchen aja Chep. Jangan dijadikan sekretaris.”

“Maksud Mbak, ingin jadi juru masak gitu?”
“Iya. Aku kan punya hobby masak. Waktu di Ternate juga pernah jadi asisten chef di sebuah restoran.”

“Kalau mau jadi juru masak, kamar Mbak di situ tuh,” kataku sambil menunjuk ke pintu kamar yang berdampingan dengan kitchen.

Lalu kubuka pintu itu. Keadaan di dalamnya memang sama saja dengan kamar - kamar lainnya. Ada kamar mandi tersendiri, yang fasilitasnya serba trend masa kini.

“Waaaah… kamarnya bagus sekali. Aku mau deh pindah ke sini…” ucap Mbak Nindie sambil melepaskan sepatunya, lalu melompat ke atas bed bertilamkan seprai biru muda itu.

“Boleh, sahutku sambil duduk di pinggiran bed. Tapi selama seminggu Mbak harus tinggal sendirian di sini. Karena aku masih banyak urusan yang belum selesai. Berani tinggal sendirian di sini?”

“Berani. Suasananya romantis begini. Pasti kerasan aku tinggal di sini, “Mbak Nindie duduk bersila sambil melepaskan jaket hitamnya.

Oi maaak…! Ternyata di balik jaket hitam itu tidak ada blouse. Tidak ada beha pula. Yang ada cuma penutup dada yang terbuat dari bahan seperti jaring. Sehingga toket Mbak Nindie tampak jelas di mataku.

“Mbak… ooooh… Mbak ini seksi sekali di mataku.”
“Kamu seneng toketku kan?”

“Semuanya seneng. Tadi waktu Mbak sedang ganti pakaian, aku sampai sulit bernafas.”

Mbak Nindie tersenyum. Lalu penutup dada yang terbuat dari kain jaring itu ditanggalkan. Celana jeansnya pun ditanggalkan. Sehingga tubuh gempalnya tinggal dilekati celana dalam hitam.

“Ayo deh… sekarang apa yang kamu inginkan akan kuikuti, “Mbak Nindie turun dari bed, lalu berbaring miring di atas sofa kulit berwarna coklat tua. Di situlah ia melepaskan celana dalamnya. Sehingga tubuh chubby-nya tak tertutup sehelai benang pun lagi.

Tanpa banyak basa - basi lagi kutanggalkan seluruh benda yang melekat di tubuhku, sehingga tubuhku jadi telanjang bulat seperti kakakku.

Mbak Nindie terperanjat dan melotot ke arah kontolku yang memang sudah ngaceng sejak di rumahnya tadi. “Edaaaan…! Ternyata kontolmu jadi segede dan sepanjang ini Chep?!” cetusnya sambil menggenggam kontolku.

“Makanya kubilang tadi, mumpung Mbak gak punya suami, apa salahnya kalau kita saling berbagi rasa… saling berbagi keindahan… toh di rumah ini hanya ada kita berdua…”

Mbak Nindie berjongkok di depan kakiku. Sambil memegang dan menciumi kontolku. Dan berdesis, “Gak nyangka kontolmu segede dan sepanjang ini. Padahal waktu masih kecil aku sering mandiin kamu. Pada waktu itu kontolmu masih kecil. Gak taunya sekarang jadi kontol raksasa…”

“Kayak pernah lihat raksasa aja Mbak. Lagian masa dibandingin dengan waktu aku masih kecil. Saat itu tetek Mbak juga belum tumbuh kan?”

“Iya… waktu kamu lahir, umurku baru delapan tahun,” sahut Mbak Nindie.

Ucapannya itu mengingatkanku bahwa Mbak Nindie sekarang sudah berumur 26 tahun. Sedangkan Mbak Susie, setahku 2 tahun lebih tua daripada Mbak Nindie. Berarti Mbak Susie sekarang sudah 28 tahun. Sebaya dengan usia Mamie.

Dalam hal itu aku salut juga kepada Papa, karena berhasil menggaet Mamie yang usianya sebaya dengan Mbak Susie.

Ketika Mbak Nindie bangkit berdiri di depanku, tiada keraguan lagi bagiku untuk mencium bibirnya yang sensual itu. Mbak Nindie pun mendekap piunggangku erat - erat, sehingga terasa kontolku bertempelan ketat dengan memeknya.

“Kamu hanya ingin mainin toketku atau sekujur tubuhku?” tanya Mbak Nindie setelah ciuman kami terlepas.

“Semuanya dong Mbak. Terutama ini nih,” sahutku sambil mengusap dan mencolek - colek memek Mbak Nindie yang bersih dari jembut.

“Padahal kita kakak beradik ya,” ucap Mbak Nindie sambil menggelitik pinggangku.

“Tapi kita terlahir dari rahim yang berbeda Mbak.”

“Iya sih,” sahut Mbak Nindie sambil menuntunku ke arah bed, “tapi aku gak mau munafik. Sejak masih di rumahku tadi, aku sudah mulai horny Chep.”

Lalu aku membuka jalan untuk mencairkan suasana. Dengan mendorong Mbak Nindie sampai celentang di atas bed. Lalu aku merayap ke atas perutnya. Untuk mengemut pentil toket kirinya, sedangkan tangan kiriku digunakan untuk meremas toket kanannya.

Kedua lengan Mbak Nindie berada di bokongku, sambil meremas - remas sepasang buah pantatku.

Pada saat kemudian aku mulai melumat bibir Mbak Nindie, sementara tanganku merayap ke bawah perutnya… menjelajahi memeknya yang bersih dari jembut.

Jari tanganku mulai menyelusup ke dalam liang memek Mbak Nindie. Membuatnya semakin lahap melumat bibirku.

Bahkan pada suatu saat Mbak Nindie membisikiku, “Chep… aku sudah horny berat nih. Langsung masukin aja kontolmu.”

“Tadinya pengen jilatin memek Mbak dulu.”
“Jangan. Nanti hornyku keburu ngedrop. Lain kali kan bisa jilatin memekku sepuasmu.”

Aku pun bergerak sambil memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini. Sementara Mbak Nindie sudah merentangkan sepasang paha gempalnya selebar mungkin.

Setelah merasa arahnya sudah pas, kudorong sang kontol sekuatnya… uuuugh… masuk sedikit demi sedikit, sampai hampir setengahnya.

Ternyata liang memek kakakku yang sudah punya anjak satu ini tidak bisa dianggap remeh. Masih sempit dan menjepit. Tak kalah dengan memek Tante Aini yang sama sekali belum pernah melahirkan.

Mbak Nindie pun langsung memeluk dan mencium bibirku, disusul oleh suaranya setengah berbisik, “Edane kontolmu iki Chep… guede ra ketulungan… !”

Dan ketika aku mulai mengayun batang kemaluanku, terasa benar mantapnya liang memek kakakku ini. Empuk dan licin tapi luar biasa legitnya.

Maka aku pun berbisik terengah, “Hhh… memek Mbak luar biasa legitnya… lebih legit daripada jenang…”

“Aku kan rajin minum jamu Chep… oooohhhh… kontolmu juga… enak sekali… lebih enak daripada kontol Mas Purwo… aku jadi takut… takut ketagihan…”

“Bulan depan kita kan bakal tinggal serumah di sini Mbak… kalau perlu bisa tiap malam kita ewean di sini.”

“Hihihihiii… ewean… hihiiihiii… ayo cepetin ngentotnya… iyaaaaa… iyaaaaa… entot terus Cheppphhh… entooootttt teruuuuussss… enaaaaak Chepiiii… kontolmu ini… luar biasa enaknyaaaaa… sampai merinding - rinding gini niiiih… entooot terusssss… iyaaaa… iyaaaaa…

Mbak Nindie merintih terus sambil menggoyangkan pinggulnya secara gila - gilaan. Memutar - mutar dan membentuk angka 8. Sehingga kontolku terombang - ambing seperti perahu oleng di tengah samudra. Namun semua ini luar biasa nikmatnya. Karena dinding liang memek Mbak Nindie yang empuk - empuk hangat itu membesot - besot kontolku dengan binalnya.

Ini membuatku semakin bergairah untuk mengentot kakak seayah berlainan ibu itu.

Aku pun ingin melengkapi gesekan antara kontolku dengan liang memek Mbak Nindie ini. Dengan menjilati lehernya yang mulai keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Sementara tangan kiriku meremas - remas toket kanan kakakku.

Tak cuma itu, terkadang kuemut pentil toket kirinya, sementara tangan kananku tetap meremas - remas toket kanannya. Semakin menggila jugalah geolan - geolan pantatnya yang memutar - mutar, meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Dengan goyangan seperti itu, maka dengan sendirinya itil Mbak Nindie bergesdekan terus - menerus dengan kontolku.

Akibatnya… tak lama kemudian Mbak Nindie klepek - klepek, berkelojotan sambil mendekapku erat - erat, seolah takut ditinggalkan olehku.

Kemudian ia mengejang tegang, dengan perut agak terangkat ke atas. Disusul dengan rengekan erotisnya, “Chepiii… aku lepassss… !”

Pada saat itu pula kutancap kontolku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang memek Mbak Nindie. Liang memek yang lalu berkedut - kedut kencang. Lendir libidonya pun terasa membanjiri liang surgawinya.

Nafas Mbak Nindie tertahan selama 2-3 detik. Lalu terdengar elahan nafasnya, “Aaaaaahhhhh… ini luar biasa nikmatnya Sayaaaang… “disusul dengan ciuman mesranya di bibirku.

Aku masih membiarkan kontolku direndam di dalam liang sanggama yang sudah basah sekali ini. “Dengan saudara malah lebih enak daripada dengan orang lain ya?” tanyaku sambil memainkan kedua puting payudara Mbak Nindie.

“Iya… awalnya sih memang risih. Tapi setelah jalan, dientot sama Chepi malah jauh lebih enak daripada sama mantan suamiku sendiri,” sahut Mbak Nindie sambil mendekap pinggangku, “Ayo lanjutin… kamu belum ngecrot kan?”

“Pengen nyobain doggy,” sahutku.

“Ayo… aku juga suka sekali posisi itu. Nanti sambil kemplangin pantatku sekuatnya ya. Aku suka digituin…”

“Iya…” sahutku sambil mencabut kontolku.

Mbak Nindie pun merangkak sambil menungging tinggi, sehingga memeknya tampak sepenuhnya meski aku berada di belakang bokong gedenya juga.

Sambil berlutut, dengan mudah aku bisa membenamkan kontolku ke dalam liang memek Mbak Nindie yang masih basah ini.

Mbak Nindie menungging sambil memeluk bantal guling. “Becek ya memekku?”

“Gak apa - apa. Justru aku seneng memek becek sehabis orgasme begini,” sahutku sambil mulai mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Mbak Nindie yang ternyata luar biasa enaknya ini.

Untuk mengikuti keinginannya, kutampar - tampar bokong gede Mbak Nindie. Plak… plakk… plakkk… plakkkk… plakkkk…

“Iya begitu Chep… lebih kencang lagi kalau bisa,” ucap Mbak Nindie.
“Nggak sakit?”
“Justru sakitnya itu yang bikin nikmat. Ayo kemplangin sekuatmu Chep… !”

Kutanggapi permintaan kakakku dengan mengemplangi kedua buah pantatnya, dengan sekuat tenaga. Plakkk… plooook… plaaaak… plooook… plaaaak… plooook… plaaaak… plooook… Sementara kontolku semakin cepat bermaju mundur di dalam liang memek Mbak Nindie yang memang jadi becek sekali ini.

Tapi aku tidak bisa melanjutkan ngemplangin pantat Mbak Nindie, karena telapak tanganku sudah panas rasanya. Maka kupegang saja pinggang kakakku sambil mempergencar entotanku …

**Ku dan Mbak Nindie habis - habisan di kamar yang sudah kuberikan padanya untuk ditempati itu.

Setelah posisi doggy, Mbak Nindie ingin melakukannya dalam posisi WOT. Maka untuk kesekian kalinya dia orgasme dan orgasme lagi. Sampai akhirnya ia minta untuk kembali ke posisi missionary lagi. Dia di bawah, aku di atas.

Dalam posisi missionary ini pun Mbak Nindie memperlihatkan identitasnya. Bahwa ia suka diperlakukan lebih keras daripada semestinya. Ketika aku meremas toketnya, ia berkata, “Remas aja kuat - kuat… jangan nanggung begitu.”

Aku memang ingin meremasnya lebih kuat, tapi tadinya aku tidak tega, takut menyakiti kakakku. Setelah mendapat “instruksi” seperti itu, aku jadi tega meremas toketnya kuat - kuat, sambil menjilati dan menggigit - gigit leher Mbak Nindie.

Mbak Nindie pun merintih dan merintih lagi, “Ooooh… Cheeepiiii… ini luar biasa enaknya Sayaaaaang… sekalian cupangin leherku sebanyak mungkin Chepi Sayaaang…”

“Nanti ada bekasnya gak apa - apa?”
“Biarin. Aku kan bakal tinggal di sini… di rumah yang masih kosong ini.”
“Mulai minggu depan bakal ada satpam yang menjaga rumah ini Mbak.”
“Iya… gak ada satpam juga aku berani tinggal sendirian di sini. Kamu tau kan siapa aku sebelum nikah dahulu?”

“Heheheee… iyaaaa… aku ingat, dahulu Mbak kan pelatih bela diri… baru ingat sekarang… makanya kalau menghadapi tiga orang aja sih Mbak pasti unggul.”

“Ayo cupangin sayaaang… jangan ngobrol dulu…”

Kuikuti keinginan kakakku itu. Ketika kontolku sedang mengentot liang memeknya, tanganku sedang meremas - remas toket gedenya, mulutku pun mulai menyedot - nyedot leher Mbak Nindie sekuatnya. Sampai meninggalkan bekas merah kehitaman.

Lebih dari lima cupangan kutinggalkan di leher Mbak Nindie. Kemudian aku konsentrasi ke ayunan kontolku lagi.

Bahkan pada suatu saat aku bertanya terengah, “Aku udah deket - deket ngecrot ni Mbak. Lepasin di mana?”

Mbak Nindie menyahut, “Di dalam memek aja. Aman kok. Tapi tahan dulu sebentar… aku juga udah mau orga lagi Chep… ooooh… usahakan lepasin bareng - bareng yaaa… biar nikmaaaat…”

Lalu aku mengatur pernafasanku agar jangan dulu ngecrot sampai Mbak Nindie memperlihatkan gejala mau orgasme lagi untuk yang kesekian kalinya.

Sampai pada suatu saat, Mbak Nindie mulai berkelojotan sambil menjambak - jambak rambutku. Aku pun menggencarkan entotanku dalam gerakan yang sangat cepat.

Sampai pada suatu saat, kubenamkan kontolku sedalam mungkin sambil meremas sepasang toket Mbak Nindie kuat - kuat.

Lalu terjadilah sesuatu yang sangat indah itu. Bahwa ketika liang memek Mbak Nindie mengejut - ngejut, kontolku pun sedang mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Crooooottt… crooot… croooooootttttt… croootttt… crotcrot… crooootttttttt…!

Aku pun terkapar di atas perut Mbak Nindie. Dengan tubuh sama - sama bermandikan keringat.

“Kamu luar biasa Chep. Setelah aku berkali - kali orgasme, kamu baru ngecrot,” kata Mbak Nindie sambil memjat hidungku dengan sikap seperti gemas.

“Memek Mbak terlalu enak sih. Sehingga aku sengaja mengulur waktu agar jangan cepat - cepat ejakulasi.”

“Kamu sengaja mengatur pernafasanmu agar durasinya lebih lama ya?”

“Hehehee… iya. Kalau ahli bela diri seperti Mbak, pasti tau apa yang kulakukan,” kataku sambil mencabut kontolku dari liang memek Mbak Nindie.

Kemudian kami masuk ke kamar mandi. Dan mandi bareng, sambil saling menyabuni dengan cermat serta penuh kasih sayang. Aku tahu Mbak Nindie sejak aku masih kecil sangat menyayangiku bahkan sering juga menghadiahiku mainan anak - anak.

Wajar kalau kami saling menyayangi karena kalau ditanya bin siapa, kami sama - sama bin Imron (nama Papa), meski berlainan ibu.

Pada waktu Mbak Nindie sedang menyabuni tubuhku, ia berkata, “Biar bagaimana pun kita tidak bisa menjadi suami - istri. Karena itu kita tidak boleh menyimpan perasaan cemburu. Karena pada suatu saat baik aku mau pun kamu bakal punya pasangan masing - masing. Aku punya suami lagi, kamu pun punya istri.

“Tapi kita tetap bisa melakukannya di belakang pasangan kita masing - masing kan Mbak.”
“Bisa, tapi harus secara rahasia. Agar jangan bikin heboh nantinya.”
“Tentu aja. Sekarang pun kita harus merahasiakannya.”
“Sebenarnya saat ini ada yang sangat membutuhkanmu Chep.”
“Membutuhkan apa?”
“Membutuhkan ini,” sahut Mbak Nindie sambil memegang kontolku yang sudah lemas.
“Maksud Mbak?”
“Mbak Susie tuh yang membutuhkanmu… agar bisa menghamilinya.”
“Dia sampai sekarang belum punya anak?”
“Belum.”
“Dia di Sulawesi kan?”
“Sudah di Jakarta bersama suami keduanya.”
“Suami kedua?”

“Iya Dengan suaminya yang dahulu sudah bercerai. Lalu kawin lagi dengan seorang pengusaha tajir, tapi sudah tua.”

Kemudian Mbak Nindie menceritakan keadaan Mbak Susie yang sudah lima tahun menikah dengan seorang pengusaha tua dan tidak juga dikaruniai keturunan.

Ucapan Mbak Nindie itu mengingatkanku kepada Tante Aini, yang mengalami nasib sama. Menikah dengan raja minyak, tapi belum punya anak juga. Padahal ketiga istri lainnya sudah pada punya keturunan semua.

“Tapi ingat… jangan ngomong - ngomong ke Papa. Karewna waktu kawin kedua kalinya itu Mbak Susie pakai wali hakim. Bukan Papa walinya. Jadi sampai saat ini Papa belum tau kalau Mbak Susie itu sudah kawin lagi.”

Lalu banyak lagi yang Mbak Nindie ceritakan mengenai Mbak Susie.

Kemudian Mbak Nindie bertanya, “Ohya, mengenai satpam yang mau menjaga rumah dan kantor ini nanti, sudah dapat satpamnya?”

“Belum nyari,” sahutku, “rencananya besok baru akan mendatangi biro jasa yang menyediakan tenaga untuk satpam.”

“Padahal aku bisa merekrut beberapa orang untuk satpam. Semuanya dijamin tangkas, tapi semuanya cewek,” ucap Mbak Nindie.

“Boleh. Mbak aja yang siapin satpamnya ya. Terutama untuk di kantor, tanggal satu bulan depan akan mulai sibuk.”

“Kira - kira butuh berapa orang?” tanya Mbak Nindie.

“Enam atau tujuh orang lah. Lalu dikasih shift, atur aja sama Mbak nanti. Bahkan Mbak sekalian kuangkat menjadi kepala security, bersedia?”

“Nggak apa jadi kepala security merangkap bagian kitchen?”
“Boleh - boleh aja. Mbak kan kakakku. Kita bisa atur semuanya.”

“Tapi yang akan kurekrut untuk anggota satpam itu cewek semua. Mereka adalah mantan murid - muridku waktu aku masih aktif menjadi pelatih beladiri dahulu.”

“Yang penting mereka semua mampu mengamankan rumah dan kantor ini. Mau cowok atau cewek boleh aja.”

Sebenarnya aku masih mampu untuk mengajak Mbak Nindie bersetubuh lagi. Tapi aku teringat pada Mama Aleta yang pasti meminta “sesuatu” nanti setelah aku pulang ke rumah Bu Shanti. Karena itu aku meninggalkan Mbak Nindie di rumah hadiah dari Tante Aini itu. Tentu saja aku memberi uang ala kadarnya dulu kepada Mbak Nindie, untuk kebutuhan sehari - harinya di rumah megah itu.

Tentang Mbak Susie, Mbak Nindie bilang bahwa ia akan berunding dulu lewat handphone. Nanti kalau sudah ada persetujuan, pasti Mbak Susie akan meneleponku, yang nomornya akan diberikan oleh Mbak Nindie kepada kakak sulung kami itu.

Setibanya di rumah Bu Shanti, jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Jadi aku masih bisa mengikuti permintaan Mama Aleta, agar jangan pulang terlalu malam.

Seperti yang telah kuprediksi sebelumnya, setelah aku mandi malam di kamar Bu Shanti, ternyata Mama Aleta sudah menungguku di ruang keluarga. Dengan senyum seorang wanita yang sedang naik birahi.

Untunglah aku tidak terlalu habis - habisan dengan Mbak Nindie tadi, sehingga aku masih menyisakan spirit dan energi untuk menyetubuhi Mama Aleta.

Bahkan di malam - malam selanjutnya, Mama Aleta selalu menggugahkan kejantananku untuk menggaulinya.

Sampai akhirnya Bu Shanti pulang dari Singapore, dengan oleh - oleh yang cukup banyak.

Tadinya kukira Bu Shanti akan membahas masalah hubunganku dengan Mama Aleta. Tapi ternyata tidak sama sekali. Bu Shanti malah memperlihatkanh surat keputusan universitasnya di UK, bahwa Bu Shanti mendapatkan beasiswa untuk meraih program doctornya di Inggris.

Secara kebetulan di Singapore Bu Shanti ketemu dengan rektornya yang dari Inggris itu. Dan langsung menyatakan persetujuannya untuk memberikan beasiswa kepada Bu Shanti, untuk mengejar program doctornya.

“Kalau diijinkan oleh universitas kita, minggu depan aku akan langsung terbang ke London,” kata Bu Shanti di ujung penuturannya.

Bu Shanti mencium sepasang pipiku, kemudian bertanya, “Kok dari tadi diem aja? Gak setuju kalau aku meraih es-tigaku di Inggris?”

“Aku tak boleh menentang kjemajuanmu Beib. Cuma kebayang aja nanti aku bakal kesepian kalau Mamie sudah terbang ke London. Kan nggak cukup setahun untuk kuliah lagi di sana?!”

“Papie kan banyak duit. Kalau kangen sama aku, terbang aja ke UK.”

“Nggak mungkin bisa Beib. Mulai tanggal satu bulan depan, aku akan sangat sibuk mengurus perujsahaan punya tanteku. Bahkan kuliah pun mungkin akan cuti dulu satu tahun, karena aku akan sangat sibuk di perusahaan nanti.”

“Kalau begitu, ketika kamu sedang kangen sama aku, ada Mama di sini. Mama akan kularang meninggalkan rumjah ini sampai aku menyelesaikan pendidikanku di Inggris nanti. Dia bisa menggantikan peranku kan?”

“Dan Mamie mau kangen - kangenan sama orang bule di Inggris?”

Bu Shanti tampak marah dengan ucapanku itu. “Kamu meragukan kesetiaanku padamu?” tanyanya dengan nada tinggi.

Aku menghela nafas, “Yaaaahhhh… whatever will be, will be.”

Dalam kenyataannya, Bu Shanti terbang juga ke London, karena akhirnya aku mengijinkannya dan bahkan mendukungnya agar cepat mengejar program S3 nya di Inggris.

Aku bahkan mengantarkan Bu Shanti ke bandara Soetta, sampai dia mau boarding.

Setelah Bu Shanti masuk ke dalam, aku pun melambaikan tangan sambil melakukan kiss bye (sun jauh). Kemudian meninggalkan gerbang keberangkatan itu.

Tiba - tiba aku mendengar suara perempuan memanggilku, “Cheepiii… !”

Dengan kaget aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Seorang wanita muda bergaun orange dengan motip taburan bintik - bintik putih menghampiriku.

“Mbak Susie?!” sapaku setelah wanita muda itu berdiri di depanku.
“Iya… masa lupa sama kakakmu sendiri?” sahutnya sambil merentangkan kedua lengannya.

Tanpa ragu aku pun menghambur ke dalam pelukannya.

Mbak Susie malah tak ragu untuk mencium sepasang piupiku, lalu mencium bibirku dengan hangatnya. “Kamu makin tampan aja Chep… !” ucapnya setelah melepaskan ciumannya.

“Mbak juga makin cantik aja. Dan… tetap muda,” sahutku, “Kalau berdampingan dengan Mbak Nindie, Mbak Susie kelihatan jauh lebih muda.”

“Hush… usiaku sebaya dengan Mamie lho.”

“Tapi kalau Mbak berdampingan dengan Mamie, pasti orang mengira Mbak jauh lebih muda daripada Mamie.”

“Begitu ya… mmm… lagi ngapain ada di sini?”
“Abis nganterin dosenku yang mau terbang ke London. Mbak sendiri mau ngapain di sini?”
“Abis nganterin suamiku yang mau terbang ke Tashkent. Nanti transit dulu di Dubai.”
“Tashkent Uzbekistan?”
“Iya. Ibunya kan orang Uzbekistan.”
“Owh begitu ya.”

Sebenarnya dalam seminggu belakangan ini aku sering main WA dengan Mbak Susie, tapi gak nyangka b akal ketemu di bandara ini.

“Sekarang kamu mau lanjut ke mana?”
“Mau pulang Mbak. Mau ikut?”

“Jangan hari ini. Ada urusan yang harus diselesaikan dulu di rumah. Besok aja kita ketemuan di villaku, di Puncak. Gimana?”

“Boleh. Puncaknya di mana?”

“Dekat Puncak Pass,” sahut Mbak Susie yang lalu menjelaskan letak villa dan ciri - cirinya secara lengkap.

“Besok kan hari Jumat. Jadi sorenya sudah masuk weekend. Kita weekend-an di villaku aja. Oke?”
“Iya Mbak. Nanti kalau tersesat, aku call Mbak aja.”
“Oke. Kamu nyetir sendiri?”
“Iya Mbak.”
“Hati - hati di jalan ya. Gak usah ngebut.”
“Iya Mbak.”

Kemudian aku mencium tangan dan cipika - cipiki lagi dengan Mbak Susie. Pada saat cipika - cipiki itulah aku mendengar bisikan Mbak Susie, “Aku siap dihamili olehmu Chep.”

“Aku juga siap melakukan yang terbaik buat Mbak,” sahutku sambil tersenyum.

Dalam perjalanan pulang ke kotaku, wajah cantik Mbak Susie terus - terusan membayangi pikiranku. Memang benar usia Mbak Susie sebaya dengan usia Mamie. Tapi dia benar - benar awet muda, sehingga tampak jauh lebih muda daripada Mamie. Apakah karena Mbak Susie belum pernah “turun mesin” melahirkan? Ataukah karena dia selalu merawat tubuh tinggi langsingnya?

Aku tiba di rumah Papa ketika Mamie sudah tidur. Maka aku pun langsung masuk lewat pintu yang kuncinya selalu kubekal, memasukkan mobilku ke garasi dan langsung nyungsep di bedku.

Besok paginya, setelah mandi kuambil dua set pakaian untuk ganti dan kumasukkan ke dalam ranselku. Lalu menghampiri Mamie yang sedang menikmati bubur ayam di ruang makan.

“Jam berapa tadi malam pulang?” tanya Mamie sambil memperhatikanku yang sudah siap pergi lagi.

“Jam setengah dua belas Mam. Sekarang kandungan Mamie udah berapa bulan?”

Tiga bulan kurang seminggu.”

Kucium pipi Mamie lalu membisikinya, “Semoga Mamie dan anak kita tetap sehat sampai lahir dengan selamat dua - duanya.”

“Amiiin,” sahut Mamie, “Ohya… si Keyla suka nanyain tuh. Kayaknya dia naksir kamu Chep.”
“Keyla? Siapa itu Keyla?” tanyaku bingung.
“Lho… belum kenalan sama sekretaris baru mamie ya?”
“Sekretaris baru? Sekretaris Mamie kan Bu Tuti.”
“Bu Tuti sudah jadi bagian marketing. Makanya mamie merekrut sekretaris baru. Ya Keyla itu.”
“Belakangan ini kamu jarang ada di rumah sih.”

“Iya. Lagian ruang tamu kan udah dijadikan kantor sama Mamie. Aku tiap kali keluar masuk rumah selalu lewat pintu samping. Jadi gak pernah merhatiin suasana di dalam kantor Mamie.”

“Cantik lho Keyla itu. Mamie setuju kalau dia dijadikan pacarmu.”

“Mamie kok ngomongnya gitu. Emangnya Mamie udah gak cinta lagi ya sama aku?”

“Cinta mamie padamu takkan luntur sampai kapan pun. Tapi kita kan hanya sebatas punya hubungan rahasia. Takkan bisa naik ke pelaminan. Makanya mamie akan mendukung kalau ada cewek yang bisa kamu cintai.”

“Sudah ada Mam. Tapi dia baru saja terbang ke Inggris untuk mengejar es-tiganya.”
“Ngejar es-tiga? Sudah tua dong.”
“Dua tahun lebih muda darik Mamie.”
“Kamu lebih suka sama wanita yang usianya lebih tua ya?”
“Iya.”
“Sejak kapan kamu seperti itu?”
“Sejak punya hubungan rahasia sama Mamie.”
“Hihihiii kamu… hai… mau ke mana lagi Sayang?”
“Mau ke Bogor Mam. Ada urusan perusahaan.”
“Ogitu ya. Semoga sukses bisnisnya, ya Sayang.”

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam sedan hitamku, menuju rumah megah dari Tante Aini itu.

Sebenarnya aku ingin menengok Mbak Nindie yang sudah merekrut 7 orang satpam yang semuanya wanita itu. Tapi sebelum tiba di rumahku, tiba - tiba aku ingat sahabat karibku yang sudah sangat lama tidak berjumpa.

Niko. Ya, Niko itu sahabatku sejak kecil. Tapi sejak aku duduk di bangku SMA sampai sekarang tak pernah berjumpa lagi.

Usia Niko 3 tahun lebih tua dariku. Tapi dia benar - benar sahabatku yang selalu kompak denganku dahulu.

Kalau dia belum punya pekerjaan tetap, apa salahnya kalau aku merekrutnya untuk dijadikan tangan kananku di perusahaan punya Tante Aini itu?

Niko bisa dipercaya dalam segala hal. Aku yakin itu.

Maka mobilku pun dibelokkan arahnya menuju rumah orang tua Niko, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah hadiah dari Tante Aini itu.

Rumah orang tua Niko masih tetap seperti dahulu. Hanyha cat dindingnya saja yang berubah. Dahulu cat dindingnya berwarna biru langit, sekarang berwarna coklat tua, sesuai dengan pintu dan jendelanya yang terbuat dari kayu jati dan diplitur mengkilap.

Kumasukkan mobilku ke pekarangan rumahnya yang di kanan kirinya ada pohon sirsak, masih seperti dahulu.

Seorang wanita 40 tahunan muncul di ambang pintu depan. Memperhatikanku yang baru turun dari mobilku. Aku masih ingat benar, wanita itu adalah mamanya Niko yang biasa kupanggil Tante Lien.

Setelah menghampirinya di teras depan, Tante Lien seperti sedang mengingat - ingat aku yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya.

“Tante masih ingat saya?” tanyaku dengan sikap sopan.
“Siapa ya? Rasa - rasa pernah lihat, tapi lupa lagi,” sahutnya.
“Aku Chepi Tante.”
“Ya Tuhaaan… kamu Chepi? Sobatnya Niko dahulu?”
“Iya Tante,” sahutku sambil menjabat dan mencium tangannya.
“O my God! Chepi sekarang sudah gede, jadi jauh berubah. Jadi jauh lebih tampan begini. Ayo masuk Chep.”

Aku mengangguk, lalu masuk ke ruang tamu rumah Tante Lien. Dan duduk di sofa ruang tamu setelah dipersilakan duduk oleh Tante Lien.

“Niko ada Tante?” tanyaku.

“Niko baru aja berangkat kerja,” sahut wanita keturunan Tionghoa itu sambil duduk di sofa yang berhadapan dengan sofaku.

“Owh… udah kerja? Kerja di mana?”

“Cuma jadi buruh pabrik Chep. Setelah ayahnya meninggal, dia nyari kerja dan tidak melanjutkan sekolahnya.”

“Owh, Oom sudah meninggal. Aku ikut prihatin mendengarnya. Kalau tidak salah, Niko melanjutkan sekolahnya ke SMK, ya Tante.”

“Iya. Setamatnya SMK dia langsung nyari kerja. Karena tidak punya uang untuk membiayai kuliah segala macam,” sahut Tante Lien ytang lalu menengok ke dalam sambil berseru, “Nike! Liat nih ada siapa?”

Terdengar suara cewek menyahut dari dalam, “Ya Mam.”

Lalu muncullah seorang cewek tinggi langsing bermata sipit dan cantik sekali. Ia memperhatikanku sebentar lalu berkata ragu, “Ini Chepi bukan?”

“Iya. Apa kabar Nik?” aku berdiri dan berjabatan tangan dengan cewek yang sebaya denganku itu.
“I am fine. Duuuh Chepi kok jadi tampan gini sih?! “sambut Nike dengan sikap familiar.
“Dari dulu juga tampan kali. Heheheheee… dan kamu… jadi cantik sekali… kayak artis Korea…”
“Aku juga dari dulu cantik kok,” sahut Nike sambil duduk di samping ibunya.
“Tapi dulu kamu cengeng sekali. Dikit - dikit nangis. Sekarang Nike masih cengeng Tante?”
“Nggak dong. Sekarang kan udah gede,” sahut Tante Lien.
“Sayang Niko lagi kerja ya. Kalau ada dia pasti rame nih, “sambung Nike.

“Iya. Kangen sekali sama Niko. Tadinya sih mau sekalian ngajak kerja di perusahaanku. Tapi Niko udah kerja ya?”

“Chepi udah punya perusahaan sendiri? Pantesan mobilnya juga mobil keren tuh,” ucap Nike.

“Kalau mau nawarin kerja, mendingan Nike tuh tempatin Chep,” kata Tante Lien, “Dia kan kuliah nggak, kerja juga nggak.”

“Kalau Nike mau, boleh aja,” sahutku.
“Perusahaannya bergerak di bidang apa Chep? “tanya Nike.

“Kegiatan utamanya ekspor pakaian ke beberapa negara di Timur Tengah. Nggak ribet kok kerjanya. Cuma ngecek pakaian yang akan dikirim. Perusahaannya baru akan dibuka tanggal satu bulan depan.”

“Terus… kalau aku kerja di perusahaanmu, bakal dijadiin apa?” tanya Nike.
“Bisa aktif di komputer gak?”
“Bisa dong. Bikin program juga bisa.”

“Aku akan menempatkanmu sebagai sekretaris. Tapi sambil ikut pendidikan sekretaris. Gak usah muluk - muluk, ambil de-satu juga boleh. Biar setahun selesai.”

“Mau… mau! Aku mau jadi sekretaris. Kerjanya kan gak berlepotan kayak Koko Niko.”

“Ya udah. Sebelum tanggal satu bulan depan, datang aja ke alamat ini. Untuk mengikuti pengarahan awal dulu,” kataku sambil menyerahkan secarik kartu nama.

Nike menjemput kartu namaku sambil bertanya, “Boleh tau gak, gajiku berapa nanti?”

“Dua kali lebih besar dari UMR ditambah dengan uang makan.”
“Asyiiik… !” wajah cantik Nike tampak ceria.
“Tapi kantorku kecil Nik. Cuma satu ruangan. Karyawannya juga hanya sepuluh orang,” kataku.
“Nggak apa,” sahut Nike, “Daripada jadi kambing di kandang macan, mending jadi macan di kandang kambing.”

“Hahahaaa… iya juga tuh. Bekerja di perusahaan besar, kalau cuma jadi OG mendingan jadi sekretaris di perusahaan kecil. Tapi kalau perusahaanku ada perkembangan yang positif, bisa saja nanti bangun kantor baru, sesuai dengan kebutuhannya.”

“Berarti mulai sekarang aku harus manggil Boss sama Chepi ya?”
“Alaaa… biasa aja. Gak usah terlalu protokoler. Ohya… bahasa Inggrismu lancar?”
“Kalau bahasa Inggris sih lancar. Kan sejak masih di SMP aku ikutan kursus bahasa Inggris.”

“Lengkaplah sudah kalau gitu. Soalnya surat - menyurat dengan pihak importir di Timur Tengah menggunakan bahasa Inggris semua.”

“Ohya?! Untung gak pakai bahasa Arab. Kalau pake bahasa Arab, mati aku… !”
“Bahasa Mandarin bisa?”

“Cuma sepatah dua patah kata. Kami kan orang hoakiau. Biasanya kalau orang Kek, bisa berbahasa Mandarin,” sahut Nike.

“Ya udah, soal itu sih gak penting,” kataku, “Yang terpenting, ikuti program de-satu kesekretarisan ya. Biaya pendidikannya aku yang nanggung nanti.”

“Siap Boss,” sahut Nike dengan sikap formal.

Aku tersenyum menyaksikan sikap Nike itu. Lalu berkata, “Kalau gitu aku mauj pamit dulu ya.”

“Eee… kenapa buru - buru amat Chep? Disuguhin minum juga belum,” kata Tante Lien.
“Biar aja gak usah repot - repot Tante,” sahutku.
“Sekarang mau ke kantor?” tanya Nike.
“Iya,” sahutku.
“Boleh aku ikut? Kan biar tau suasana tempat kerjanya nanti.”
“Ayo kalau mau ikut sih,” sahutku.

Beberapa saat kemudian Nike sudah duduk di samping kiriku, dalam mobil yang tengah kukemudikan. Tapi aku tidak langsung menuju rumah dan kantor pemberian Tante Aini itu. Aku membelokkannya di pelataran parkir sebuah rumah makan padang besar.

“Kita sarapan dulu ya. Suka masakan padang gak?” tanyaku.
“Suka. Terutama rendang dan gulai kikilnya,” sahut Nike.
“Hihihiii… seleramu sama dengan seleraku,” ucapku sambil mematikan mesin mobil. Kemudian kami turun dan masuk ke dalam rumah makan itu.

Kami duduk berhadapan, sehingga aku bisa sepuasnya memperhatikan betapa cantiknya adik Niko itu.

“Kamu udah punya pacar?” tanyaku ketika makanan belum dihidangkan di meja kami.
“Nggak punya.”
“Masa sih cewek secantik kamu gak punya pacar?!”
“Serius,” sahut Nike, “Jadikan aku pacarmu aja Chep.”

Aku agak tersentak mendengar ucapan adik Niko itu. Lalu kataku, “Pacaran doang sih gak ada gunanya. Buang - buang waktu doang. Makanya aku gak nyari calon pacar, tapi calon istri.”

“Ya udah. Jadiin aku calon istrimu.”
“Kalau jadi istriku, kamu harus jadi mualaf dulu.”
“Siap jadi mualaf. Saudara Mama banyak kok yang jadi mualaf.”

“Serius nih?” tanyaku ragu, karena aku lihat Nike itu cantik sekali. Bahkan mungkin terlalu cantik bagiku. Orang Tionghoa pula. Namun dengan cepat aku membayangkan, kalau Nike jadi istriku… pasti keren…!

“Kita sudah saling kenal sejak bertahun - tahun yang lalu. Masa aku gak serius dalam hal yang sangat penting ini,” sahut Nike.

Maka kujulurkan tanganku di atas meja sambil bertanya, “Berarti kita jadian nih?”

Nike menjabat tanganku sambil, tersenyum manis. “Iya. Mulai saat ini aku siap dijadikan calon istrimu Chep.”

Tangan Nike yang masih memegang tanganku terasa halus dan hangat. Senyum manisnya pun terasa hangat. “Kita sudah lama gak berjumpa, sekalinya ketemu lagi langsung jadian ya?”

“Dan yang nembak duluan aku ya?”
“Iya. Kalau kamu gak nembak, aku gak berani nembak duluan.”
“Kenapa? “Nike tampak heran.

“Karena kamu cantik sekali… bahkan terlalu cantik bagiku. Jadi takut ditolak.”

Nike tersenyum manis dan berkata perlahan, “Kamu juga tampan sekali Chep… makanya aku nekad nembak duluan. Takut kamu keburu nembak cewek lain.”

“Tapi dari mana kamu yakin bahwa aku belum punya pacar?”

“Dari ucapanmu sendiri,” sahut Nike, “Tadi kamu nanya aku udah punya pacar belum? Pertanyaan seperti itu biasanya diucapkan oleh cowok yang naksir kepada si cewek. Dan berharap sama - sama jomblo.”

“Iya… “gumamku tepat pada saat pelayan menghidangkan makanan di meja kami. Seperti biasa, semua makanan yang ada di rumah makan padang suka dihidangkan. Nanti tinggal menghitung apa saja yang dimakan oleh konsumennya.

Pada waktu makan, seringkali aku memperhatikan wajah Nike. Kalau kebetulan Nike memandangku juga, kami jadi sama - sama tersenyum.

Semua ini memang di luar dugaanku. Bertamu untuk menjumpai Niko, malah mendapatkan adiknya sebagai calon istriku.

Lalu bagaimana dengan Bu Shanti?

Entahlah… setelah Bu Shanti terbang ke Inggris, gairahku jadi melemah. Karena aku punya teman yang ayahnya mengejar S3 di Jerman. Sampai 4 tahun belum pulang - pulang juga.

Lalu kalau Bu Shanti lebih dari 3 tahun berada di Inggris, adakah jaminan bahwa dia masih mencintaiku?

Lagian aku disebut sebagai “calon suami” kepada Mama Aleta hanya sekadar pura - pura belaka. Karena Bu Shanti ingin menghindari perjodohannya dengan lelaki tua itu. Sementara aku sendiri belum pernah menyiapkan mental untuk menjadi seorang suami di usia yang masih “mentah” ini.

Maka kini jadianku dengan Nike, bukanlah suatu pengkhianatan.

Begitu juga setelah makan dan masuk kembali ke dalam mobilku, kuciumi tangan Nike lalu berkembang menjadi ciuman di pipinya, aku tak merasa berkhianat kepada siapa pun.

Ketika kuperkenalkan Nike kepada Mbak Nindie, kelihatannya tiada ketegangan sedikit pun di wajah Mbak Nindie. Terlebih lagi setelah aku berkata kepada Nike, bahwa Mbak Nindie itu kakakku, wajah cantik Nike semakin cemerlang di mataku.

Setelah melihat - lihat ruang kerja Nike nanti, kelihatan sekali Nike bersemangat untuk bekerja di perusahaanku, sekaligus akan menjadi kekasih tercintaku. Ruang kerja Nike itu bersatu dengan ruang kerjaku. Kebetulan di samping pavilyun itu ada ruangan nganggur. Maka aku mnenyuruh tukang tembok untuk menjebol dindingnya dan dipasang pintu menuju pavilyun.

Yang jelas, Nike akan kujadikan “target” seriusku. Bukan sekadar tempat untuk melampiaskan nafsu birahiku.

Kemudian Nike kuantar ke rumahnya kembali. Aku tidak turun, karena harus segera berangkat ke Puncak. Di hari Sabtu begini, biasanya jalan menuju Puncak itu macet. Karena itu aku harus berangkat lebih cepat dari biasanya.

Menjelang jam lima sore, aku baru tiba di depan villa Mbak Susie. Di depan villa yang dikelilingi pagar hidup tinggi (bambu pring) itu, sudah ada mobil yang lebih mahal daripada mobilku. Sama - sama dari Eropa, tapi mobil Mbak Susie made in England, sedangkan mobilku built up Jerman.

Di ambang pintu depan villa tampak Mbak Susie sudah berdiri, dalam gaun dalam yang aduhai… gaun hitam yang sangat transparan. Sehingga aku bisa menyaksikan payudaranya yang takj berbeha, bisa menyaksikan celana dalamnya yang berwarna hitam juga.

Memang sekujur tubuh Mbak Susie jauh berbeda jika dibandingkan dengan Mbak Nindie. Mbak Susie ini berperawakan tinggi langsing. Toketnya pun sedang - sedang saja. Tidak segede toket Mbak Nindie. Namun jelas bahwa Mbak Susie ini awet muda. Sementara wajahnya pun lebih cantik daripada wajah Mbak Nindie.

“Nggak susah ya nyari villa ini walau pun masuk ke dalam jalan kecil?” sapa Mbak Susie dengan senyum manis di bibirnya.

Aku bahkan terlongong menyaksikan kecantikan dan keawet-mudaan kakak seayah berlainan ibu itu.

“Kenapa malah bengong?” tanya Mbak Susie sambil memegang kedua pergelangan tanganku.

“Sulit dipercaya bahwa Mbak seumuran dengan Mamie. Karena Mbak tampak seperti belum duapuluh tahun.”

“Syukurlah kalau aku tampak muda di matamu,” sahut Mbak Susie sambil mengecup bibirku. Lalu mengajakku masuk ke dalam villa.

“Sopirnya nunggu di mana?” tanyaku.

“Aku nyetir sendiri, gak bawa sopir. Soalnya ini kan sangat pfribadi… sangat rahasia. Sebaiknya sopir jangan sampai tau.”

“Iya iyaaa… “tanggapku sambil duduk di sofa ruang tamu villa.

“Rencananya kita mau nginap di sini sampai Senin pagi kan?” tanya Mbak Susie sambil duduk di pangkuanku, menghadap ke arahku. Spontan kurengkuh dan kudekap pinggangnya, untuk menjaga agar jangan sampai dia terjengkang ke belakang.

“Apa pun keputusan Mbak, aku ikut,” sahutku sambil menggores - goreskan bibirku ke bibir Mbak Susie yang sensual. Mbak Susie pun memagut bibirku, lalu melumatnya dengan hangat.

Awalnya aku merasa agak risih. Karena biar bagaimana pun juga Mbak Susie itu adalah kakak sulungku dari pihak Papa. Tapi berkat kelincahan Mbak Susie, suasana pun menjadi cair. Dan tanpa ragu lagi kubopong Mbak Susie menuju pintu kamar yang sudah terbuka, pintu yang Mbak Susie tunjuk.

Di kamar itulah Mbak Susie memperlihatkan toketnya yang tidak besar namun tidak terlalu kecil juga. Bahkan tanpa ragu Mbak Lies melepaskan celana dalam hitamnya, laluj memperlihatkan bentuk kemaluannya yang berjembut pendek - pendek di atas clitorisnya.

“Suamiku melarang menggunduli memekku. Dia berkeras harus ada jembut yang disisakan seperti ini,” kata Mbak Susie.

“Gak ada masalah Mbak. Gundul atau gondrong punya kelebihan masing - masing,” sahutku sebagai tanggapan. Lagian memang jembut Mbak Susie ada di bagian atas clitorisnya. Jadi kupikir takkan mengganggu kalau aku ingin menjilati memeknya.

Setelah telanjang bulat, Mbak Susie menelentang sambil merentangkan kedua lengannya dan berkata, “Ayo mau diapain aku ini sekarang?”

Aku tersenyum sambil melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Tinggal celana dalam yang kubiarkan melekat di tubuhku.

Tanpa basa - basi lagi aku merayap ke atas perut dan dada Mbak Susie, lalu memagut bibirnya ke dalam lumatanku. Ketika tanganku ikut aktif untuk meremas toketnya, Mbak Susie pun membalas lumatanku dengan hangatnya. Suasana romantis pun mulai terasa. Semakin terlupalah aku bahwa Mbak Susie itu kakak seayahku.


“Toketku gak segede toket Nindie ya?” bisiknya.

Aku yang sudah tahu bahwa Mbak Nindie telah membuka rahasia kepada Mbak Susie, menyahut, “Tapi toket Mbak masih kencang, seperti toket gadis duapuluhan.”

Pada saat yang sama tangan Mbak Susie menyelinap ke balik celana dalamku. Dan tersentak setelah menggenggam kontolku yang sudah mulai ngaceng ini. “Haaa?! Nindie gak bilang kalau kontolmu sepanjang dan segede ini…”

Aku tidak menanggapinya. Tapi Mbak Susie langsung duduk sambil melepaskan celana dalamku. Kemudian mendorong dadaku agar celentang.

Kuikuti saja ke mana arah keinginan kakakku itu.

Ia mulai menjilati leher dan moncong kontolku. Lalu ia mengulum batang kemaluan ngacengku ini. Dan mulai mengoralnya dengan trampil.

Mungkin Mbak Susie sudah terbiasa mengoral suaminya yang sudah tua, sekadar untuk membangkitkan ereksinya. Tapi aku masih muda. Duapuluh tahun pun belum. Aku tidak butuh dioral, bahkan ingin mengoral memek Mbak Susie.

Maka kutunggu selama beberapa menit Mbak Susie menyelomoti kontolku. Kemudian giliranku untuk mendorong dada Mbak Susie agar celentang. Lalu mulutku nyungsep di permukaan memeknya yang berjembut pendek - pendek di atas kelentitnya.

Lidahku sudah cukup terlatih, sudah mengerti bagian mana yang harus kujilati secara intensif. Maka aku hanya sebentar menjilati bagian dalam memek Mbak Susie yang berwarna pink itu. Kemudian menjilati kelentitnya habis - habisan. Terkadang malah disertai sedotan - sedotan sehingga kelentit Mak Susie jadi agak “mancung”.

Tentu saja Mbak Susie menggeliat - geliat terus sambil merintih - rintih histeris.

Bahkan pada suatu saat Mbak Susie memegang kepalaku sambil berkata terengah - engah, “Aaaa… aaaaah… udah cukup Chepiii… udah basah banget nih… masukin aja kontolmu Cheeep… aaaaaaah… pakai kontol aja Cheeeep… aaaaaah…”

Tanpa buang - buang waktu lagi, kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Mbak Susie.

Seperti gak yakin kalau aku bisa mengarahkan moncong penisku, Mbak Susie ikut memegang leher kontolku, lalu mencolek - colekkan moncongnya sambil agak ditekan.

Kemudian ia memberi isyarat dengan kedipan matanya.

Aku pun mendorong kontol ngacengku sekuat tenaga. Dan melesak sedikit demi sedikit ke dalam liang memek Mbak Susie.

“Memek Mbak luar biasa… kayak memek gadis aja…” ucapku setelah berhasil membenamkan kontolku lebih dari separohnya.

Mbak Susie menyahut, “Masalahnya kontolmu kegedean Chep. Nanti istrimu pasti selalu puas punya suami kontolnya segede kontol kuda gini sih. Hihihiiii… ayo entotin Cheeeep…”

Aku pun mulai mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Mbak Susie yang terasa sangat sempit dan menjepit ini.

Sambil mengentot aku pun mulai menyelomoti pentil toket kiri Mbak Susie, sementara tangan kiriku mulai meremas - remas toket kanannya yang laksana toket gadis belasan tahun saking padatnya (meski tidak segede toket Mbak Nindie).

“Aaaaa… aaaaah… kontolmu luar biasa terasanya… terasa menggesek - gesek liang memekku Cheeepiii… ini enak sekali Cheeeeep… ooooh… semoga dari enak menjadi anak ya Cheeep…”

“Aaaa… amiiiin…” sahutku sambil menahan tawaku.

Makin lama entotanku semakin lancar, karena liang memek Mbak Susie sudah “beradaptasi” dengan ukuran batang kemaluanku.

Rintihan - rintihan histeris Mbak Susie pun semakin erotis terdengarnya di telingaku.

“Entot teruuuuussss Cheeepiiiii… entooot teruuuussss… aaaa… aaaaah… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaaa… entooottttt… entooooottttttt… entooootttttttt… iyaaaaa… iyaaaa… luar biasa enaknya kontolmu ini Cheeeep… entooottttt… entooootttt…”

Tubuh Mbak Susie pun menggeliat - geliat dan mengejang - ngejang terus, seperti ular yang terinjak kepalanya.

Terlebih setelah aku mulai menjilati leher jenjangnya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil yang tidak menyakitkan. Sementara tanganku semakin giat meremas - remas toketnya.

Bahkan ketika tangan Mbak Susie berada di samping kepalanya, kujilati ketiaknya yang licin dan harum deodorant ini. Disertai dengan sedotan - sedotan kuat, yang membuat Mbak Susie semakin menggelepar - gelepar.

Permainan surgawi ini berlangsung cukup lama. Sehingga keringat pun mulai membasahi tubuh kami.

Mbak Susie tampak begitu bergairah menikmati entotanku, sehingga berkali - kali bibirku dipagut dan dilumatnya, disusul dengan bisikan, “Aku makin sayang saama kamu Cheeep… sayang sekaliii Cheeep… oooohhhh… ini luar biasa enaknyaaa…”

Mbak Susie benar - benar penuh gairah waktu meladeni entotanku. Terkadang ia meremas - remas rambutku sampai acak - acakan dibuatnya. Terkadang ia juga meremas bahuku. Dan bahkan ia pun tak sungkan - sungkan untuk meremas pantatku dengan ekspresi seperti sedang gemas.

Bukan cuma itu. Ternyata Mbak Susie pun trampil menggoyang pinggulnyha, dengan gerakan memutar - mutar dan meliuk - liuk. Terkadang memeknya menengadah ke langit - langit kamar villa, terkadang juga menukik dan bokongnya menghempas ke atas kasur. Dalam gerakan yang satu ini, dengan sendirinya kelentit Mbak Susie bergesekan terus dengan batang kemaluanku.

Tapi kali ini aku ingin mengikuti “ajaran” orang - orang. Bahwa kalau untuk tujuan menghamili, aku harus mengusahakan agar ejakulasiku berbarengan dengan orgasme pasanganku.

Maka diam - diam aku memperhatikan perilaku Mbak Susie waktu menikmati entotanku ini. Dan ketika ia mulai berkelojotan, aku pun mempercepat entotanku. Dengan tujuan ingin secepatnya ejakulasi.

Aku sudah cukup berpengalaman untuk mengulur atau mempercepat ejakulasiku.

Maka ketika sekujur tubuh Mbak Susie mengejang tegang, dengan perut agak terangkat ke atas… dengan nafas yang tertahan beberapa detik… aku pun menancapkan kontrolku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang memek Mbak Susie.

Lalu terjadilah sesuatu yang terlalu indah dan sulit dijelaskan dengan kata - kata belaka itu. Bahwa ketika liang memek Mbak Susie terasa berkedut - kedut kencang, kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.

Croooootttttt… crooooooootttttt… cretcretttttt… crooootttttt… crooootttt… crooootttt…!

“Aaaaahhhhhhh… “Mbak Susie mendesah, kemudian terkapar lunglai. Begitu pula aku, mendengus - dengus lalu terkapar di atas perut Mbak Susie.

“Terima kasih sayang… ternyata kamu luar biasa memuaskanku… mudah - mudahan aku bisa hamil olehmu yaaa… emwuaaaaah …“ucap Mbak Susie disusul dengan ciuman mesranya di bibirku.

“Tapi tiada jaminan langsung jadi Mbak. Mungkin setelah puluhan kali kita bersetubuh, barulah Mbak bisa hamil,” sahutku sambil menarik kontolku sampai terlepas dari liang memek Mbak Susie.

Cepat Mbak Susie menutup memeknya dengan telapak tangannya. Mungkin untuk menahan spermaku agar tetap berada di dalam liang sanggamanya dan jangan mengalir ke luar.

“Bukan sekadar ingin hamil… kamu sangat pandai menemukan titik - titik sensitifku. Ereksimu sempurna. Kontol panjang gedemu luar biasa enaknya. Aku pasti ketagihan nanti Chep.”

“Kalau Mbak gak kepengen hamil sih, sebenarnya aku masih bisa bertahan jauh lebih lama dari yang barusan. Tapi karena Mbak ingin hamil, kupaksakan agar bisa mencapai puncaknya secara bareng - bareng.”

“Bersetubuh itu bukan harus lama. Yang paling penting, pihak wanita harus mencapai orgasme sebelum kamu ngecrot. Terlalu lama juga bisa lecet - lecet memekku nanti.”

“Iya Mbak.”

Beberapa saat kemudian, “Chepi… kita makan malam di luar yuk. Sekalian cari makanan untuk di sini… siapa tau tengah malam kita lapar lagi,” kata Mbak Susie.

“Oke Mbak,” sahutku.

“Pake mobilmu aja ya. Gak usah dua - dua mobil.”

“Iya Mbak. Kalau kebetulan lagi sulit parkir, malah jadi pusing nanti jika bawa mobil dua.”

Tak lama kemudian, Mbak Susie sudah duduk di samping kiriku, dalam mobil yang tengah kukemudikan di jalan raya.

“Pertemuan selanjutnya sih aku mau datang aja ke tempatmu. Di rumahmu hanya ada kamu dan Nindie kan?” Mbak Susie membuka pembicaraan.

“Ada satpam tujuh orang yang bergiliran tugasnya jadi tiga shift. Ada pembantu juga dua orang. Semuanya perempuan Mbak.”

“Satpamnya juga perempuan?”

“Iya Mbak. Semuanya direkrut oleh Mbak Nindie. Ketujuh satpam wqanita itu bekas murid Mbak Nindie semua.”

“Oh iya… Nindie waktu masih gadis kan pelatih beladiri.”

“Iya Mbak.”

(Maaf, jenis beladiri-nya tidak bisa disebutkan, semata - mata untuk menjaga kerahasiaan para pelaku dalam cerita ini)

“Pembantumya yang seorang perempuan normal. Tapi yang satu lagi cebol Mbak. Semampai… semeter gak sampai. heheheee…”

“Kenapa pilih pembantu yang cebol segala?”

“Aku yang terima Mbak. Soalnya kasihan, ingin dapet pekerjaan. Nyari ke sana - sini gak ada yang terima. Setelah bekerja di rumahku, ternyata dia rajin, gesit dan jujur Mbak.”

“Tapi kalau mau ngambil yang letaknya tinggi - tinggi takkan bisa kan? Lalu dikasih tugas apa saja perempuan cebol itu?”

“Ngepel, jalanin vacum cleaner, jalanin mesin cuci, membersihkan taman dari rumput liar dan lain - lain. Pokoknya yang terjangkau olehnya aja.”

“Bagus juga sih… kita memang harus punya perasaan kasihan kepada orang - orang yang punya kekurangan pada fisiknya.”

“Iya Mbak. Umurnya sudah tigapuluhan, tapi bentuknya masih kayak anak usia tujuh tahunan.”
“Kasihan. Nanti aku mau nitip duit buat dia. Duit sedekah.”
“Iya Mbak. Dia hidup sebatangkara di dunia ini. Tidak punya orang tua lagi. Saudara pun tak punya.”
“Mmm… ternyata kamu seorang yang pemurah juga ya?”

Aku cuma tersenyum. Tidak berani menanggapi ucapan Mbak Susie itu. Karena hanya aku sendiri yang tahu siapa diriku.

Juga sikap dan perilakuku kepada wanita midget alias mini yang bernama Inay itu. Bahwa pada suatu sore, ketika aku merasa letih sekali, karena seharian ikut menata pavilyun yang akan dijadikan kantor itu.

Saat itu Mbak Nindie sedang pulang dulu ke rumahnya, untuk menata rumahnya yang sedang direnovasi sedikit - sedikit, tentu saja dengan membekal uang pemberian dariku di luar gaji tetapnya. Supaya rumahnya jangan terlalu sederhana dan serba kekurangan perlengkapannya.

Saat itulah kupanggil Inay mini ke kamarku. “Nay… berat badanmu berapa?” tanyaku.

“Tigapuluhdelapan Boss,” sahut wanita mini yang terkadang kelihatan lucu itu.
“Kalau gitu injakin punggungku ya. Pada sakit - sakit,” kataku, “Kakimu bersih kan?”
“Bersih Boss.”
“Ya udah injekin bagian kaki dan punggungku ya,” ucapku.
“Siap Boss.”

Lalu kulepaskan pakaianku sehelai demi sehelai, hanya celana dalam yang kubiarkan melekat di tubuhku. Lalu aku menelungkup di atas bed, “Injakin dari kaki sampai ke bahu ya Nay,” kataku.

“Iya Boss,” sahut Inay yang tinggi badannya tak sampai semeter itu.

Sengaja aku telungkup di samping dinding, supaya Inay bisa menjaga keseimbangan waktu menginjaki punggung dan kakiku dengan meletakkan telapak tangannya ke dinding.

Inay pun mulai berdiri di atas kakiku sambil berpegangan ke dinding. kemudian ia berjalan dari kaki sampai ke punggungku, turun lagi ke kaki, naik lagi ke artah punggung. Tidak terasa berat. Malah enak, seperti sedang diinjaki oleh anak kecil.

“Enak Nay… injekin terus begitu ya…” ucapku sambil berusaha menoleh ke arah wanita mini itu.

Saat itu Inay mengenakan daster yang terbuat dari bahan kaus. Sehingga aku bisa melihat celana dalam putihnya karena ia sedang berada di atas punggungku.

Lalu… pikiran jahanam mulai menggodaku. Seperti apa ya bentuk memek wanita mini ini? Dan seperti apa rasanya menyetubuhi Inay ini?

Mungkin seperti menyetubuhi boneka, saking kecilnya.

Pikiran itu membuatku jadi penasaran. Dan… diam - diam kontolku mulai ngaceng.

Maka aku mulai memancingnya, “Kamu bilang pernah punya suami Nay. Terus sejak kapan kamu jadi janda?”

“Sudah lebih dari lima tahun saya menjanda Boss.”
“Kenapa bisa bercerai?”
“Ah, tidak cocok aja sifatnya Boss. Tiap hari kerjanya marah - marah melulu.”
“Mantan suamimu orang kecil juga seperti kamu Nay?”
“Iya. Sesama cebol Den.”
“Punya anak gak darinya?”
“Nggak Boss. Saya belum pernah hamil.”
“Wah… memekmu pasti enak dong, karena belum pernah turun mesin.”
“Hihihihiii… gak tau Boss,” sahutnya, “Memangnya Boss mau nyobain memek saya?”

Aku agak kaget mendengar cetusan Inay yang frontal itu. Tapi menurut ku, orang yang punya kekurangan alias kurang normal, banyak yang suka over acting atau pun over confidence. Terbukti dengan rambutnya yang sengaja diwarnai, diblitch antara hitam, coklat tua dan blonde. Zaman now memang beda dengan tempo doeloe.

“Mau Nay… mau… !” sahutku spontan, “Coba kamu turun dulu.”

Inay pun turun dari punggungku. Tapi masih berdiri di atas bed ketika aku membalikkan badan jadi celentang. “Kapan terakhir kamu merasakan digauli lelaki?” tanyaku sambil memperhatikan bentuk wanita mini itu.

Aku tidak tahu berapa centimeter tinggi yang sebenarnya. Yang jelas kalau dia berdiri di dekat meja makan, tampak pangkal lehernya sejajar dengan meja makan. Sedangkan tinggi meja makan adalah 77 centimetrer. Jadi, mungkin tinggi Inay takan kurang dari 77 centimeter dan takkan lebih dari 110 centimeter.

“Sejak cerai sampai sekarang saya belum pernah merasakan digauli lelaki lagi Boss,” sahut Inay sambil duduk bersila di atas bed.

Aku pun duduk dan menyuruh Inay duduk di atas pahaku. Ia menurut saja, duduk membelakangiku di atas pahaku yang sedang bersila ini. Tanganku langsung menyelundup ke balik daster kausnya yang berwarna biru muda itu. Kuselinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Inay diam saja. Bahkan ketika jemariku menggerayangi kemaluannya yang “imut - imut” gundul plontos itu, ia malah tersenyum - senyum.

Pada saat itu pula kupelorotkan celana dalamku. Lalu menarik tangan kanan Inay, sampai menempel di kontolku yang sudah ngaceng berat ini.

“Aaaw… apa ini yang anget - anget keras?” Inay seperti kaget dan memutar badannya jadi berhadapan denganku. Lalu sadar bahwa ia sedang memegang kontol ngacengku.

“Adududuuuh…! Punya Boss segede dan sepanjang ini?! Bisa masuk nggak ya ke dalam memek saya?” cetusnya sambil menciumi kepala dan leher kontolku.

“Bisa lah. Memekmu bukan terbuat dari kertas kan?” sahutku sambil melepaskan daster kaus lewat kepala Inay.

Inay tinggal mengenakan celana dalam putih, karena sejak tadi pun ia tidak mengenakan beha.

Aku tidak mau bicara mengenai tampang dan bentuk fisik wanita mini itu. Semua biasa - biasa saja. Toketnya p[un kecil, cukup untuk digenggam oleh tanganku. Pahanya agak gempal, karena untuk ukuran manusia mini, mungkin dia termasuk rada montok.

Yang luar biasa adalah fisik mininya itu. Karena aku belum pernah merasakan memek wanita mini alias midget.

Aku sudah merasakan tubuh chubby, tubuh langsing, wajah cantik dan bahkan yang masih perawan juga. Tapi tubuh mini seperti Inay ini belum pernah ngerasain…!

Lalu dengan mudahnya aku bisa mengangkat dan menggendong Inay ke arah meja tulisku. Di situlah Inay kucelentangkan dan kutarik celana dalam putihnya sampai terlepas dari kedua kaki pendeknya.

Kutarik kursi kerjaku ke dekat meja tulisku. Sementara Inay seperti sudah mengerti apa yang akan kulakukan. Ia celentang dengan kedua kaki mengangkang, dengan pantat berada di pinggir meja tulisku.

Kuperhatikan bentuk memek Inay yang imut - imut dengan jembut tipis halus itu, sambil berkata, “Ini jalan agar kontolku mudah masuk ke dalam liang memekmu Nay.”

Dan sambil duduk di kursi yang kudekatkan ke meja tulisku, memek imut itu pun mulai kujilati habis - habisan. Sementara kedua tanganku dengan mudah menjangkau dan meremas sepasang toket mungil (tapi waktu membungkuk tampak terjuntai panjang ke bawah) yang bisa tergenggam oleh tanganku.

Inay pun mulai bergeliang - geliut, seperti ular terinjak kepalanya. Bahkan sepasang betis pendeknya lalu bertopang pada kedua bahuku, sehingga mulutku semakin nyungsep ke permukaan memek Inay.

“Aaaa… aaaaaah… Bosssss… Bossss… aaaahhhhhhhh… aaaaaaahhhh… “desahan dan rintihan Inay mulai bergaung di dalam kamarku.

Terlebih lagi setelah aku gencar menjilati kelentitnya, semakin menggelinjang - gelinjang juga tubuh perempuan mini itu.

Bahkan pada suatu saat aku menganggap sudah waktunya untuk memasukkan kontolku ke dalam liang memek perempuan mini ini.

Lalu aku berdiri dan mengarahkan moncong kontolku ke mulut memek Inay.

Kemudian kudorong kontolku sekuatnya. Dan membenam ke dalam liang memek imut - imut itu tanpa kesulitan. Tapi tidak bisa masuk semuanya karena mentok di dasar liang memek imut plontos itu. Ternyata benar dugaanku bahwa Inay yang bertubuh mini itu, liang sanggamanya pun dangkal.

Aku pun tidak berusaha memasukkan semuanya. Setelah terasa mentok di dasar liang kemaluan Inay, langsung kuayun kontolku perlahan - lahan.

Gila, ternyata liang memek Inay nikmat sekali rasanya. Sehingga aku jadi sangat bergairah untuk mengentot memek mini ini.

Inay sendiri tampak keenakan. Mungkin karena kontolku terlalu panjang untuk kedalaman liang memeknya. Sehingga tiap kali kudorong, moncong kontolku selalu menabrak dasar liang memek Inay. Itu berarti bahwa Gspot di dasar liang memek Inay terus - terusan disundul oleh moncong kontolku.

Ternyata Inay sangat atraktif. Ia berkali - kali mengajakku berubah - ubah posisi. Kadang ia minta dientot dalam posisi tengkurap dan agak menungging, kadang ia ingin main di atas (WOT) dan sebagainya.

Inay seolah ingin membuktikan bahwa meski tubuhnya mini, ia bisa memberikan kepuasan bagiku. Akibatnya, berkali - kali ia mengalami orgasme. Tapi ia tidak kelihatan letih. Dia tetap lincah memberikan kenikmatan padaku yang tak menyangka bahwa persetubuhan dengannya ini mengesankan sekali.

Memang dengan mudah aku bisa melakukan hal - hal yang belum pernah kulakukan kepada wanita lain. Misalnya, pada suatu saat aku turun dari meja tulisku, lalu mengangkat tubuh Inay tinggi - tinggi. Kedua pahanya nemplok di atas bahuku, sementara memeknya ada di depan mulutku. Kalau wanita normal, pasti aku merasa berat dibebani oleh tubuhnya.

Lalu kurebahkan tubuh mini itu di atas bed. Dan… kuentot lagi dalam posisi missionary, karena aku memang belum ngecrot.

Kali ini aku melakukan posisi hard missionary. Karena aku mengentotnya sambil mendorong sepasang pahanya, sehingga kedua lututnya berada di samping sepasang toket mininya.

Inilah pengalaman paling gokil bagiku. Tapi aku menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa. Daripada ngocok, jauh lebih enak menyetubuhi Inay mini.

Namun akhirnya aku tiba juga di detik - detik krusialku. Namun aku sadar bahwa aku tak mau menghamili Inay. Karena itu, begitu aku mau ejakulasi, cdewpat kucabut kontolku dari liang memek Inay, kemudian kuletakkan kontolku di dada Inay, sambil kuurut - urut dengan tanganku sendiri.

Tadinya aku hanya ingin memuntahkan air maniku di wilayah dada Inay. Tapi Inay menangkap kontolku lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Diikkuti dengan selomotan yang sangat trampil.

Maka tak tertahankan lagi, lendir kenikmatanku meletus di dalam mulut Inay.

Crooot… croootttt… cretttt… crooootttttt… cretttttt… crooootttttt…!

Inay menelan spermaku sampai habis, tak terbuang setetes pun.

“Segerrrrr…” ucapnya setelah melepaskan kontolku dari mulutnya.


Aku masih ingat semuanya itu. Bahwa perempuan mini itu telah membuatku puas sekali. Karena itu aku tak ragu untuk memberinya “bonus” yang lumayan banyak. Supaya kalau kelak aku membutuhkan lagi memeknya, ia takkan malas - malasan meladeniku.

“Kalau aku hamil, pasti suamiku akan bahagia sekali,” ucap Mbak Susie membuyarkan terawanganku tentang perempuan mini bernama Inay itu.

“Dari suami Mbak yang pertama dahulu, Mbak sama sekali gak punya anak?” tanyaku.

“Nggak, “Mbak Susie menggeleng, “waktu masih jadi istri dia, aku selalu dipasangi alat pencegah kehamilan.”

“Kenapa?”

“Atas kesepakatan dengan dia juga, aku tak boleh hamil selama kehidupan kami masih pas - pasan. Dan sampai bercerai, dia memang tidak pernah sukses mengadu untung di Sulawesi. Tapi setelah menikah dengan Abror, aku tidak pasang alat kabe lagi.”

“Abror nama suami Mbak?”
“Iya. Ibunya kan orang Uzbekistan. Namanya terasa asing di telinga kita ya?”
“Iya Mbak. Dia bisnis apa?”
“Sejak masih remaja, Abror sudah terlatih untuk bisnis emas.”
“Ohya… Uzbekistan kan negara yang punya tambang emas besar ya Mbak.”

“Iya. Awalnya sih dia hanya memasarkan emas dari negaranya sendiri. Tapi lama kelamaan sih dia membeli emas dari mana saja, untuk dipasarkan di Asia Tenggara.”

Tak lama kemudian mobilku sudah tiba di depan villa kembali.

Dan… kami bersetubuh kembali sampai lewat tengah malam.

Esoknya pun kami bersetubuh dan bersetubuh kembali. Dengan harapan agar Mbak Susie bisa hamil olehku.

Aku memang sudah bertekad untuk menjadikan Nike sebagai calon istriku, bukan sekadar pacar biasa, Tapi aku juga yak bisa mengabaikan Bu Shanti yang sudah menyerahkan keperawanannya padaku, sebagai protes kepada orang tuanya yang akan menjodohkannya dengan lelaki tua itu. Tapi meski keputusannya itu sebagai protes pada keinginan orang tuanya yang akan menjodohkan dengan seorang lelaki tua, kenapa justru aku yang dipilih untuk merenggut keperawanannya?

Tentu ada sebabnya. Dan Bu Shanti sudah berterus terang, bahwa ia sudah jatuh hati padaku. Karena itulah ia memutuskan untuk menyerahkan kesuciannya padaku, tanpa pamrih.

Bu Shanti membebaskanku untuk mencintai dia atau tidak. Yang penting di depan ibunya, aku harus berpura - pura akan menikahi Bu Shanti. Itu saja. Nanti dengan berjalannya waktu, bisa saja muncul cowok lain yang Bu Shanti cintai, bisa juga muncul cewek lain yang aku cintai dan akan kujadikan istri.

Terbukti bahwa dengan cepatnya aku berjumpa lagi dengan adik Niko yang bernama Nike, yang sudah sangat lama tidak berjumpa denganku.

Lalu terjadilah sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya. Bahwa aku dan Nike sudah saling suka. Dan bahkan sudah terlontar janji untuk melanjutkan hubungan kami ke pelaminan.

Aku sadar bahwa Nike bukan target pelampiasan nafsu birahi semata. Karena itu aku sangat berhati - hati dalam memperlakukannya.

Saking berhati - hatinya aku, mencium bibirnya pun belum pernah. Setiap kali berjumpa atau mau berpisah, aku hanya melakukan cipika - cipiki dengannya. Tidak lebih dari itu.

Niked kuanggap seolah simpanan masa depanku. Bukan target nafsu sesaat.

Ternyata hal itu diamati juga oleh abangnya (Niko). Bahkan pada suatu saat Niko berkata, “Sebenarnya Nike itu tak pernah pacaran Chep. Baru kali ini dia terang - terangan mencintaimu. Aku senang - senang saja, karena Nike tidak jatuh ketangan yang salah. Titip aja adikku ya Chep. Aku percaya kamu selalu memperlakukannya dengan baik.

Kutepuk bahu sahabat lama yang akan menjadi abang iparku itu sambil menyahut, “Santai aja Nik. Kami sedang menyiapkan masa depan kami ke arah yang lebih baik.”

Hal itu memang sudah kubuktikan.

Aku masih ingat benar, bahwa sebelum berpisah dengan Mbak Susie, aku menerima dua lembar cek. Yang nominalnya besar sekali untukku. Yang nominalnya jauh lebih kecil untuk Mbak Nindie.

Tapi bukannya aku nyombong. Aku tidak membutuhkan uang meski jumlahnya begitu besarnya. Karena Tante Aini selalu mentransfer duit dalam jumlah banyak ke rekening tabunganku. Apalagi setelah Tante Aini mulai hamil, transfernya selalu gede - gedean.

Tapi aku tak berani menolak pemberian cek dari Mbak Susie.

Cek itu kuterima sambil mengucapkan terima kasih dan ciuman mesra di bibir Mbak Susie. Lalu cek untuk Mbak Nindie kuberikan kepada yang bersangkutan. Sementara cek untukku, kuberikan kepada Nike.

Nike tampak kaget setelah melihat nominal yang tertulis di cek itu. “Untuk apa uang sebanyak ini?” tanyanya.

“Terserah kamu Beib,” sahutku, “Mungkin untuk mobil murah - murah aja sih cukup.”
“Nyetir aja gak bisa. Buat apa beli mobil segala.”
“Terus apa kebutuhanmu yang paling mendesak?” tanyaku sambil membelai rambut Nike.

Nike tercenung sesaat. Lalu berkata, “Mungkin lebih tepat kalau untuk biaya renovasi rumah. Terutama kamarku, sudah ketinggalan zaman banget.”

“Terserah. Pokoknya cek itu sudah menjadi milikmu. Untuk apa - apanya, kamu tedntu tau apa yang terbaik untukmu saat ini.”

“Untuk renovasi rumah aja. Biar Mama dan Niko ikuy senang. Kalau ada lebihnya, belikan motor bebek aja. Biar gak naik angkot tiap hari.”

“Iya. Aku setuju. Kalau masih kurang, bilang aja terus terang padaku nanti ya Beib.”
“Iya. Terima kasih ya Sayang,” ucap Nike sambil mencium pipiku.

Ya… baik aku mau pun Nike hanya berani sebatas cium pipi. Belum berani lebih jauh dari cium pipi untuk memperlihatkan tanda cinta dan sayang kami.

Sudah lebih dari 3 bulan Bu Shanti tinggal di Inggris. Tapi belum pernah satu kali pun dia menghubungiku lewat hubungan seluler. Aku sendiri tidak pernah menghubunginya, karena takut mengganggu. Siapa tahu dia benar - benar sibuk dengan kuliahnya.

Tapi benakku mulai dihuni oleh tanda tanya besar. Ada apa dengan Bu Shanti? Apakah dia memang sibuk dengan kuliah S3 nya atau sudah menemukan calon suami yang sesuai dengan pendidikannya sendiri? Sementara aku, yang S1 pun belum, masih tetap menunggu dengan setia laksana si punguk merindukan bulan?

Kalau pikiranku sudah nyelonong ke sana, aku suka menggebrak diriku sendiri: Persetan dengan Bu Shanti! Biarkan dia mencari pasangan yang selaras dengannya, baik usia mau pun pendidikannya.

Aku bisa move on darinya kapan pun aku mau.

Hari demi hari pun berputar dengan cepatnya …

Sampai pada suatu sore …

Sore itu aku baru selesai kuliah dan menuju tempat mobilku diparkir di pinggir jalan, karena mahasiswa tidak boleh parkir mobil di area parkir kampus. Hanya dosen yang boleh parkir di sana. Maklum area parkirnya juga tidak terlalu luas.

Tukang parkir langgananku langsung menghampiri sambil bertanya, “Mau jalan Dek?”

“Iya, “aku mengangguk sambil memberikan uang parkir padanya. Lalu melangkah ke pintu depan sebelah kanan.

Belum lagi pintu samping setir itu kubuka, ada yang menepuk pangkal lenganku dan terdengar suara wanta di belakangku, “Chepi… numpang pulang dong.”

Ketika aku menoleh ke belakang, ternyata yang menepuk dan berkata itu dosenku yang senantiasa mengenakan jilbab. Bu Pratiwi namanya.

“Silakan Bu,” kataku sambil bergegas membuka pintu depan sebelah kiri. Bu Pratiwi (Biasa dipanggil Bu Tiwi saja) pun masuk ke dalam mlobilku.

“Rumah Ibu di daerah mana ya?”

Wanita empatpuluh tahunan itu menyebutkan nama daerahnya yang terletak di batas kota arah ke selatan. Padahal kampusku di ujung utara kotaku. Berarti cukup jauh juga aku harus mengantarkan Bu Tiwi itu.

Tapi biarlah, sekali - kali berbuat kebaikan pada dosenku sendiri kan positif nilainya.

“Wah… beruntung nih diriku. Bisa numpang mobil mewah begini,” kata Bu Tiwi setelah mobil kujalankan di jalan aspal.

“Yang biasa antar jemput pakai vespa ke mana Bu?”
“Dia kan anak semata wayangku Chep. Sekarang dia sudah pindah ke Jogja, karena kuliahnya di sana.”
“Owh… cewek yang suka anter jemput itu anak Ibu?”
“Iya. Cantik nggak anakku itu?”
“Masih cantikan Ibu. Hehehe…”
“Masa perempuan tua begini dibilang cantik.”

“Tua apa? Ibu lagi sedeng - sedengnya menawan.”
“Aaah… kamu bisa aja, “Bu Tiwi menepuk tangan kiriku yang nganggur.
“Suami Ibu kerja di mana?”
“Suami apa? Sudah lima tahun aku hidup menjanda Chep.”
“Lho… kenapa? Divorce Bu?”
“Dia meninggal dalam kecelakaan di tempat kerjanya.”

“Owh… maaf. Ikut prihatin mendengarnya.”
“Terimakasih. Tapi sekarang aku sudah mulai bisa melupakannya.”
“Sudah move on Bu?”
“Move on benar sih belum. Baru bisa melupakan almarhum yang sudah tenang di alam kekal.”
”Sudah dapat penggantinya Bu?”

“Belum,” sahut Bu Tiwi. Dan tiba - tiba dia mendekatkan mulutnya ke telingaku, disusul dengan bisikan, “Memangnya kamu mau mengisi kesepianku Chep?”

“Sangat - sangat mauuu…” sahutku dalam kaget.
“Serius?” tanyanya sambil menggenggam tangan kiriku yang nganggur.
“Serius Bu. Kalau perlu kita buktikan sekarang juga.”

Tiba - tiba Bu Tiwi mencium pipi kiriku, “Emwuuuaaaah…”

“Terima kasih Bu. Pucuk dicinta ulam tiba.”
“Memang udah lama ya kamu merhatiin aku?”
“Iya Bu.”
“Memangnya apa yang menarik pada diriku?”

“Banyak. Mata Ibu yang bundar bening, bibir yang sensual dan terutama pakaian yang Ibu kenakan tiap hari membuat penasaran… ingin tahu seperti apa bentuk Ibu di balik baju jubah panjang dan hijab ketat itu.”

“Nanti akan kamu lihat semuanya,” sahut Bu Tiwi sambil merapatkan pipi hangatnya ke pipiku.
“Serius Bu?”
“Tentu aja serius. Tapi kamu bisa menyimpan rahasia gak?”
“Rahasia sangat terjamin Bu. Mulutku bukan ember bocor,” sahutku sambil memutarkan mobilku, kembali ke arah utara.

“Lho… kenapa balik lagi?” tanya Bu Tiwi.

“Aku ingin bersama Ibu duduk berdua di puncak bukit yang bisa memandang ke arah kota kita. Sebentar lagi hari mulai gelap kan Bu. Jadi kita bisa melihat kota kita laksana ribuan kunang - kunang di gelap malam.”

“Ogitu… iya deh… aku ikut sama keinginanmu aja… tapi kenapa kamu bisa tertarik sama wanita yang sudah berumur seperti aku ini Chep?”

“Terus terang aja, aku pengagum wanita setengah baya Bu.”
“Pernah punya pengalaman dengan wanita seumuran denganku?”
“Pernah Bu. Tapi sekarang sudah pindah ke luar Jawa,” sahutku cuma mengarang saja.
“Kamu ini tampan sekali Chep. Nyari cewek yang seperti apa juga pasi bisa.”
“Gak ketarik sama cewek - cewek seusia atau lebih muda dariku Bu. Lebih ketarik sama wanita yang seperti Ibu ini.”

“Ya udah, nanti nginep aja di rumahku. Mau?”
“Siap Bu.”
“Tapi kalau ada tetangga yang nanya, bilang aja kamu ini keponakanku, gitu.”

“Emangnya tetangga Ibu suka usil?”

“Nggak juga sih. Cuma jaga - jaga aja, kalau ada yang nanya kamu siapa… jawab aja keponakan Bu Tiwi, gitu.”

“Iya deh. Sip pake telor. Kurang sip buka kolor.”
“Hihihihiiii…”

Di luar mobilku mulai gelap. Sehingga aku mulai menyalakan lampu HID-ku yang menyorot dengan terangnya ke arah jalan yang akan diinjak oleh ban mobilku.

Lampu mobil buatan Eropa pada umumnya kurang terang lampu sorotnya. Sehingga lampu - lampu depan kuganti. Lampu fog kuganti dengan lampu HID yang rendah kelvinnya, sehingga sinarnyha kekuning - kuningan untuk menembus kabut. Lampu dekat kuganti dengan lampu HID yang tinggi kelvinnya, sehingga sinarnya kebiru - biruan.

Beberapa saat kemudian mobilku sudah kuparkir di puncak bukit yang ada cafénya. Kupesan black coffee americano dan Bu Tiwi meminta coffee late, keduanya minta dikemas dalam cup plastik dan minta diantarkan ke mobilku yang sudah dihadapkan ke pinggir tebing, menghadap ke arah kotaku nun jauh di bawah sana…

Setelah minuman pesanan kami datang, kuletakkan kedua cup plastik itu di pembatas antara aku dan Bu Tiwi, karena minumannya masih panas sekali.

“Kota kita indah sekali dilihat dari ketinggian begini ya Bu,” kataku sambil memegang tangan kanan Bu Tiwi yang hangat dan halus.

“Iya… seindah hati kita ya?”
“Iya Bu. Tapi mungkin duduknya enakan di belakang, biar gak ada pembatas di antara kita berdua.”

“Oke,” sahut Bu Tiwi sambil membuka pintu di sebelah kirinya. Aku pun pindah ke seat belakang sebelah kanan. Sementara Bu Tiwi duduk di sebelah kiriku.

Mesin mobil tetap kubiarkan hidup, karena ingin menikmati musik yang mengalun perlahan dari audio mobilku, memutar album Vasiliy Nikitin - Chillout Ambient, yang tenang sekali dan sudah dipublish sampai lebih dari seri ke 170. Juga agar AC tetap hidup, agar kami tidak sesak nafas. Hanya lampu - lampunya kumatikan semua.

Setelah duduk berdampingan tanpa pembatas begini, aku bisa melingkarkan lengan kiriku ke pinggang Bu Tiwi dengan ketat, sehingga harum parfum yang dikenakannya tersiar mewangi ke penciumanku.

Memang di puncak bukit ini banyak sekali pasangan yang sengaja melakukan “sesuatu” di dalam mobilnya masing - masing.

Maka aku pun tak ragu untuk memagut dan mencium bibir Bu Tiwi, yang disambut dengan lumatan hangat dosenku yang sexy habis di mataku ini.

Cukup lama kami saling lumat di kegelapan malam di atas seat belakang mobilku. Namun aku malah makin penasaran. Sehingga aku berusaha menyelinapkan tanganku ke balik jubah panjang yang dikenakan oleh dosenku.

Sangat menyenangkan, karena Bu Tiwi seperti mengerti apa yang kuinginkan. Ia menarik baju jubah panjangnya sampai ke pangkal pahanya, sehingga aku bisa langsung mengusap - usap paha dosenku sampai ke pangkalnya.

Tak cuma itu. Aku pun berhasil mewnyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Dan… wow… langsung menyentuh memeknyha yang plontos alias gundul abis itu…!

Semakin garang juga Bu Tiwi melumat bibirku, bahkan lalu kami bertukar sedot lidah. Ketika lidahku terjulur, Bu Tiwi menyedotnya ke dalam mulutnya, lalu menggelutkan lidahnya dengan lidahku. Begitu juga waktu lidah Bu Tiwi terjulur, kusedot ke dalam mulutku dan digeluti oleh lidahku. Sehingga air liur kami bercampur aduk dan berpindah - pindah tempat.

Lebih asyik lagi ketika jemari tangan kananku sudah menemukan celah di memek Bu Tiwi yang bersih dari jembut ini.

Lalu jemariku mulai menyelusup ke dalam yang agak basah dan licin serta hangat ini. Pelukan Bu Tiwi di leherku pun semakin erat saja rasanya. Sementara jari tengahku mulai maju - mundurkan di dalam celah memeknya.

Sekujur tubuh Bu Tiwi makin menghangat. Pertanda perempuan setengah baya ini sudah horny.

“Chepi… aku udah gak kuat menahan nafsu lagi,” bisik Bu Tiwi.
“Mau dilakukan di sini aja?” tanyaku.
“ML sih jangan… jangan di sini…”
“Lalu mau check in ke hotel?”
“Jangan juga Chep. Takut ketemu sama orang yang kenal.”
“Lalu mau di mana?”

“Di rumahku aja… tapi mainkan terus kemaluanku Chep… ininya nih… itilnya…” ucap Bu Tiwi sambil menarik jariku ke arah kelentitnya.

“Mau dijilatin itilnya?” tanyaku.
“Jangan ah… pakai jari aja mainkan terus itilku… sampai orgasme… kalau mau jilatin segala sih nanti aja di rumahku.”

Aku sudah banyak pengalaman untuk mengekspoitasi kelentit agar cepat orgasme. Baik dengan main jilatan lidah maupun dengan gesekan ujung jari tangan.

Karena itu setelah Bu Tiwi meletakkan ujung jari tengahku di kelentitnya, meski gelap gulita pun aku bisa menekankan ujung jariku ke kelentit sebesar kacang kedelai itu. Kemudian kugerak - gerakkan jari tengahku dengan gerakan menekan dan memutar - mutar. Terkadang kucelupkan jari tgengahku ke liang kecil di memek Bu Tiwi, hanya untuk membasahinya dengan lendir Bu Tiwi.

Bu Tiwi pun mulai mendesah - desah perlahan, “Aaaah… aaaaaaa… aaaaaah… aaaaa… aaaaahhhhh… aaaa… aaaa… aaaaaaaaahhhhhhh… aaaa… aaaa… aaaahhhhh…”

Hanya beberapa menit akju melakukan semuanya ini. Sampai akhirnya tubuh Bu Tiwi mengejang sambil mendekapku erat - erat, dengan nafas tertahan.

“Aaaaah… sudah… sudah lepas…” kata Bu Tiwi sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. “Haaaah… lega sekarang. Ayo ke rumahku aja sekarang. Nanti di rumah akan kuberikan semuanya untukmu Chep.”

“Iya Bu… sahutku sambil melompat ke depan lewat celah dua seat depan. Bu Tiwi pun ikut - ikutan pindah lewat celah di antara kedua seat depan.

“Kopinya masih hangat Chep,” kata Bu Tiwi sambil membuka tutup cup coffee latenya. Lalu meneguk isinya tanpa sedotan. Aku pun melakukan hal yang sama. Meneguk kopiku yangb masih hangat sampai habis setengah cup. Kemudian kupindahkan gigi matik mobilku ke R. Untuk memundurkan mobilku.

Tak lama kemudian mobilku sudah menuruni bukit itu di atas jalan yang berkelok - kelok.

“Sebenarnya tadi masih seneng mainin punya Ibu,” kataku di belakang setir mobilku.

“Nanti di rumah mauj diapain juga terserah kamu Chep. Yang penting jaga rahasia kita ya. Kalau bocor keluar, aku bisa dipecat dari kampus.”

“Tenang Bu. Di kampus kita malah harus saling cuek- cuekan. Supaya kita tidak dicurigai. Kalau ada yang perlu kita bicarakan, bisa lewat handphone kan?”

“Owh iya… kalau mau ketemuan, kita pakai WA aja nanti ya. Tapi namamu akan kusaving sebagai nama cewek.”

“Dan nama Ibu akan kusaving sebagai nama cowok.”

“Iya. Di kampus kita gak usah komunikasi sama sekali. By phone aja komunikasinya kalau kita sudah jauh dari kampus,” kata Bu Tiwi sambil memegangi ritsleting celanaku.

“Mau ngapain Bu?” tanyaku.
“Pengen kenalan sama punyamu,” sahutnya sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.

Tersenyum aku mendengar ucapan dosenku yang sereba sensual ini. Lalu kuturunkan ritsleting celanaku, sekalian kusembulkan batang kemaluanku yang sejak tadi masih tetap ngaceng ini.

“Wow… penismu ini… penis giant size… !” seru Bu Tiwi sambil memegang penis ngacengku.

Lalu ia membungkuk dan menciumi penisku.

“Jangan dioral Bu. Aku kan lagi nyetir,” ucapku.

“Nggak dong. Kan sebentar lagi juga kita tiba di rumahku,” sahut Bu Tiwi sambil mengusap - usap kepala dan leher penisku.

“Oh… iya… di dalam kompleks perumahan itu kan?” tanyaku sambilk menunjuk ke gerbang sebuah perumahan yang berbentuk gapura dan sudah dekat denganh mobilku.

“Iya,” sahut Bu Tiwi sambil memasukkan kembali penis ngacengku ke balik celana dalam dan menutupkan kembali ritsleting celanaku.

Setelah memasuki gerbang berbentuk gapura itu, Bu Tiwi berkata, “Lurus aja terus. Nanti setelah mentok belok ke kanan.”

“Siap Bu.”

Ternyata rumah Bu Tiwi di kompleks perumahan sederhana itu bukan rumah besar. Mungkin type 40an. Kamarnya pun hanya satu. Sementara di ruang tengah hanya dihampari permadani besar. Tiada kursi mau pun meja.

Setelah mengunci pintu depan, Bu Tiwi mengajakku masuk ke dalam kamarnya.

“Sederhana sekali rumahku kan? Tapi sebenarnya rumah utamaku bukan di sini,” kata Bu Pratiwi sambil melepaskan baju jubahnya.

“Rumah utama Ibu di mana?” tanyaku.

Bu Tiwi menyebutkan nama sebuah kota yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari kota ini.

Di dalam kamar Bu Tiwi pun lantainya ditilami sehelai permadani yang agak kecil kalau dibandingkan dengan permadani di ruang tengah. Di atas permadani itulah Bu Tiwi duduk sambil melepaskan beha dan celana dalamnya. Tapi gaun dalamnya yang berwarna ungu tidak dilepaskan. Kerudungnya pun masih membelit kepalanya.


Apalagi setelah duduk di atas permadani, ia sengaja memamerkan sepasang toketnya yang indah sekali di mataku.

Setelah melepaskan sepatu dan kaus kakiku, aku pun duduk di samping Bu Tiwi, di atas permadani tebal itu. Dan di atas permadani itu aku memegang toketnya, sambil mencelucupi pentilnya.

“Tempat tidurku sudah agak reyot,” kata Bu Tiwi sambil melepaskan kancing - kancing kemeja tangan pendekku, “Mainnya di sini aja ya,” ucapnya perlahan.

“Iya Bu,” sahutku, “bersama Bu Tiwi sih di atas rumput juga pasti menyenangkan.”
“Kamu suka main outdoor?” tanyanya sambil melepaskan kemeja tangan pendekku.
“Iya… tapi belum kesampaian.”
“Nanti kalau di kampungku bisa outdoor. Tapi aku juga belum pernah mengalaminya.”

“Iya… kapan - kapan kita main ke kampung Ibu ya,” kataku sambil melepaskan celana panjang dan celana dalamku.


Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top